Tuesday, October 31, 2006
Tuhan Maha Kuasa
Hidup adalah Proses Pembentukan Tuhan (Yer 18:1-10)
Pendahuluan
Hidup adalah proses pembentukan Tuhan bagi umat-Nya. Itulah sebabnya, ketika kita menjadi percaya, Tuhan tidak memindahkan kita ke surga. Lewat hidup di dunia ini, IA terus bekerja menjadikan kita seperti yang diharapkan-Nya.
Proposisi
Hidup di tangan Tuhan berarti mengalami proses pembentukan Tuhan.
Kalimat Tanya
Mengapa Tuhan perlu membentuk hidup kita?
Kalimat Peralihan
Ada dua alasan mengapa Tuhan ingin membentuk hidup kita.
1. Tuhan membentuk untuk memunculkan yang terbaik dari hidup kita (ay.4)
Maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menurut apa yang baik pada pemandangannya Yeremia mendapatkan pelajaran berharga dari tukang periuk. Di tengah kondisi bangsa Israel yang mengalami banyak goncangan, Yeremia memahami alasan di balik semuanya. Tuhan membentuk umat-Nya melalui pelbagai peristiwa untuk memunculkan yang terbaik dari umat-Nya. Apa yang terbaik dari umat-Nya adalah apa yang terbaik menurut pandangan-Nya. Tuhanlah yang mempunyai dan menentukan standar apa yang terbaik dari diri umat-Nya.
2. Tuhan membentuk untuk mengajar kita mempunyai hati yang peka terhadap kehendak-Nya (ay.8-10)
Ayat 8 sd 12 menegaskan betapa pentingnya hidup seturut kehendak Tuhan. Hidup seturut kehendak-Nya menjauhkan kita dari kehancuran. Tetapi bagaimana kita dapat hidup seturut kehendak-Nya? Tidak ada cara yang lain. Tuhan menginginkan kita mempunyai hati yang peka terhadap kehendak-Nya. Peka terhadap kehendak Tuhan terlihat dalam dua hal : kesediaan untuk bertobat ketika melakukan kesalahan, dan kesediaan hati untuk mengikuti rencana Tuhan. Kepekaan ini bertumbuh seiring dengan keakraban relasi dengan Tuhan. Tidak ada jalan praktis dan cepat menuju kepekaan, yang ada sebuah proses perlahan tapi pasti.
Kesimpulan
Proses pembentukan Tuhan kadangkala tidaklah nyaman. Tetapi, inilah jalan yang Tuhan ingin kita tempuh. Inilah hidup di tangan Tuhan : belajar menjadi yang terbaik di mata-Nya, dan peka terhadap kehendak-Nya.
Monday, October 30, 2006
Kekuatan untuk Memaafkan
Saturday, October 28, 2006
Handuk
Kebaktian kedua lebih parah lagi. Mulai jam 9, pas panas-panasnya. Handuk itu masih terlipat rapi. Masih berjuang dengan keringat yang mengucur, dan sapu tangan yang sudah basah. Eh... ada satu ibu yang selalu bicara dengan anaknya. Bener deh, bukan anaknya yang mengajak bicara. Tetapi ibunya. Saya sudah menatapnya, meliriknya, menyindirnya lewat tatapan mata (bayangin sendiri caranya) eh ... terus saja ngobrol. Gemes banget deh rasanya. Pingin marah, tapi ini jemaat gereja lain. Akhirnya, ketika melirik handuk kuning itu sambil berkhotbah, saya teringat pertarungan tinju.
Dalam pertarungan tinju ada saatnya, handuk putih dilemparkan sang pelatih ketika melihat petinjunya kepayahan dalam pertarungan. Handuk putih tanda menyerah. Handuk kuning? Oh, saya tahu apa gunanya. Pingin juga rasanya handuk itu saya lemparkan ke MJ sebagai tanda menyerah, sambil berkata," Ga kuat aku ... udah udara panas, keringat bercucuran, udah khotbah sekuat tenaga, eh ... masih juga ada yang ngobrol." Atau mungkin lebih baik, kalau handuk itu saya lempar ke ibu yang ngobrol terus itu saja ya? Pingin banget rasanya.
Friday, October 27, 2006
Di Tangan Sang Penjunan (Yeremia 18:1-6)
Ada dua hal yang membuat manusia begitu menghargai benda yang dimilikinya. Pertama karena kita membelinya dengan harga yang cukup atau bahkan sangat mahal sehingga kita merasa sayang untuk membiarkannya tidak terawat. Tetapi bisa jadi, dari segi non-materi, kita dapat menghargai sesuatu karena makna yang terkandung di dalamnya, oleh sebab itu kita merawat serta menjagainya agar tidak rusak. Demikian pula yang terjadi dengan bangsa Israel di mata Allah. Secara obyektif mungkin mereka adalah bangsa yang tidak berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya, bahkan mereka memiliki berbagai kelemahan yang banyak dikisahkan di dalam Perjanjian Lama. Walaupun demikian, Allah telah memilih untuk mengasihi bangsa Israel, oleh sebab itu apa pun juga yang terjadi di dalam bangsa itu, Allah tetap mengasihi dan menghargai mereka. Mereka berharga di mata-Nya tanpa pengecualian, bahkan manakala mereka memberontak terhadap Allah, dengan kesadaran penuh membelakangi serta memermalukan diri-Nya, Dia pun tetap menganggap mereka berharga di mata-Nya.
Sejak Allah memanggil bangsa Israel, sejarah bangsa ini dipenuhi oleh berbagai pertanyaan dan pergumulan yang mendalam. Manakala mereka baru saja lepas dari cengkeraman bangsa Mesir, mereka sudah mulai memertanyakan kehadiran Allah di dalam hidup mereka. Tidak cukup itu saja, mereka sering melakukan perselingkuhan rohani. Mereka membuat berhala dan menyembahnya. Kondisi ini tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada zaman nabi Yeremia. 17 pasal awal dari Kitab yang ditulisnya berisi tentang teguran keras Allah atas pemberontakan bangsa Israel, dosa-dosa mereka, ketidakadilan yang mereka lakukan terhadap orang lain, ketidakpedulian mereka terhadap yang lemah, ibadah mereka yang kosong karena tidak dilakukan dengan segenap hati. Yeremia yang dipakai Allah untuk menyampaikan perkataan-Nya kepada bangsa Israel merasa bahwa teguran Allah yang disampaikannya bagaikan uap yang naik dan lenyap begitu saja. Begitu kerasnya hati bangsa Israel pada waktu itu sehingga Yeremia di dalam 17 pasal pertama yang ditulisnya menyatakan ratapan, kemarahan, kekesalan, dan keputusasaannya memberitakan firman Allah sebanyak lebih dari tiga kali. Itulah sebabnya di dalam keputusasaan itu ia berkata, "Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku," (Yeremia 15:10). Apabila seorang hamba Tuhan dapat menjadi demikian frustasi, lelah dengan kekerasan hati bangsa Israel, maka kita dapat membayangkan seberapa parahnya mereka memerlakukan Allah. Yeremia telah berbicara begitu keras tetapi semua perkataannya bagaikan angin lalu.
Di dalam kondisi yang ada pada saat itu, Allah memerintahkan Yeremia untuk memerhatikan pekerjaan seorang tukang periuk. Ia melihat manakala seorang tukang periuk sedang membuat sebuah bejana yang ternyata tidak sesuai dengan bentuk yang diingininya, maka ia akan kembali mengulangi proses pembuatannya dari awal. Apabila masih saja tidak sesuai dengan keinginannya, ia akan terus merombaknya dari awal sampai ia mendapatkan bentuk yang sempurna. Tatkala Yeremia melihat pengulangan proses pembuatan sampai bentuk terakhir itu, firman Allah datang kepadanya, "Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel!" (Yeremia 18:6). Sebenarnya gambaran apakah yang hendak diberikan Allah kepada Yeremia untuk menghibur hatinya sekaligus menegur umat-Nya yang keras kepala itu? Sesungguhnya, itulah gambaran hubungan Allah dengan umat Israel. Pada saat Yeremia melihat si tukang periuk yang terus-menerus mengulangi proses pembuatan bejana itu, sesungguhnya seperti itulah cara Allah memerlakukan mereka. Bukankah ada gambaran ketelatenan seorang tukang periuk di dalam pekerjaannya? "Telaten" adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Jawa yang sebenarnya sulit untuk dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. "Telaten" dapat berarti sabar, sekaligus cermat dan pantang menyerah. Ketelatenan dapat dilihat dari seseorang yang mau terus mengerjakan sesuatu yang rumit yang tidak ingin dikerjakan oleh orang lain. Kita juga dapat menyebut seseorang telaten apabila ia dengan sabar dan cermat, mampu menghadapi seseorang yang sangat menyebalkan dan dijauhi orang lain.
Di dalam tulisan nabi Yeremia, Allah digambarkan sebagai tukang periuk yang membentuk bangsa Israel dengan ketelatenan yang telah saya jabarkan sebelumnya. Allah telaten mengerjakan perbuatan tangan-Nya atas bangsa Israel karena Dia sangat mengasihi mereka. Biasanya jika kita ingin mendapatkan sesuatu yang mudah dan murah, kita tidak akan memerlukan ketelatenan. Walaupun demikian, ketelatenan Tuhan yang membentuk bangsa Israel berulang kali merupakan gambaran nyata yang dilihat oleh nabi Yeremia. Tetapi kita tidak boleh berpikir bahwa ketelatenan Allah senantiasa diwujudkan dalam bentuk kesabaran dan kelembutan semata, tetapi sekaligus dapat berbentuk disiplin. Hal itu dapat dilihat dalam Yeremia 18:7 dan seterusnya, manakala ketelatenan Tuhan digambarkan dengan tindakan yang siap untuk mendisiplin bangsa ini apabila mereka tidak bertobat. Ketelatenan bukan hanya sekadar keluwesan dan kelembutan, tetapi di dalamnya terkandung juga ketegasan dan disiplin. Ketelatenan selalu melibatkan proses, dan apabila kita berbicara mengenai proses, maka diperlukan waktu yang tidak sebentar. Ketelatenan selalu membawa kita pada proses yang panjang dan tidak mudah. Tetapi itulah yang dilakukan oleh Tuhan yang kita yakini dan percayai, Tuhan orang Israel yang senantiasa membentuk umat-Nya berulang kali.
Dari manakah muncul ketelatenan? Sikap itu hanya akan lahir dari sosok ibu yang bernama cinta atau kasih. Kasih Allah terhadap orang Israel melahirkan ketelatenan-Nya atas mereka. Ketika saya akan menikah dengan istri saya, terdapat proses yang panjang di dalamnya. Kami melalui proses berpacaran selama tujuh tahun, dan selama itu seingat saya kami nyaris memutuskan hubungan lebih dari tujuh kali. Itulah sebabnya teman-teman saya terkejut tatkala saya mengumumkan kepada mereka bahwa kami akan menikah. Bagaimana mungkin saya dapat menikah dengan seseorang yang sering berbeda pendapat dengan saya? Alasannya klise saja: karena kami saling mengasihi. Saya dapat melihat cinta istri saya dari ketelatenan dia dalam menghadapi dan memerlakukan saya. Dengan perbedaan karakter yang kami miliki, kami dapat melihat bahwa kami saling mengasihi dari ketelatenan yang kami miliki terhadap masing-masing.
Sama seperti ketelatenan Allah terhadap bangsa Israel, Dia pun bersikap telaten terhadap kita. Acap kali kita menganggap bahwa semua "kesialan", ketidakberhasilan, dan kegagalan di dalam hidup kita disebabkan oleh Allah. Pada saat kita menganggap Dia sebagai biang kerok dari semua kegagalan kita, sebenarnya pada saat itu pulalah Allah sangat terluka. Pun ketika kita secara tidak langsung menuduh-Nya tidak becus dalam mengatur dunia ini, kita merasa seolah-olah kita dapat menggantikan Dia melakukannya. Tetapi apabila kita merenungkan kembali apa yang telah menjadi respons Allah atas kemarahan dan keegoisan kita selama ini, terhadap pemberontakan kita; pernahkah Allah meladeni kemarahan kita dengan emosional sehingga Dia menghancurkan kita saat itu juga? Jika memang itu yang terjadi setiap kali Allah merespons dengan amarah-Nya, maka saya yakin bahwa pasti tidak ada orang yang bertahan hidup sampai saat ini. Tetapi seperti yang kita harus akui, Tuhan bersikap telaten. Dia sabar, tekun, dan cermat. Dia sabar manakala kita menghujat dan melupakan Dia, mengabaikan Dia dan membuat-Nya cemburu karena kita menyembah "Allah" yang lain. Pun Allah cermat dalam melihat semua peluang di dalam hidup kita untuk dapat membentuk kita. Kesabaran dan kecermatan itulah yang membuat Dia seolah-olah lambat dalam bertindak. Dia selalu bertindak di saat yang tepat. Kecermatan-Nya membuat Allah tahu apa yang harus dilakukan terhadap masing-masing pribadi manusia. Ketelatenan Allah juga dapat digambarkan seperti ketelatenan seorang pemburu yang dengan sabar mengawasi buruannya, sehingga ketika buruannya itu berada tepat di sasaran bidiknya, dengan hanya satu tarikan pelatuk, hewan itu mati di tangannya. Ketelatenan Tuhan atas hidup kita membuat-Nya senantiasa bersabar atas proses yang harus kita lalui. Sedangkan kecermatan Tuhan membuat Dia mengetahui titik-titik celah yang dapat dipakai-Nya untuk memroses ulang hidup kita.
Sesungguhnya sikap telaten Allah menimbulkan dampak ganda bagi kita. Yang pertama adalah perasaan "aman" dan "nyaman" karena kita dengan yakin merasa bahwa toh Tuhan tidak membuang kita manakala kita melakukan dosa, karena selalu ada pengampunan bagi kita. Tetapi ketelatenan itu dapat juga menggelisahkan hati kita. Apabila Allah demikian bersabar dan telaten terhadap kita, bukankah itu berarti bahwa kita senantiasa berada di dalam tangan-Nya untuk senantiasa pula dibentuk berulang kali oleh-Nya? Ini berarti bahwa pada saat itu di dalam hidup kita terjadi berbagai pergumulan untuk melepaskan hal-hal yang "tidak indah" demi menjadi bejana yang indah di hadapan Allah. Hal ini menggelisahkan kita karena Allah tidak pernah selesai berurusan dengan kita, sehingga kita tidak pernah dapat berkata, "saya telah selesai menjalani proses pembentukan oleh Allah." Oleh karena itu kita pun tidak pernah dapat berkata bahwa kita telah menjadi bentukan terbaik Tuhan sehingga kita tidak perlu lagi berurusan dengan-Nya. Hal itu tidak akan pernah terjadi, karena seumur hidup kita adalah masa yang senantiasa menjadi proses pembentukan sang Penjunan terhadap kita, bejana-Nya. Bukankah kesediaan kita untuk dibentuk oleh Tuhan serta untuk menjalani proses itu bersama dengan-Nya merupakan tanda utama yang menunjukkan bahwa kita hidup di dalam persekutuan yang erat bersama dengan Dia?
Mereka yang mengaku mencintai Tuhan saat ini berada dalam perjalanan bersama dengan-Nya untuk senantiasa dibentuk oleh-Nya. Bacaan kita mengingatkan kita bahwa Tuhan ingin membentuk kita dengan ketelatenan-Nya, karena Dia ingin membentuk kita menjadi seperti yang dikehendaki-Nya, bukan seperti yang kita harapkan atau cita-citakan. Oleh sebab itu apabila kita menyadari bahwa kita senantiasa berada dalam proses pembentukan yang tak berkesudahan, maka kita pun dapat memahami bahwa orang lain pun merupakan bejana-bejana yang juga sedang dibentuk oleh Tuhan. Dunia ini mengalami banyak masalah hanya karena satu orang merasa dirinya lebih baik daripada orang lain, merasa lebih matang dan benar sedangkan orang lain selalu salah. Kesadaran bahwa Tuhan sedang memroses hidup kita secara terus-menerus akan memampukan kita untuk melihat sesama sebagai bejana-bejana di tangan sang Penjunan.
Terhadap sebuah jam dinding seharga sepuluh ribu rupiah yang telah rusak, kita dapat memilih untuk membuangnya tanpa merasa sayang. Tetapi apakah kita dapat melakukan hal yang sama terhadap bejana-bejana yang sedang dikerjakan oleh Tuhan. Apabila kita tidak merasa cocok, akankah kita menggantinya? Apabila kita tidak menyukainya, akankah kita membuangnya? Apabila tenaganya telah habis, akankah kita mencampakkannya? Selama ini kita hidup semata-mata berkat ketelatenan Tuhan di dalam hidup kita, karena kesabaran-Nya atas kelakuan kita, karena kecermatan-Nya dalam membentuk kita. Jadi marilah kita memandang orang lain dengan ketelatenan yang sama.
Berapa halaman kata-kata Anda?
Maka, pertanyaannya adalah apakah kualitas hidup kita berbanding lurus dengan kuantitas kata-kata kita? Alias, apakah semakin banyak kata, berarti hidup semakin berkualitas? Penulis Pengkhotbah mempunyai jawaban tegas : tidak. Pengkhotbah berkata," Karena makin banyak kata-kata, makin banyak kesia-siaan... (6:11).
Tuesday, October 24, 2006
Mengalami Tuntunan Tuhan (Kel 13:17-22)
Pendahuluan
Perbedaan hidup umat Tuhan dan orang lain tidak terletak pada ada atau tidaknya masalah atau pergumulan. Alkitab menyaksikan bahwa umat Tuhan pun bergumul dengan kesulitan hidup, bahkan seringkali beban hidup umat Tuhan bertambah karena dunia ini membenci mereka. Perbedaan hidup antara umat Tuhan dan yang lain adalah adanya tuntunan Tuhan.
Proposisi
Tuhan senantiasa menuntun umat-Nya melewati segala kondisi kehidupan.
Kalimat Tanya :
Bagaimana karakteristik tuntunan Tuhan?
Kalimat Peralihan :
Ada dua karateristik tuntunan Tuhan dalam hidup umat-Nya.
1. Tuntunan Tuhan didasarkan pada pengenalan-Nya yang sempurna atas diri umat-Nya (ay.17)
Tetapi Allah menuntun bangsa itu berputar melalui jalan di padang gurun menuju laut Teberau. Allah memilih jalan memutar bukan karena IA ingin mempermainkan orang Israel, apalagi menyusahkan mereka. Dasar pemilihan Allah dinyatakan dalam ay. 17, yakni : Allah tahu kekuatan mereka. Allah tahu bahwa apabila IA menuntun melewati jalan yang lebih pendek, orang Israel belum siap untuk menghadapi peperangan. Allah tahu orang Israel baru saja lepas dari kekuasaan Firaun dan belum mempunyai mental pejuang. Oleh karena itu, Allah menuntun melalui jalan yang memutar. Jalan yang lebih panjang, tetapi lebih "ringan" untuk dijalani orang Israel. Tuntunan Allah didasarkan pada pengenalan-Nya yang sempurna atas kondisi umat-Nya.
2. Tuntunan Tuhan diwujudkan dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan umat-Nya (ay. 21-23)
TUHAN berjalan di depan mereka, pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun mereka di jalan, dan pada waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat berjalan siang dan malam. Mengapa Tuhan menuntun dengan tiang awan di siang hari dan tiang api di malam hari? Karena inilah kebutuhan orang Israel di tengah padang gurun. Mereka membutuhkan tiang awan untuk memberi keteduhan di tengah terik siang hari. Mereka juga membutuhkan tiang api untuk memberikan kehangatan di malam yang sangat dingin. Dan yang terpenting tiang awan dan tiang api itu menjadi penunjuk arah bagi perjalanan mereka. Itulah sebabnya, di masa kini Tuhan tidak menuntun kita dengan tiang awan dan tiang api. IA menuntun kita dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan kita di masa kini. Ada yang dituntun Tuhan melalui mimpi, penglihatan, renungan firman, suara hati atau mendengarkan khotbah. Wujud tuntunan Tuhan didasarkan pada kebutuhan umat-Nya.
Kesimpulan
Umat Tuhan tidak sendirian di tengah pergumulan ini. Tuhan menuntun dengan pengenalan-Nya yang sempurna dan mewujudkan tuntunan itu dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan umat-Nya.
Thursday, October 19, 2006
Pelayan yang Sejati (Yohanes 12:1-8)
Kita memakai kata "pelayanan" dalam banyak arti. Kadangkala kata "pelayanan" berarti gratis, seperti pada kalimat," Oh ... tidak usah bayar, ini bagian dari pelayanan gereja kami." "Pelayanan" juga bisa berarti kualitas rendahan, seperti pada kalimat," Dekorasinya buruk. Maklumlah ini hasil pelayanan." Atau juga "pelayanan" bisa berarti seenak hati, seperti pada kalimat," Yah .. maklum kalau anggota Paduan Suara malas latihan. Ini khan pelayanan."
Proposisi :
Pelayanan seorang hamba Tuhan yang sejati senantiasa didasarkan dan digerakkan oleh kasih
Kalimat tanya :
Bagaimana wujudnyata kasih seorang pelayan Tuhan yang sejati?
Kalimat peralihan :
Wujudnyata kasih seorang pelayan Tuhan yang sejati terlihat dalam beberapa cara :
1. Kasih seorang pelayan Tuhan yang sejati dibuktikan dari kesediaan untuk memberikan yang terbaik kepada Sang Tuan (ay.3)
2. Kasih seorang pelayan Tuhan yang sejati dibuktikan dari kesediaan untuk menyangkal diri (ay.3).
Lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya. Perempuan Israel tidak diijinkan untuk menggeraikan rambutnya di depan umum. Hanya wanita tuna susilan yang melakukan hal seperti itu. Maria tahu apa resikonya menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Orang-orang akan menilainya sebagai wanita yang kurang baik. Maria melakukan ini karena bagi dirinya yang terpenting adalah bagaimana Sang Tuan menilai hidupnya. Bukankah tindakan menyeka kaki Yesus dengan rambut menggambarkan penyangkalan diri Maria terhadap keinginan dan kepentingan untuk dinilai baik di hadapan orang lain. Inilah penyangkalan diri : menundukkan segala hasrat dan kepentingan diri di bawah kaki Yesus.
3. Kasih seorang pelayan Tuhan yang sejati dibuktikan dari kesediaan untuk mengenal hati Sang Tuan (ay.7)
Maka kata Yesus," Biarkan dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. Kontras dengan sikap para murid yang sepertinya tidak memahami bahwa hidup Yesus akan segera berakhir, Maria mengerti betul apa yang selama ini Yesus katakan. Maria bukan saja mendengarkan, tetapi ia tentu juga mampu menaruh simpati atas apa yang akan terjadi pada diri Yesus. Dengan tindakan mengurapi kaki Yesus itu, Maria tentu ingin mengungkapkan kasih-Nya bagi Yesus. Maria tahu apa yang akan terjadi, karena ia mengenal hati-Nya.
Kesimpulan
Semua orang bisa mengklaim bahwa dirinya sedang melayani Tuhan. Tetapi, kasih seorang pelayan Tuhan yang sejati terbukti dari : kesediaan memberi yang terbaik, kesediaan menyangkal diri, dan kesediaan untuk mengenal hati Sang Tuan.
Mengembangkan Outline Menjadi Sebuah Khotbah
Langkah-langkah untuk pengembangan outline menjadi khotbah :
- Pahami struktur outline dengan baik. Outline adalah seperti tulang-tulang yang menjadi kerangka tubuh manusia.
- Tambahkan "daging" kepada outline. "Daging" ini adalah kalimat-kalimat yang akan membungkus outline menjadi lebih indah dan berisi. Tambahkan ilustrasi dan aplikasi.
- Berdoa dan mohonlah agar Tuhan berkenan untuk menghembuskan nafas-Nya, sehingga "tulang yang berdaging" ini menjadi hidup.
Selamat mempersiapkan sebuah khotbah ekspositori
Mengapa Khotbah Ekspositori?
Khotbah Ekspositori adalah khotbah yang mempresentasikan kebenaran alkitabiah, yang diperoleh dari suatu proses eksegesis dan penafsiran yang sesuai dengan makna asli teks Alkitab tersebut, di mana Roh Kudus mengaplikasikannya pertama kali kepada diri sang pengkhotbah, sebelum ia, dengan kuasa Roh Kudus, mengaplikasikannya kepada jemaat.
Tentu, ini pilihan saya untuk mencintai khotbah ekspositori. Tidak berarti saya hanya memakai khotbah model ini, saya juga kadangkala berkhotbah secara topikal dan tekstual. Tidak berarti khotbah topikal dan tekstual buruk. Ini masalah selera dan pilihan yang paling pas di hati, seperti memilih istri. Ada aspek rasional tetapi juga aspek emosional.