Friday, December 29, 2006

Gol Terbaik

" Saya selalu bermimpi kejadian ini dan hari ini akhirnya menjadi kenyataan.  Ini merupakan 'gol' terbaik yang pernah saya lakukan, ini hari yang tak pernah terlupakan," demikian kata Ronaldinho dengan air mata berlinang.  Ronaldo de Assis Moreira, begitu nama lengkap Ronaldinho, adalah pemain sepakbola terbaik dunia tahun 2004 yang masih bermain untuk Barcelona.  'Gol' terbaik itu tidak dicetak dalam pertandingan, tetapi dalam peresmian yayasan sekaligus sekolah miliknya.  Ronaldinho Institutio seluas 11,7 hektar dirancang untuk menampung sekitar 3500 pelajar.  Yayasan ini bukan saja akan menawarkan kegiatan olahraga, tetapi juga kursus komputer, teater, musik, dan bahasa.  Sasaran utamanya adalah anak-anak miskin yang berada di daerah kelahiran Ronaldinho di Porto Alegre, Brasil. 
 
Ternyata mendapatkan gaji sebesar 253 Milyar per tahun tidak momen terbaik bagi seorang Ronaldinho.  Mendapatkan gelar pemain sepakbola terbaik dunia tahun 2004 pun ternyata bukan momen terbaik di dalam hidupnya.  Momen terbaik di dalam hidupnya terjadi ketika ia memberi, bukan mendapatkan.  Maka benarlah kata Yesus," Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kis 20:25).
 

Breaking News

Karena koneksi internet saat ini tidak sedang dalam keadaan stabil, maka upade tidak dapat dilakukan secara tiap hari.  Saya tidak tahu persis apakah ini adalah imbas dari putusnya backbone di Taiwan.  Yang jelas, ketidakstabilan ini membuat akses ke blogspot berjalan lambat dan kiriman posting via email pun seringkali terhambat.
 
Semoga koneksi internet dapat segera pulih kembali.
 
 

Wednesday, December 27, 2006

Bintang dan Kandang

Waktu kita berjalan mengikuti bintang dan hanya menemukan sebuah kandang, apa yang akan kita lakukan?  Kita bisa saja kecewa dan marah kepada orang lain dan kepada Tuhan.  Tetapi,  ketika Orang Majus mengikuti bintang dan hanya menemukan kandang, mereka berlutut menyembah dan memberikan persembahan.
 
Berlutut menyembah berarti mengakui kedaulatan Tuhan atas hidup kita.  Kita bukan penguasa kehidupan ini.  Kita boleh berencana, tetapi kedaulatan ada di tangan-Nya.   Menyembah berarti mengakui keterbatasan kita, sekaligus ketidakterbatasan Tuhan. 
 
Memberikan persembahan berarti mengucapkan syukur.  Bersyukur bahkan di tengah kandasnya harapan kita. 
Bersyukur karena Tuhanlah yang berdaulat dan tidak semua rencana kita menjadi kenyataan.  Kelak suatu hari nanti kita akan menyadari bahwa Tuhan senantiasa memberikan yang terbaik bagi kita.  Bersyukur sesungguhnya adalah langkah iman.
 
Tahun ini, ketika Anda merasa berjalan mengikuti bintang dan hanya menemukan kandang, apa yang akan Anda lakukan?

ANTARA "ANNYONG HASEYO" DAN "ANNYONGHI GESEYO"

"Annyong haseyo!"  begitulah sambutan ramah yang diucapkan oleh  para penerima tamu, penatua, diaken, dan pendeta dalam menyambut kunjungan rombongan kami ke gereja-gereja di Korea.  Annyong haseyo sendiri adalah sebuah salam yang umum di Korea yang artinya adalah apa kabar.  Rombongan kami terdiri atas 30-an orang yang berasal dari Gereja Kristus Yesus (GKY) Pondok Indah Jakarta,  Gereja Kristen Abdiel (GKA) Gloria Surabaya, dan dari Gereja Kristen Indonesia (GKI).  Dari GKI, saya dan Pdt. Pipi Agus Dhali dari GKI Darmo Permai, atas kemurahan hati Tuhan melalui jemaat-Nya,  mendapatkan kesempatan berharga ini.  Rombongan yang dipimpin oleh Pdt. Suh Sung Min dan Pdt. Kim Sang Hyeon, keduanya  adalah misionaris Korea di Indonesia, mengunjungi beberapa gereja di Korea dalam rangka studi banding dari tanggal 9 sd 15 Mei 2006.

Pertumbuhan gereja di Korea memang luar biasa.  Kini, jumlah orang Kristen di Korea mencapai sekitar 25 sd 30 % dari  populasi yang ada. Di antara gereja-gereja yang kami kunjungi terdapat dua gereja terbesar di dunia.  Pertama adalah gereja dengan jumlah jemaat terbesar di dunia : Yoido Full Gospel Church yang digembalakan oleh Pdt. Yonggi Cho dengan anggota jemaat sekitar 800.000.  Kedua, adalah gereja Presbiterian terbesar di dunia, yakni Myungsung Presbyterian Church, yang digembalakan oleh Pdt. Kim Sam Hwan, dengan anggota sebanyak 50.000.  Kami juga mengunjungi beberapa gereja lain, baik yang berukuran sedang dengan anggota jemaat sekitar 1.000 sd 2.000, atau pun gereja kecil dengan aggota jemaat 200 sd 1000 orang.

 

Gereja yang Berdoa

Dalam kunjungan ke beberapa gereja tersebut, kami mendapatkan kesan yang sangat kuat bahwa gereja-gereja Korea adalah gereja yang berdoa. Setiap gereja yang kami kunjungi mempunyai ibadah doa pagi yang luar biasa diminati oleh jemaat.  Di Myungsung Presbertian Church, setiap hari setidaknya ada tiga jam doa pagi : Pk. 04.00, Pk. 05.00, dan Pk. 06.00, dengan kehadiran 1500 sd 2000 orang/jam kebaktian doanya.  Ketika kami menghadiri kebaktian Pk. 06.00, kami menemukan bahwa rangkaian acara doa pagi itu tidak jauh berbeda dengan doa pagi yang ada di GKI.  Ibadah doa pagi yang berlangsung selama satu jam itu dibuka dengan dua nyanyian dan dilanjutkan dengan khotbah dan doa syafaat.  Sungguh hati kami tergetar mendengar orang-orang Kristen di Korea membuka suara dalam doa syafaat mereka untuk Indonesia.  Ruangan yang hening, tiba-tiba menjadi gemuruh dengan suara doa.  Nampaknya sudah menjadi hal yang biasa di gereja Presbiterian itu, jemaat berdoa dengan mengangkat tangan dan membuka suara.  Di setiap gereja yang kami kunjungi, doa pagi menjadi acara yang diminati dan dihadiri sekitar 10 sd 30 % dari anggota jemaat tersebut setiap harinya.  Di gereja lain, misalnya Jangseok Presbyterian Church yang mempunyai gedung gereja khas arsitektur tradisional Korea, mempunyai program doa berantai selama 24 jam yang berlangsung terus menerus selama 7 hari.  Anggota jemaat yang terlibat dalam program ini mempunyai tanggung jawab untuk berdoa selama 1 jam sesuai dengan jadwalnya, dan akan diteruskan oleh anggota jemaat lainnya.  Luar Biasa!  Semangat doa yang sama kami temukan juga di gereja-gereja lainnya.

Apa yang membuat jemaat Korea begitu bersemangat berdoa?  Kami belum bisa mendapatkan jawaban pasti.  Sejauh kami amati, hal ini sangat berkaitan dengan karakter orang Korea yang diwarnai dengan komitmen, disiplin, dan keuletan.  Komitmen, disiplin, dan keuletan inilah yang mewarnai kehidupan spiritualitas mereka.  Itulah sebabnya mereka bukan saja menjadi jemaat yang bergereja, tetapi juga jemaat yang mengasihi Yesus, dan mewujudkan kasih itu pada gereja-Nya.  Kasih orang Korea kepada gereja-Nya diwujudkan dalam bentuk doa dan ketulusan pelayanan yang nyata.  Beberapa gereja yang kami kunjungi bukan saja memiliki jemaat yang tekun berdoa, tetapi juga mewujudkan kasih itu dengan kerelaan memberikan waktu dan tenaga untuk bergiliran membersihkan gereja.  Suatu pekerjaan yang di gereja Indonesia, hanya dikerjakan oleh koster atau cleaning service.    

 

Gereja yang Bermisi Dunia

Sejauh kami amati, gereja-gereja Korea mempunyai pemahaman bahwa gereja hadir di dunia ini untuk orang lain.  Pemahaman inilah yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan pemberitaan Injil baik secara verbal, maupun melalui aksi sosial.  Tidak peduli, apakah gereja itu besar atau kecil, gereja-gereja Korea adalah gereja bagi orang lain.  Kami mendapatkan kesempatan mengunjungi sebuah gereja kecil, yang beribadah di sebuah kompleks pertokoan.  Dalam padanan bahasa Inggrisnya, nama gereja ini adalah Evergreen Church.  Sebuah gereja dengan 200 jemaat dan hanya mempunyai tempat beribadah kecil.  Tetapi, Evergreen Church mempunyai misi dunia.  Mereka mengutus dan membiayai setidaknya lima orang missionaris ke seluruh belahan dunia.  Luar biasa!  Sungguh di tengah kecenderungan gereja di Indoensia untuk membangun gedung demi kebanggaan diri, kami melihat terharu melihat gereja-gereja Korea yang hadir bagi orang lain, termasuk bagi Indonesia.  Di tahun 2005, sebuah gereja yang lain yakni Shinsung Presbyterian Church mengutus tim misi yang terdiri sekitar 25 orang untuk membangun rumah dan melaksankan pelayanan kesehatan di Bitung, Sulawesi Utara.  Beberapa anggota rombongan pun sempat terheran-heran dan bahkan berkata,"  Ada apa sih di Bitung, kok mereka sampai menyempatkan waktu untuk datang?"  Ternyata tim misi itu melaksanakan pelayanan kesehatan dan membangun 20 rumah bagi para pengungsi yang datang dari Ambon dan Poso.  Sungguh, sebuah gereja yang hadir bagi orang lain.  Gereja yang memiliki misi dunia!  Belum terbilang kegiatan-kegiatan pelayanan sosial yang luar biasa.  Mulai dari panti asuhan, pengobatan medis, dan pelayanan kepada masyarakat yang tersisih menjadi bagian dari kehidupan gereja di Korea.

Darimana semangat misi dunia ini berasal?  Kami pun tidak dapat dengan tuntas menjawab pertanyaan ini.  Hanya ada satu hal yang menjadi pemicu pesatnya misi dunia dari gereja Korea.  Kami sempat mengunjungi Korean Martyrs Memorial, sebuah museum yang menunjukkan gambar-gambar orang Kristen Korea yang mati syahid.  Menelusuri museum itu, menjadi jelas bagi kami bahwa orang Kristen Korea adalah jemaat yang menghargai perjuangan para misionaris maupun para pendahulu mereka.  Orang Kristen di Korea menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang "berhutang" pada para pekabar Injil.  Kini, mereka ingin "membayar hutang" tersebut dengan meneruskan misi pekabaran Injil itu ke seluruh dunia.  Gereja di Korea sangat mendorong dan menghargai mereka yang terlibat dalam pekabaran Injil.  Di Jangseok Presbyterian Church terdapat 4  plakat tapak kaki emas sebagai wujud apresiasi terhadap 4 orang jemaatnya yang masing-masing sudah mengabarkan Injil secara pribadi kepada lebih dari 1000 orang.  Luar biasa!   Orang Kristen di Korea sangat menghayati bahwa gereja hadir untuk menjadi berkat melalui pelayanannya dan pemberitaan Injil. 

 

Gereja yang Bergumul dengan Globalisasi

Dengan segala kelebihan yang dimiliki, gereja Korea bukanlah gereja yang sempurna.  Pengamatan kami menunjukkan gereja-gereja di Korea berada dalam pergumulan yang serius dengan globalisasi.  Globalisasi telah membentuk selera dan cara berpikir yang berbeda bagi kaum muda di sana.  Gereja-gereja Korea menyadari bahwa mereka harus berpikir ulang untuk menjangkau generasi muda.  Mereka menyadari bahwa perjuangan memenangkan generasi muda ini membutuhkan pendekatan dan strategi baru.  Saat ini,   remaja dan pemuda Kristen hanya berkisar sekitar 10 sd 20 % dari keseluruhan anggota gereja.  Di sisi lain, sekitar 50 % penduduk Korea, mayoritas di antaranya adalah kaum muda, tidak tertarik dengan agama.  Sekularisme dan hedonisme menjadi tawaran yang menarik bagi kaum muda Korea.

Beberapa gereja di Korea mencoba menjangkau kaum muda dengan mengubah liturgi dan iringan musik yang mereka gunakan.  Pada umumnya, gereja-gereja yang sudah mapan di Korea, baik Presbiterial maupun Pentakosta, menggukan pola liturgis baku, dan menyanyikan hymne yang sama seperti KJ dan NKB dengan iringan piano dan organ.  Kini, seperangkat alat band dan liturgi yang lebih bebas menjadi sarana untuk menjangkau generasi muda Korea. Mereka mulai menyadari bahwa generasi yang berbeda membutuhkan pendekatan yang berbeda pula.

 

Bisakah Kita Meniru Gereja di Korea? 

Ada satu pertanyaan yang terus menerus mencuat dalam percakapan di sepanjang perjalanan kami : mungkinkah gereja di Indonesia meniru gereja di Korea?  Ya, bisa saja, tetapi hasilnya pasti berbeda.  Kekristenan di Korea berkembang didukung oleh karakter bangsa Korea yang diwarnai dengan disiplin, tanggung jawab, dan kepatuhan kepada otoritas.  Kekristenan yang bertemu dengan budaya unggul bangsa Korea ini  menghasilkan pesatnya pertumbuhan gereja dan dampak yang luar biasa bagi pelayanan di seluruh dunia. Di Indonesia, bukankah disiplin, tanggung jawab, dan kepatuhan adalah hal-hal yang sulit kita temukan, bukan saja di gereja tetapi juga di seantero negeri ini?  Sebelum meniru gereja di Korea, gereja di  Indonesia harus menyelesaikan pergumulannya yang khas.  Pergumulan untuk turut membentuk karakter bangsa ini.  Pergumulan untuk menyemaikan benih dan menjadi teladan dalam disiplin, tanggung jawab, dan kepatuhan terhadap otoritas.  Siapkah kita? 

 

Annyonghi geseyo! Selamat tinggal! Gamsa hamnida. Terima kasih atas segala keramahannya dalam menyambut kami. Tuhan memberkati perjuangan gereja di Korea dan Indonesia.

 

Friday, December 22, 2006

Anugerah Terindah *

Seperti tahun-tahun yang lewat, menjelang Natal ini, saya punya kesibukan baru. Saya mendesign dan membuat sendiri kartu Natal yang akan saya kirimkan kepada para sahabat. Kesibukan ini saya kerjakan di sela-sela segala kegiatan pelayanan yang ada.

Suatu kali, sambil memotong-motong kertas, terlintas satu pemikiran di dalam benak saya. "Bagaimana yach seandainya Yesus tidak pernah dilahirkan dalam dunia ini?" Jawaban yang pertama kali juga terlintas dalam pikiran adalah "Kalau Yesus tidak pernah dilahirkan dalam dunia ini, maka tidak ada Natal" Dan tidak ada Natal berarti tidak ada kesibukan mendesign dan membuat kartu Natal dan menghabiskan cukup banyak uang untuk mengirimnya. Membutuhkan beberapa waktu bagi saya untuk menyadari bahwa jawaban itu terlalu naif. Ketika saya merenungkannya, ada sesuatu yang tiba-tiba sepertinya menjadi terang di dalam hati, secara khusus mengenai makna Natal.

Natal bukan hanya berbicara tentang kartu, selipan, kue Natal, pakaian baru, lagu Malam Kudus, Candle Light dll. Semuanya itu tadi hanyalah sama seperti bungkus dari sebuah kado. Nilai sebuah kado tidak ditentukan oleh betapa indah dan mahalnya bungkus kado itu, tetapi oleh isinya. Betapa bodohnya saya apabila ada seseorang yang memberikan kado kepada saya,dan saya membukanya, tetapi kemudian saya hanya menikmati dan memuji keindahan bungkus kado itu. Tetapi itulah yang seringkali dilakukan banyak orang-termasuk saya- tentang Natal. Kita menikmati segala pernak-pernik keindahan Natal, seperti seseorang yang menikmati keindahan bungkus kado. Tetapi kita melupakan isi kado tersebut, kita melupakan Yesus Kristus yang sebenarnya adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan kepada manusia. Betapa seringkali kita sering bertindak naif. Menikmati pernak-pernik Natal tanpa pernah menikmati yang terbaik yang merupakan anugerah terindah bagi kita dari Allah : Yesus Kristus.

Mengapa Allah memberikan anugerah terindah yang terindah kepada kita? Yoh 3:16 secara tegas menjawab " … supaya semua yang percaya kepada-Nya tidak binasa tetapi beroleh hidup yang kekal …" Kekekalan adalah hadiah terindah dari Allah untuk manusia. Hidup yang kekal berarti sebuah kehidupan yang dilingkupi berkat dan anugerah Allah. Tidak saja untuk kehidupan nanti setelah kematian, tetapi juga untuk kehidupan masa kini dan sampai selama-lamanya. Dan kabar baiknya adalah anugerah terindah itu tersedia untuk semua orang.

Selamat merayakan Natal. Pesan saya hanya satu : waktu membuka kado Natal, jangan hanya puas dengan bungkusnya, tetapi nikmatilah isinya.
 
 
*) Tulisan saya di www.5roti2ikan.net (alm);  counter menunjukkan tulisan yang diupload pada November 2001, telah dikunjungi sebanyak 1284 kali.

Thursday, December 21, 2006

Ukuran Pengaruh Gereja

Ukuran pengaruh geeja ditemukan dalam masyarakat--dijalan, dan bukan di bangku gereja.
 
Neil Cole dalam Gereja Organik
 

Wednesday, December 20, 2006

Natal : Allah Melawat Umat-Nya

Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan bagi-Nya. Di sanalah perayaan Natal yang sesungguhnya itu terjadi. Saya ajak Anda untuk mendaftar, mengingat, kemudian melawat mereka yang selama ini dilalaikan, yang eksis tetapi dianggap non-eksis, mereka yang tidak pernah dilawat. Tetapi ingat, melawat itu bukan hanya berkunjung, atau nongol sebentar setahun sekali supaya masuk koran. Melawat ... artinya adalah datang untuk bertindak, membawa dan memberi pertolongan--terutama kepada mereka yang sudah tidak berani mengharapkan pertolongan, mereka yang sudah berhenti berharap.

Eka Darmaputera dalam Tatkala Allah Melawat Umat-Nya.

Monday, December 18, 2006

Ucapan Selamat Natal dalam 114 Bahasa

Afrikaans: Gesëende Kersfees
Afrikander: Een Plesierige Kerfees
African/ Eritrean/ Tigrinja: Rehus-Beal-Ledeats
Albanian:Gezur Krislinjden
Arabic: Milad Majid
Argentine: Feliz Navidad
Armenian: Shenoraavor Nor Dari yev Pari Gaghand
Azeri: Tezze Iliniz Yahsi Olsun
Bahasa Malaysia: Selamat Hari Natal
Basque: Zorionak eta Urte Berri On!
Bengali: Shuvo Naba Barsha
Bohemian: Vesele Vanoce
Brazilian: Feliz Natal
Breton: Nedeleg laouen na bloavezh mat
Bulgarian: Tchestita Koleda; Tchestito Rojdestvo Hristovo
Catalan: Bon Nadal i un Bon Any Nou!
Chile: Feliz Navidad
Chinese: (Cantonese) Gun Tso Sun Tan'Gung Haw Sun
Chinese: (Mandarin) Kung His Hsin Nien bing Chu Shen Tan (Catonese) Gun Tso Sun Tan'Gung Haw Sun
Choctaw: Yukpa, Nitak Hollo Chito
Columbia: Feliz Navidad y Próspero Año Nuevo
Cornish: Nadelik looan na looan blethen noweth
Corsian: Pace e salute
Crazanian: Rot Yikji Dol La Roo
Cree: Mitho Makosi Kesikansi
Croatian: Sretan Bozic
Czech: Prejeme Vam Vesele Vanoce a stastny Novy Rok
Danish: Glædelig Jul
Duri: Christmas-e- Shoma Mobarak
Dutch: Vrolijk Kerstfeest en een Gelukkig Nieuwjaar! or Zalig Kerstfeast
English: Merry Christmas
Eskimo: (inupik) Jutdlime pivdluarit ukiortame pivdluaritlo!
Esperanto: Gajan Kristnaskon
Estonian: Ruumsaid juulup|hi
Ethiopian: (Amharic) Melkin Yelidet Beaal
Faeroese: Gledhilig jol og eydnurikt nyggjar!
Farsi: Cristmas-e-shoma mobarak bashad
Finnish: Hyvaa joulua
Flemish: Zalig Kerstfeest en Gelukkig nieuw jaar
French: Joyeux Noel
Frisian: Noflike Krystdagen en in protte Lok en Seine yn it Nije Jier!
Galician: Bo Nada
Gaelic: Nollaig chridheil agus Bliadhna mhath ùr! German: Froehliche Weihnachten
Greek: Kala Christouyenna!
Haiti: (Creole) Jwaye Nowel or to Jesus Edo Bri'cho o Rish D'Shato Brichto
Hausa: Barka da Kirsimatikuma Barka da Sabuwar Shekara!
Hawaiian: Mele Kalikimaka
Hebrew: Mo'adim Lesimkha. Chena tova
Hindi: Shub Naya Baras
Hausa: Barka da Kirsimatikuma Barka da Sabuwar Shekara!
Hawaian: Mele Kalikimaka ame Hauoli Makahiki Hou!
Hungarian: Kellemes Karacsonyi unnepeket
Icelandic: Gledileg Jol
Indonesian: Selamat Hari Natal
Iraqi: Idah Saidan Wa Sanah Jadidah
Irish: Nollaig Shona Dhuit, or Nodlaig mhaith chugnat
Iroquois: Ojenyunyat Sungwiyadeson honungradon nagwutut. Ojenyunyat osrasay.
Italian: Buone Feste Natalizie
Japanese: Shinnen omedeto. Kurisumasu Omedeto
Jiberish: Mithag Crithagsigathmithags
Korean: Sung Tan Chuk Ha
Lao: souksan van Christmas
Latin: Natale hilare et Annum Faustum!
Latvian: Prieci'gus Ziemsve'tkus un Laimi'gu Jauno Gadu!
Lausitzian:Wjesole hody a strowe nowe leto
Lettish: Priecigus Ziemassvetkus
Lithuanian: Linksmu Kaledu
Low Saxon: Heughliche Winachten un 'n moi Nijaar
Macedonian: Sreken Bozhik
Maltese: IL-Milied It-tajjeb
Manx: Nollick ghennal as blein vie noa
Maori: Meri Kirihimete
Marathi: Shub Naya Varsh
Navajo: Merry Keshmish
Norwegian: God Jul, or Gledelig Jul
Occitan: Pulit nadal e bona annado
Papiamento: Bon Pasco
Papua New Guinea: Bikpela hamamas blong dispela Krismas na Nupela yia i go long yu
Pennsylvania German: En frehlicher Grischtdaag un en hallich Nei Yaahr!
Peru: Feliz Navidad y un Venturoso Año Nuevo
Philipines: Maligayan Pasko!
Polish: Wesolych Swiat Bozego Narodzenia or Boze Narodzenie
Portuguese:Feliz Natal
Pushto: Christmas Aao Ne-way Kaal Mo Mobarak Sha
Rapa-Nui (Easter Island): Mata-Ki-Te-Rangi. Te-Pito-O-Te-Henua
Rhetian: Bellas festas da nadal e bun onn
Romanche: (sursilvan dialect): Legreivlas fiastas da Nadal e bien niev onn!
Rumanian: Sarbatori vesele
Russian: Pozdrevlyayu s prazdnikom Rozhdestva is Novim Godom
Sami: Buorrit Juovllat
Samoan: La Maunia Le Kilisimasi Ma Le Tausaga Fou
Sardinian: Bonu nadale e prosperu annu nou
Serbian: Hristos se rodi
Slovakian: Sretan Bozic or Vesele vianoce
Sami: Buorrit Juovllat
Samoan: La Maunia Le Kilisimasi Ma Le Tausaga Fou
Scots Gaelic: Nollaig chridheil huibh
Serb-Croatian: Sretam Bozic. Vesela Nova Godina
Serbian: Hristos se rodi.
Singhalese: Subha nath thalak Vewa. Subha Aluth Awrudhak Vewa
Slovak: Vesele Vianoce. A stastlivy Novy Rok
Slovene: Vesele Bozicne Praznike Srecno Novo Leto or Vesel Bozic in srecno Novo leto
Spanish: Feliz Navidad
Swedish: God Jul and (Och) Ett Gott Nytt År
Tagalog: Maligayamg Pasko. Masaganang Bagong Taon
Tami: Nathar Puthu Varuda Valthukkal
Trukeese: (Micronesian) Neekiriisimas annim oo iyer seefe feyiyeech!
Thai: Sawadee Pee Mai or souksan wan Christmas
Turkish: Noeliniz Ve Yeni Yiliniz Kutlu Olsun
Ukrainian: Srozhdestvom Kristovym
Urdu: Naya Saal Mubarak Ho
Vietnamese: Chung Mung Giang Sinh
Welsh: Nadolig Llawen
Yugoslavian: Cestitamo Bozic
Yoruba: E ku odun, e ku iye'dun!
 
 
Kelahiran Yesus Kristus mempunyai dampak yang luas di seluruh dunia.  Ratusan juta bibir dengan ratusan bahasa menyambut kelahiran-Nya.  Tetapi, mengapa dunia tidak menjadi lebih baik bahkan 2000 tahun setelah kelahiran-Nya dirayakan?  Apakah ini adalah indikasi bahwa seringkali terdapat jurang yang dalam antara mulut dan hati di dalam kehidupan kita?  Selamat menyambut Natal dengan mulut yang menyuarakan kedalaman hati!

Allah yang Terasa Lambat (Yes 64:1-9)

 

Salah satu masalah besar yang kita hadapi dalam hidup ini yang pasti menggelisahkan kita adalah ketika kita harus menunggu sesuatu di dalam ketidakpastian. Biasanya berbagai ketidakpastian inilah yang menggelisahkan hati kita. Bayangkan ketika seorang ibu yang sedang menantikan kelahiran anaknya. Pada hari yang diperkirakan oleh dokter ternyata si jabang bayi tidak kunjung lahir juga. Bayangkan pula orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit, demikian lama mereka berharap dan menunggu, tetapi tidak ada kejelasan mereka akan sembuh atau tidak. Atau juga seorang bujangan yang telah lama menantikan hadirnya jodoh yang ditentukan baginya. Ia bergumul dengan dua pertanyaan ini: apakah saya akan berjodoh dengan seseorang ataukah saya harus melajang seumur hidup saya? Mungkin juga kita sedang menunggu pengumuman penting di kantor, apakah kita menjadi salah seorang pegawai yang turut mendapatkan kenaikan pangkat tahun ini.

Semua ketidakpastian ini pastinya sangat menggelisahkan hati kita, membuat kita tidak merasa nyaman dan cemas. Kita lebih suka dengan jawaban ya atau tidak, kita tidak suka menunggu jawaban dalam waktu yang cukup lama. Di dalam hidup ini sering kali kita tidak merasa sabar atas sesuatu, semuanya harus serba pasti. Akibatnya, kita akan merasa gelisah ketika kita menjumpai sebuah ketidakpastian di dalam hidup ini.

Pada suatu malam, seusai melayani di sebuah gereja yang terletak di sebuah kota yang cukup sulit dijangkau dari mana pun juga, saya menunggu datangnya bus yang dapat mengantar saya kembali ke kota tempat tinggal saya. Itu adalah pengalaman saya yang pertama berada di kota itu. Walaupun sudah cukup malam, saya yakin bahwa akan ada bus antar kota yang akan berhenti di tempat itu, sehingga saya tidak terlalu terusik dengan lamanya waktu menunggu. Tetapi ada seorang bapak tua yang berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Semua gerak-gerik tubuhnya sangat menunjukkan kegelisahannya. Tak lama kemudian saya menghampirinya dan menanyakan alasan kegelisahannya itu. Dengan wajah berkerut karena cemas ia bertanya apakah masih ada bus antar kota yang akan berhenti di tempat kami berdiri ke arah kota yang sama dengan yang akan saya tuju. Dengan optimisme tinggi saya meyakinkan dia bahwa malam itu pasti akan ada bus yang akan datang untuk mengantar kami kembali pulang, dan kemudian saya mencoba untuk menenangkan hatinya. Tetapi bujukan saya itu tidak berhasil menenangkannya, karena menurutnya minggu sebelumnya ia berada di tempat yang sama untuk menunggu bus yang sama, dan ia baru mendapat bus pada pukul 01.00. Tetapi saya yang merasa sangat yakin, sehingga saya masih mencoba bersikap tenang. Orang itu begitu senewen dan mulai mengomeli saya. Sayangnya, memang bus yang kami nantikan baru muncul pada pukul dua dini hari.

Orang yang tidak gelisah di dalam ketidakpastian bisa berarti dua hal. Yang pertama mungkin ia adalah orang yang terlalu percaya diri dan mudah menggampangkan segala sesuatu. Yang kedua bisa jadi karena justru ia adalah orang yang sangat acuh dengan keadaan di sekelilingnya. Tetapi dalam kondisi normal, proses penantian terhadap sesuatu adalah sesuatu yang menggelisahkan.

"Tidak ada telinga yang mendengar, dan tidak ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia; hanya Engkau [Tuhan] yang berbuat demikian" (Yesaya 64:4). Di sini Tuhan digambarkan sebagai pribadi yang bertindak bagi orang yang menantikan-Nya. Bukankah ini adalah sebuah kabar baik? Tunggu dulu. Apabila dikatakan bahwa Tuhan akan bertindak bagi mereka yang menanti-nantikan-Nya, itu menandakan dua hal. Yang pertama adalah Tuhan bertindak, dan yang kedua adalah orang-orang yang menanti-nantikan Dia.

Apabila kita percaya bahwa Tuhan bertindak, maka kita pun harus percaya bahwa Dia akan bertindak pada waktu-Nya, sehingga kita harus sabar menantikan saat itu tiba. Dengan kata lain, kita harus memahami bahwa waktu Tuhan tidak sama dengan waktu kita. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Tuhan bertindak bagi orang-orang yang menanti-nantikan Dia. Jadi ada saatnya kita memang harus menunggu tindakan Allah dengan gelisah. Sering kali pada masa penantian itu kita dengan cemas bertanya-tanya, mengapa Tuhan tidak segera bertindak? Mengapa Dia tidak melakukan apa yang dipandang-Nya benar? Mengapa Dia tidak menjawab doa kita pada saat itu juga? Sekali lagi, Tuhan hendak mengajar kita untuk melihat perbedaan waktu-Nya dengan waktu kita. Dan jika memang kita merasa bahwa waktu itu terlalu lama, itu artinya Dia menghendaki kita untuk menunggu, walaupun dengan perasaan tidak tenang dan gelisah. 

 Alangkah menariknya ketika kita memperhatikan orang-orang yang sedang menunggu giliran di sebuah ruang tunggu dokter gigi. Biasanya mereka datang dengan muka muram dan tegang. Uniknya, ketika nama mereka dipanggil untuk giliran selanjutnya, mereka pun tidak menunjukkan ekspresi yang senang, bahkan ada yang merasa semakin tegang. Saya sering mendengar keluhan beberapa orang yang gelisah melihat anak atau cucunya belum mendapatkan jodohnya. Padahal mungkin yang bersangkutan malah bersikap santai. Semuanya itu memperlihatkan bagaimana untuk menunggu hal-hal yang wajar secara manusiawi, manusia dapat menjadi cemas, apalagi ketika kita sedang menunggu-nunggu Allah bertindak dalam hidup kita. Ketika kita jatuh sakit, kita berharap Allah segera menyembuhkan kita. Ternyata penyakit itu tidak kunjung sembuh. Kegelisahan itu akan terus menggerogoti pikiran kita. Tetapi mau tidak mau kita harus menunggu, bukan? 

 Menunggu adalah hal yang sangat menggelisahkan, terutama apabila kita menunggu waktu Tuhan bekerja atas sesuatu. Kita memang berhak merasa gelisah, tetapi tidak jarang kita memaksa Tuhan untuk memberi jawaban kepada kita atas penantian kita, jika memang Dia berkenan menolong, lebih baik Dia menyatakannya secara langsung kepada kita, dan jika tidak, lebih baik kita mendapatkan jawaban itu juga secara langsung dari-Nya sehingga kita tidak perlu menunggu. Tetapi memang itulah cara Tuhan bekerja yang menurut kita terasa lambat. Pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri sendiri adalah: apa yang harus kita lakukan sembari menunggu jawaban serta tindakan Allah?

Bangsa Israel pernah mengalami penantian yang membosankan. Ketika Musa sedang bersama dengan Allah di atas gunung Sinai, mereka merasa bahwa Musa terlalu lama berada di sana. Seharusnya ia segera turun dari gunung itu untuk memimpin mereka kembali, dan mereka pun menjadi sangat gelisah. Di antara mereka muncul berbagai dugaan, bisa jadi Musa telah wafat, atau mungkin ia telah pergi meninggalkan mereka, atau bahkan telah diangkat oleh Tuhan ke surga. Di tengah-tengah ketidakpastian itu mereka mengambil keputusan untuk mengumpulkan semua anting-anting serta perhiasan emas mereka dan meleburnya menjadi sebuah patung anak lembu emas untuk disembah. Begitu mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari ketidaksabaran untuk menunggu Musa mendapatkan hukum dari Allah bagi mereka. Mereka dengan mudahnya melupakan semua pertolongan serta mukjizat yang Allah nyatakan dalam sepanjang kehidupan mereka. Itulah sebabnya Musa begitu murka ketika kembali dan mendapati mereka berbuat tidak setia terhadap Allah.

Ketika memasuki masa studi di SAAT Malang, saya dan teman-teman diajak oleh seseorang untuk lebih mengenal daerah Malang dan sekitarnya. Pilihannya jatuh pada gunung Kawi yang terkenal sebagai tempat orang meminta berkat . Tujuannya bukanlah untuk melakukan hal yang sama, melainkan hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu kami akan tempat itu. Di sana kami mendapati seseorang memakai kaus oblong bertuliskan "Yesus Juruselamat dunia." Kami tertarik untuk berbincang-bincang dengannya. Setelah mengetahui bahwa kami adalah mahasiswa teologia, ia mengaku bahwa dirinya adalah seorang majelis jemaat sebuah gereja yang memiliki sebuah toko yang tidak pernah ramai oleh pembeli. Ia merasa Tuhan tidak menjawab doanya untuk membuat tokonya laris. Lalu ia mengikuti saran temannya untuk meminta petunjuk dari seorang paranormal.  Ketika kami menegurnya atas tindakan ini, bapak tersebut justru berkata,"  Ya ... untuk jaga-jaga saja.  Kalau dengan Yesus tidak berhasil, ya dengan yang ini semoga bisa berhasil.  Apalagi kalau Yesus bisa bekerja sama dengan paranormal tadi.  Pasti hebat hasilnya."

Tatkala kita mengalami sakit, kita mencoba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sembari memohon kesembuhan dari-Nya.  Tetapi ada kalanya kita tidak kunjung sembuh sehingga kita mulai memikirkan banyak alternatif di luar Kristus. Walaupun kita tahu bahwa pilihan pengobatan alternatif itu salah, apalagi dengan disebutkannya nama-nama di luar Tuhan kita, tetapi kita tidak sabar menunggu jawaban kesembuhan dari Tuhan, sehingga kita tetap melakukannya. Dengan mudahnya kita berkata bahwa kita akan meminta pengampunan dari Tuhan setelah kita sembuh berkat pengobatan alternatif itu. Tatkala kita tidak sabar menantikan jawaban serta tindakan Tuhan, sering kali kita bertindak seperti orang Israel, yaitu memutuskan untuk memakai berbagai jalan pintas yang justru bertentangan dengan kehendak-Nya, bahkan yang dibenci oleh-Nya.

Ketidaksabaran kita dalam menantikan waktu Tuhan selalu memunculkan masalah baru. Misalnya saja apabila kita merasa tidak menemukan lagi kecocokan dengan pasangan hidup kita -baik suami maupun istri- dan kita tidak sabar menunggu waktu Tuhan bekerja untuk mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik, maka dengan mudahnya kita memutuskan untuk bercerai dan mencari pasangan baru yang kita anggap lebih memahami kita dan lebih baik dari pasangan terdahulu.

Ketidaksabaran kita dalam menantikan waktu Tuhan, juga membuat kita melakukan banyak hal yang menyakiti hati-Nya dan orang lain. Tetapi orang yang tidak sabar akan menjadi semakin geram dengan pernyataan ini. Jika memang Allah memahami benar bahwa manusia sering kali tidak sabar dengan penantian yang panjang, mengapa justru Dia membuat seolah-olah waktu berjalan begitu lambat sehingga manusia harus selalu bersungut-sungut? Jawabannya terdapat pada ayat 8: "Tetapi sekarang, ya Tuhan, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu". Inilah faktanya, bahwa didalam masa penantian itu, sebenarnya Tuhan sedang membentuk hidup kita, dengan kata lain, kita sedang dibentuk oleh sang Pembuat. Waktu yang terasa lambat dan lama itu sebenarnya merupakan masa Tuhan mempersiapkan hidup kita untuk menerima berkat-Nya. Jadi pada saat kita bertanya-tanya mengapa Tuhan begitu lama menjawab doa kita, pada saat itulah sebenarnya Dia sedang membentuk dan mempersiapkan kehidupan kita sehingga pada saat yang tepat, hidup serta karakter kita telah terbentuk tepat seperti yang diharapkan-Nya pada saat Dia memberi jawaban atau berkat kepada kita. Sering kali orang yang tidak siap, baik itu mempersiapkan diri, disiapkan oleh Tuhan, maupun menolak untuk disiapkan oleh Tuhan, justru akan menemui serta membuat masalah baru.

Kita banyak menjumpai orang yang dulunya berkekurangan secara material tetapi kehidupan keluarganya bahagia dan suami-istri saling mendoakan, terutama agar keuangan mereka diberkati lebih dari cukup. Tetapi di kala mereka telah diberkati dengan limpah secara material, sang suami mulai tergoda untuk memalingkan hati dan perhatiannya kepada wanita lain, mereka tidak lagi saling mendoakan. Harta yang menjadi jawaban atas doa mereka ternyata tidak menjadi berkat, malah menimbulkan masalah baru. Mengapa? Karena mereka, terutama sang suami, tidak cukup matang dan siap dalam hal karakter dan iman untuk menerima berkat Tuhan, sehingga ia tidak mampu bereaksi tepat seperti yang diharapkan-Nya. Berkat Tuhan justru menjadi masalah baru, tidak lagi berkat.

 Begitu pula ketika kita sakit, ada saatnya Tuhan membentuk kita terlebih dahulu supaya kita siap menerima berkat kesembuhan itu. Ketika saya sedang mengunjungi seorang pria yang sedang sakit, istrinya malah berharap agar ia tidak segera sembuh. Menurutnya, jika segera sembuh, maka sang suami akan segera kembali menjadi pria yang berperangai kasar, suka memukul dan menyakitinya serta anak-anak mereka. Itulah yang menjadi alasan Tuhan tidak segera menjawab doa kita. Dia harus membentuk sifat, karakter, iman, serta hati kita terlebih dahulu untuk menyiapkan kita menerima jawaban doa tepat pada waktunya. Ketika kita siap menerima jawaban dari pergumulan kita, karakter serta perilaku dan iman kita terbentuk, maka saat itulah Tuhan siap bertindak bagi kita, dan kita akan menerimanya dengan bahagia.

Seorang pemuda mengeluh tentang ibunya. Dahulu sang ibu adalah seorang Kristen yang taat dan rajin ke gereja. Suatu ketika ia merasa kecewa dengan sesuatu yang dianggapnya tidak menyenangkan di gereja sehingga ia memutuskan untuk berpindah keyakinan. Bahkan sang ibu membuka pintu rumahnya untuk para pemuda dari kelompok agamanya untuk melakukan aktivitas ibadah di sana. Lalu pemuda ini meminta saya untuk mendoakan sang ibu agar menyadari perbuatannya dan bertobat. Ia menunggu selama satu tahun, tetapi doanya tidak kunjung terjawab. Ia bertanya kepada saya kira-kira mengapa hal ini bisa terjadi. Saya justru bertanya balik kepadanya, apa yang telah dilakukannya kepada sang ibu dalam masa penantian itu. Ia menjawab bahwa selama ini ia menunjukkan kebenciannya terhadap sang ibu. Bagi saya alasannya menjadi jelas. Manakala ia tidak sedang menghormati serta mengasihi sang ibu, saat itulah Tuhan melihat bahwa ia tidak siap menerima jawaban dari-Nya. Itulah sebabnya ia menuruti saran saya untuk tetap bahkan semakin mengasihi ibunya walaupun hatinya menentang hal itu. Enam bulan kemudian ia kembali mendatangi saya dan berkata bahwa ia telah berhasil mengasihi ibunya kembali dan ia terus melakukannya di dalam pembentukan yang Tuhan lakukan di dalam dirinya. Sampai akhirnya pada suatu pagi pada tahun yang ketiga, sang ibu berkata kepadanya bahwa ia ingin pergi ke gereja. Ia begitu bersukacita karena pada saat itulah Tuhan menjawab doanya. Jadi sebelumnya, ia tidak siap menerima pembentukan dari Allah sampai pada akhirnya karakter dan kasihnya menjadi murni, sehingga itulah saat yang tepat bagi Tuhan untuk bertindak baginya. 

Kita semua memiliki berbagai pengalaman mengenai belum terjawabnya doa kita, sehingga itu menggelisahkan hati kita. Tetapi apabila kita mencoba memahami bahwa waktu Tuhan tidaklah sama dengan waktu manusia, dan melihat bahwa di dalam masa penantian itu Tuhan sedang menguji dan membentuk karakter kita supaya kita siap menerima jawaban Tuhan, maka masa itu menjadi masa yang tidak menggelisahkan. Sebaliknya, masa penantian itu adalah saat yang baik bagi kita untuk diperbaiki dan dibentuk, seperti tanah liat di tangan Tuhan, sang Pembentuk kita. Kita tidak boleh marah apalagi sampai bertindak konyol dengan melakukan hal-hal yang menyakiti hati-Nya apabila doa kita belum terjawab. Memang tindakan Tuhan sering kali terasa lambat, tetapi Dia tidak pernah terlambat. Masa penantian adalah masa di mana Tuhan terus membentuk hidup kita.

Friday, December 15, 2006

Khotbah Natal : TUHAN adalah Raja (Maz 97:1-12)

Bukanlah kebetulan bila Natal dirayakan pada tanggal 25 Desember, hanya beberapa hari menjelang tahun ini berakhir. Sebagai umat Tuhan kita harus memahami bahwa Natal yang kita rayakan pada tanggal 25 Desember ini sesungguhnya memberi kesempatan kepada kita untuk merenungkan perjalanan hidup kita yang sudah berlangsung selama ini. Jadi, bukan sekadar untuk merasakan kasih Tuhan di dalam hidup kita, tetapi juga untuk menengok ke belakang, mencermati apakah kehidupan kita selama satu tahun ini adalah kehidupan yang memuaskan hati. Kalau kita ditanya, "Puaskah Anda dengan apa yang terjadi di seluruh dunia ini atau secara lebih spesifik di Indonesia?", apa jawaban Anda? Simpan jawaban itu setelah pertanyaan kedua. Sekarang kalau ditanya, "Puaskah Anda dengan apa yang terjadi sepanjang tahun ini di dalam diri Anda, keluarga Anda, pekerjaan Anda, hidup Anda sehari-hari? Apakah yang terjadi selama satu tahun ini membuat Anda sanggup berkata, "Ya, saya puas."? Puas atau tidak? Orang Timur seperti kita kerap menjawab dengan jawaban yang mengambang, "Yah lumayanlah, Pak." Kata "lumayan" itu tidak jelas artinya. Karena kecelakaan, seorang teman mengalami patah kaki. Ia malu sewaktu ditanya, "Kenapa kamu patah kaki? Ditabrak apa?" Akhirnya ia mengaku, "Kaki saya patah karena ditabrak becak." Kita lebih bangga kalau patah kaki karena ditabrak mobil.

            Melihat kondisinya, kami bertanya, "Bagaimana?"

Sang teman yang ditabrak tadi berkata, "Masih lumayanlah bukan leher yang patah."

Demikian pula situasinya ketika seorang suami meninggal dunia karena kecelakaan. Banyak orang datang dan menghibur sang istri dengan berkata, "Bagaimana suamimu?"

"Sudah mati."

Kemudian sang pria ini berkata, "Tetapi saya rasa kondisimu lebih lumayan. Coba bayangkan seandainya ia cacat seumur hidup. Masih lumayan ia langsung mati." Kata "lumayan" itu kadang kala menjadi tidak jelas artinya.

Mari kita pertajam pertanyaannya, "Berapa banyak hal yang Anda harapkan terjadi di tahun ini—keberhasilan dan kesuksesan—tetapi ternyata malah tidak terjadi? Sebaliknya, berapa banyak hal yang tidak Anda harapkan kehadirannya—penyakit, masalah, pergumulan—ternyata malah terjadi? Banyak atau sedikitkah? Biasanya akan muncul jawaban, "Lumayan, Pak."

Kalau jawaban kita, "Banyak," berarti dengan jujur kita harus mengakui bahwa apa yang terjadi sepanjang tahun ini ternyata tidak memuaskan hati kita, tidak menggembirakan hidup kita, tidak bisa membuat ktia tersenyum lebar, melainkan hanya bisa membuat kita tersenyum kecut dan tegang.

Sebenarnya rasa tidak puas itu alamiah dan manusiawi. Namun rasa tidak puas itu juga seperti pisau dengan dua sisi yang sama tajamnya. Di satu sisi, karena tidak puas, orang akan berusaha lebih baik, menciptakan teknologi yang lebih baik, bekerja dan berusaha lebih keras. Di sisi yang lain, rasa tidak puas itu sering menjadi alasan orang untuk bertindak semaunya sendiri. Suami yang berkata "tidak puas" kepada istrinya akan seperti layang-layang yang terbang dan beredar ke mana saja. Istri yang berkata "tidak puas" kepada suaminya juga akan seperti layang-layang yang terbang ke mana saja. Anak-anak yang tidak puas dengan keadaan orangtuanya akhirnya melarikan diri ke dalam kehidupan seks bebas, minum minuman keras, dan obat-obatan terlarang. Ketika ditanya kita akan berkata, "Saya tidak puas, Pak. Saya butuh tempat pelarian. Seandainya keluarga saya memuaskan saya, seandainya istri saya memuaskan saya, saya tidak akan berselingkuh." "Seandainya suami saya memuaskan saya, baik dalam kebutuhan jasmani maupun rohani, saya tidak mungkin jatuh ke pelukan orang lain." Anak-anak pun berkata, "Seandainya papa dan mama saya memenuhi kebutuhan kasih di dalam hidup saya, hidup saya tidak mungkin hancur berantakan seperti ini."

Kalau kita berkata, "Saya tidak puas dengan apa yang terjadi pada tahun ini. Banyak hal yang saya harapkan justru tidak menjadi kenyataan. Banyak hal yang buruk terjadi dalam hidup saya." Biasanya kalau manusia tidak puas, pertama-tama ia akan menyalahkan orang lain, "Itu lho, Pak, suami saya itu." "Itu lho, Pak, istri saya itu." Setelah menyalahkan orang lain, yang kedua ia akan menyalahkan situasi, "Ya habis bagaimana Pak, saya kekurangan. Kebetulan ada barang baik ya saya ambil." Dan yang ketiga, orang yang tidak puas akan menyalahkan Tuhan. Ia akan menunjuk Tuhan dan berkata, "Tuhan, mengapa semua ini terjadi pada hidupku? Apa yang Engkau lakukan?" Karena tidak puas kepada Tuhan, maka kita berusaha untuk menghukum Tuhan, "Kalau sampai tahun depan usaha saya tidak bertambah lancar, Tuhan, saya tidak mau lagi datang ke gereja." "Kalau sampai tahun depan keluarga saya tidak berubah, Tuhan, terpaksa persembahan untuk-Mu saya beri diskon 50%, 60%, 70%." "Kalau sampai tahun depan tidak terjadi apa-apa, jangan berharap saya mau melayani, apalagi menjadi majelis."

Berbicara tentang rasa puas dan tidak puas dalam hidup manusia, sesungguhnya ada Pribadi yang paling berhak untuk merasa tidak puas dengan apa yang terjadi pada hidup Anda dan dunia ini. Pribadi itu adalah Tuhan yang menciptakan manusia. Kalau Dia melihat dunia ini, Dia boleh berkata dalam hati-Nya, "Tidak puas!" Karena firman Tuhan berkata, "Dia menciptakan segala sesuatunya begitu baik." Namun, ketika Tuhan mempercayakan pengelolaan dunia ini kepada manusia, ketika kebebasan mengatur dunia ini dianugerahkan kepada manusia, pada saat itulah manusia memberontak melawan Tuhan, melawan kehendak Tuhan Sang Raja itu, dengan hidup menuruti hawa nafsu dan keinginannya. Ketika Tuhan, Sang Raja itu, berfirman kepada Adam dan Hawa untuk mengelola dunia ini, Adam dan Hawa ingin seperti Tuhan. Mereka memberontak dan melawan Tuhan Akibatnya, keturunan mereka, Kain, membunuh Habel. Ketika Tuhan menyerahkan dunia ini untuk dikelola oleh manusia, ternyata manusia malah tidak tahu berterima kasih. Ternyata manusia penuh dengan kemarahan dan memberontak melawan Tuhan, Sang Raja itu.

Suatu kali seorang anggota jemaat memperlihatkan kepada saya sebuah foto yang sangat unik. Tahukah Anda bahwa di dunia ini ada orang yang begitu sayang kepada anjing peliharaannya. Anjing itu diberi pakaian. Tidur bersama dengannya di ruang ber-AC. Jika sakit, anjing itu akan dibawa ke dokter. Yang lebih hebat lagi, ketika ulang tahun ia diberi kue ulang tahun. Suatu kali seorang anggota jemaat memperlihat foto kepada saya, "Pak, lihat potret anak saya." Ketika saya melihat potret itu, itu adalah foto ulang tahun yang ke-3. Tampak seekor anjing nyengir di sebelah kue ulang tahun. Manusia dan binatang peliharaannya ternyata bisa begitu mengasihi. Namun, mari kita bayangkan seandainya orang itu adalah Anda. Binatang itu Anda pelihara dengan baik, cintai dengan baik, tetapi suatu kali binatang itu tiba-tiba menggigit kaki Anda. Mungkin reaksi spontan Anda adalah menginjak. Jika Anda termasuk penggemar RW [masakan daging anjing], Anda akan memandangnya dan berkata, "Hidupmu tidak akan lama lagi. Kamu menggigit aku, sekarang aku yang akan menggigit kamu. Nasibmu sudah di ujung tanduk."

Manusia memberontak melawan Tuhan yang memberikan hidup kepadanya. Manusia menolak pemerintahan Tuhan, firman Tuhan, dan kehendak-Nya di dalam hidupnya. Dengan sengaja manusia berkata, "Saya tidak mau itu. Saya mau mengikuti diriku dan keinginanku dan hawa nafsuku." Tuhan yang bertakhta di surga, yang memberikan kepada manusia kebebasan dan kewenangan untuk mengatur dunia ini, bisa menjadi sangat kecewa dan terluka tatkala melihat manusia saling melukai dan menghancurkan, tatkala melihat keluarga yang dipercayakan-Nya kepada kita menjadi berantakan dan dipenuhi kepahitan karena orang-orang di dalamnya sudah menolak pemerintahan Tuhan. Bagian Alkitab yang kita baca di atas menggambarkan betapa Tuhan memerintah dunia dengan kuasa-Nya. Hanya kepada manusia, Dia menciptakan yang terbaik. Dia memberikan kehendak bebas supaya manusia bisa memilih untuk berlutut dan menyembah Tuhan atau lari dan memberontak melawan Tuhan.

Suatu ketika ketika masih di Semarang saya diajak seorang teman untuk mengunjungi peternakan babi. Ia mempunyai ratusan babi. Babi-babi itu ditimbang. Setelah beratnya cukup, tidak kurang dan tidak kelebihan, maka babi itu akan dibawa ke tempat penjagalan di tempat lain. Di situ sudah ada truk besar yang menanti. Sebuah papan diletakkan miring dari atas truk menuju tanah. Babi-babi ini akan dinaikkan ke truk itu. Tahukah Anda cara menaikkan babi itu ke atas truk? Kalau 5 kilogram bisa dilempar saja. Masalahnya, bobot babi itu 50-60 kilogram. Ada seratusan babi di sana. Babi itu dihadapkan pada jalan naik ke atas truk. Kemudian, lehernya dijerat dengan tali. Dan orang yang berdiri di depannya menariknya. Apa yang terjadi? Apakah ketika ditarik dan diperintahkan untuk naik, babi itu mau naik? Kaki babi itu mengerem di tempat. Semakin ditarik, semakin ia berusaha mengerem diri dan mundur. Teman saya berkata bahwa kalau berurusan dengan babi janganlah seperti begitu. Hadapkan babi ke truk, pasang jerat lagi, sekarang berdirilah di belakangnya, lalu tarik! Apa yang terjadi? Babi itu maju. Ditarik semakin kencang, ia berlari naik sendiri ke truk.

Kadang kala manusia tak ubahnya seperti babi itu. Sudah ada firman Tuhan, ada kehendak Tuhan yang baik bagi seorang suami atau istri untuk menjaga kekudusan pernikahan yang sudah diperintahkan, diminta, dititahkan, namun ternyata kita malah mundur dan selingkuh dengan orang lain. Ada orang yang diperintahkan oleh Tuhan untuk hidup jujur, menjaga integritas hidup, bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh, tetapi ia malah memasang rem dan mundur, lalu hidup dalam kebohongan dan dusta. Tidak berbeda dengan babi tadi. Justru apa yang dilarang oleh Tuhan, itu menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan.

Apa yang diminta Tuhan menjadi sesuatu yang kita tolak. Percayalah, manusia tidak lebih baik dari babi tadi. Tatkala manusia menolak ajakan Tuhan dan titah Tuhan untuk hidup di dalam firman-Nya, menolak pemerintahan Tuhan yang menguasai hatinya, sesungguhnya pada saat itu ia ingin menuruti keinginan dan hawa nafsunya sendiri. Betapa kita yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah ternyata sama seperti binatang yang sering kita pandang sebelah mata itu.

Ketika manusia memberontak melawan Tuhan dan kehendak-Nya, maka manusia harus siap menerima konsekuensi-Nya di dalam hidupnya. Ia harus siap menerima konsekuensi dari keinginannya menuruti hawa nafsu, dari segala keinginannya untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak-Nya. Manusia harus menerima tanggung jawab itu.

Manakala kita menolak firman Tuhan, Sang Raja itu, dan memilih untuk menuruti hawa nafsu kita sendiri, maka pada saat itulah kita harus bertanggung jawab untuk segala masalah atau pergumulan yang terjadi dalam hidup kita.

Sebuah keluarga terdiri dari seorang suami, istri, dan dua orang anaknya yang masih kecil, 6 dan 8 tahun. Sang ibu terlihat begitu lembut. Sang bapak tampak begitu kekar. Kumis lebat. Seram. Mereka duduk bersama di meja makan. Sambil memelintir kumisnya, sang bapak berkata kepada anak-anaknya, "Anak-anak, dengarkan! Papa tidak mau ada yang makan lalu membuat tempat ini menjadi kotor. Kalau ada gelas jatuh dan membasahi lantai, siapa pun yang melakukan itu akan Papa pukul." Semuanya mendengarkan dengan baik. Anaknya yang berusia 6 dan 8 tahun berhati-hati sekali. Namun, anak-anak tetaplah anak-anak. Tanpa sengaja si sulung menyenggol segelas susu. Gelas itu jatuh dan pecah. Ia sudah sangat ketakutan. Tanpa banyak bicara si bapak memegang anaknya dan memukulnya. "Kamu sudah tahu apa yang Ayah katakan!" Si anak menangis, ibunya menghiburnya.

Minggu depannya mereka makan bersama lagi. Si anak sangat berhati-hati. Kali itu ketika sang bapak hendak mengambil selai, tangannya menyikut segelas susu. Gelas itu jatuh dan pecah. Si anak berteriak kecil, "Hore! Kita akan melihat Papa memukuli dirinya sendiri." Semuanya terdiam. Si bapak berdiri, kemudian berkata, "Mama, lain kali jangan sembarangan menaruh gelas susu saya!" Istrinya ketakutan. Itulah gambaran tentang kita. Kita tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan kita. Kita tidak mau bertanggung jawab akibat pemberontakan kita melawan Tuhan dan kehendak-Nya. Kita selalu mencari orang lain untuk disalahkan. Kita selalu menuding Tuhan untuk disalahkan bahwa karena "Engkaulah, hidupku menjadi seperti ini".

Mulai sekarang, berhentilah menyalahkan orang lain dan lingkungan sekitar kita. Terimalah tanggung jawab sebagai pria, sebagai wanita, dan sebagai anak Tuhan. "Permasalahan dalam hidup saya adalah akibat kesalahan saya dan pemberontakan saya melawan Tuhan dan kehendak-Nya."

Di malam Natal 2.000 tahun yang lalu, Tuhan Sang Raja dunia itu memutuskan untuk meninggalkan takhtanya. Dia memutuskan untuk meninggalkan segala kemuliaan-Nya di surga dan takhta-Nya yang luar biasa itu, lalu datang sebagai manusia ke dunia ini hanya dengan satu tujuan, yakni Dia ingin menduduki takhta di dalam hati kita. Dia ingin menjadi raja yang menguasai hidup kita sepenuhnya. Dia ingin memulihkan hidup kita. Dia ingin mengembalikan kita pada kondisi ketika Dia menciptakan kita dalam keadaan sangat baik. Natal adalah saat ketika Tuhan tidak puas dan merasa prihatin melihat hidup manusia, saat ketika Dia turun ke dalam dunia ini bukan untuk menghukum, tetapi  untuk menduduki takhta-Nya di hati kita.

Firman Tuhan berkata, "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya." Bagaimana manusia bisa berkenan di hadapan Tuhan? Manusia bisa berkenan ketika ia membiarkan Tuhan, Sang Raja, Yesus Kristus itu untuk menguasai hatinya.

Kitab Wahyu menggambarkan Tuhan berdiri di muka pintu dan mengetuk. Dia ingin mendapatkan tempat di dalam hidup kita. Dia ingin mendapatkan tempat yang utama. Dia sudah merasakan menjadi raja semesta alam, kini Dia ingin merasakan menjadi raja atas hidup Anda.

.

 

Wednesday, December 13, 2006

Doa : Menutup Mata, Menembus Batas (Kis 4:23-31)

Seringkali ada pertanyaan yang diajukan jemaat kepada saya, yaitu ,  "Pak Wahyu,  mengapa di gereja Protestan seperti  kita kok rasanya semangat berdoanya tidak seperti di gereja X?  Di gereja X itu,  Pak,  kalau berdoa bisa ratusan,  bahkan ribuan orang yang datang. Kalau di tempat kita paling bisa dihitung dengan tangan. Dengan 2 tangan, paling 10 orang.  Jangankan ratusan, puluhan saja sudah terasa sulit, Pak".  "Kenapa ya, Pak , di tempat-tempat  seperti gereja kayak kita kok sulit sekali orang punya semangat yang besar untuk berdoa. Hanya orang-orang  tertentu yang rajin dan tekun datang ke doa pagi dan ke doa malam.   Sungguh ini bukan sebuah pertanyaan yang sederhana untuk dijawab. Tentu ada banyak variabel yang harus kita pertimbangkan kalau kita ingin menjawab pertanyaan itu. Tidak ada satu saja jawaban yang mudah : karena ini,  karena itu atau karena hal yang lain.

Kali ini  kita akan berbicara tentang satu sisi saja mengenai kehidupan doa kita.  Kalau kita percaya dan mengakui bahwa  doa adalah komunikasi kita dengan Allah, maka itu artinya  kita berkomunikasi dengan Allah, Allah berkomunikasi dengan kita. Tetapi sama halnya seperti  bentuk komunikasi-komunikasi  yang lain,  tingkat relasi kita akan menentukan jenis komunikasi kita.  Misalnya yang sederhana saja;  saya pulang dari Surabaya menuju Semarang dengan kereta api, "Rajawali",  dengan  dari Surabaya ke Semarang.  Di sebelah saya duduk seseorang yang tidak saya kenal dan  yang  belum pernah saya lihat wajahnya sebelumnya. Kami sama sekali tidak mempunyai relasi apapun.  Apakah kami akan berkomunikasi?  Mungkin ya, mungkin tidak. Mungkin sama-sama ddiam. Kalaupun berkomunikasi tingkatnya akan berada pada tingkat basa-basi.  "Bapak ke Semarang, ya?"  (Padahal ini memang kereta ke Semarang). "Hari ini agak mendung, ya, Pak?" (Padahal semua orang juga sudah tahu). Jadi komunikasi yang terjadi paling-paling  tingkatnya hanya sekedar basa-basi saja. Belum lagi kalau orangnya yang kita ajak komunikasi itu seram pembawaannya.  "Ke Semarang, ya?"  ("Hm em").  "Hari ini mendung, ya?" ("Hmm").  Lama-lama karena tidak ada relasi, maka akhirnya komunikasi akan mati.  Di pihak kita, kita juga enggan untuk  memulai. Ada rasa tidak suka, karena tidak ada relasi yang sebenarnya. Namun, bayangkan seandainya, yang di sebelah saya itu adalah kekasih saya. Belum duduk pun,  saya pasti sudah mengajaknya berbicara.   Pertanyaannya pasti tidak basa-basi macam  "Ini ke Semarang, ya?"   Pasti tidak. Pasti pertanyaannya timbul dari hati ke hati. Perjalanan panjang pun terasa singkat dan menyenangkan, ketika komunikasi kami lancar.  Semakin dekat relasi kita, semakin akrab dan dalamlah tingkat komunikasi kita.  Kita pun akan menikmatinya 

Ada kalanya kita menyadari bahwa tingkat kehidupan doa kita tidak lancar.  "Rasanya saya susah mau  ngomong apa waktu berdoa".   "Saya ndak tau, Pak, doa saya  kayak telegram atau sms :  Tuhan berkati ini,  Tuhan berkati itu.  Selesai."  "Saya heran kok ada orang bisa berdoa berjam-jam, saya nggak bisa itu. Saya bisa baca koran, nonton TV berjam-jam, tapi kalau berdoa saya nggak bisa."

 Ketika kita merasa asing di hadapan Allah, ketika kita merasa tidak tahu mau berdoa apa lagi, dan  rasanya kalimat-kalimat doa kita seperti basa-basi saja, di saat itulah kita harus bertanya tentang kedalaman relasi kita dengan Allah. Apakah Allah terasa seperti orang asing bagi kita sehingga kita enggan untuk berkomunikasi dan berbicara? Kita tidak tahu mesti mengatakan apa lagi di hadapan-Nya?  Kalau hal ini terjadi pada hidup kita,  sesungguhnya ada sesuatu yang tidak beres dalam relasi kita dengan Tuhan.

Salah satu indikator dari kerohanian yang sehat adalah jumlah jam-jam doa.  Jumlah saat-saat di mana kita mengungkapkan kedekatan relasi itu di dalam komunikasi yang erat dan akrab dengan Allah.  Apa sih untungnya kita berdoa?  Apa sih yang kita dapatkan ketika kita berdoa?  Apa sih pentingnya doa?  Pertanyaan-pertanyaan itu sering muncul di benak kita.  Berdasarkan Kisah Para Rasul 4:  23 - 31, saya ingin membagikan 2 hal yang terjadi ketika kita mulai berdoa. 

Hal yang pertama dapat kita temukan di dalam ayat 24 dan 29, dan yang sebelumnya didahului oleh ayat 28.  Di dalam ayat-ayat tersebut kita melihat  bahwa doa mengarahkan mata batin kita  untuk melihat melihat sebuah perspektif kedaulatan Tuhan. Di tengah pergumulan kehidupan  kita sehari-hari,  ketika kita berdoa,  sesungguhnya yang terjadi adalah : mata batin kita iarahkan melalui doa itu kepada sebuah pemandangan kedaulatan Tuhan.  Para murid waktu itu beraada di dalam suatu situasi yang sangat terjepit.  Nyawa mereka taruhannya. Di dalam pemandangan mereka secara kasat mata yang nampak  adalah orang-orang yang mengancam mereka. Sedangkan para murid jumlahnya sedikit saja, dan mereka tidak dapat meminta tolong kepada orang lain. Tetapi perhatikanlah  sesuatu  terjadi ketika mereka berdoa.  Perhatikan kalimat-kalimat pertama yang keluar dari bibir mereka.  Kalimat mereka menunjukkan sebuah perspektif  kedaulatan Tuhan. Mereka tidak mulai dengan keluhan bahwa begitu banyak musuh mereka atau betapa menyengsarakannya musuh mereka itu. Tetapi mereka mulai dengan doa, "Ya, Tuhan, Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi..."

  Doa mereka memberikan suatu terobosan untuk melihat bahwa di tengah masalah dan pergumulan mereka, ada tangan Tuhan yang berkuasa dan berdaulat.  Ada tangan Tuhan yang berkuasa di balik semua musuh-musuh mereka. Ada tangan Tuhan di balik semua tekanan yang menimpa hidup mereka.  Doa itu memberi mereka sebuah terobosan untuk melihat perspektif kedaulatan Tuhan. 

Ada pepatah berbunyi :"seperti katak di dalam tempurung"; artinya orang yang tidak memiliki wawasan yang luas. Ketika hidup kita nyaman, indah dan semuanya berjalan baik, kita mungkin merasa tidak ada beban di dalam hidup ini.  Tetapi ketika kita mulai diperhadapkan kepada tantangan dan pergumulan tertentu, kita bisa menjadi seperti "katak di dalam tempurung" tadi.  Artinya beban pergumulan itulah yang menguasai dunia kita,  pikiran kita, dan hati kita, sehingga kita tidak bisa melihat hal lain selain dari beban pergumulan dan permasalahan itu.  Ada orang yang mengeluh,  "Setiap saya bangun, saya teringat masalah ini. Sewaktu saya makan , sayapun teringat masalah ini; bahkan saat saya ingin membaringkan diri dan tidur, masalah itu teringat kembali."  Jadi beban pergumulan akan mengurung kita seperti tempurung yang mengurung katak. Makin lama tempurung itu makin mengecil, makin mengecil dan makin mengecil,  sehingga kita seolah ingin berkata, "Saya nggak melihat jalan keluar yang lain. Saya nggak tau lagi mesti ngapain.  Saya nggak bisa lagi.  Saya sudah mandek, Pak".  Ketika wawasan kita sudah semakin sempit dan terjepit, maka saat itu segala sesuatu sepertinya halal untuk  dilakukan. Bukankah kita mendengar ada orang yang mengakhiri hidupnya karena beban dan pergumulannya? Kita mungkin heran, "Pak, ia kan orang pintar dan terpelajar. Kenapa  kok bisa mengambil langkah itu?"  Hal itu terjadi karena beban dan pergumulan itu membuatnya terbelenggu dalam tempurung yang  makin lama makin kecil, sehingga ia tidak melihat adanya terobosan yang lain.  Kita mungkin juga pernah mendengar ada orang yang melakukan sesuatu sehingga  kita bertanya, "Kok,  sampai ia melakukan hal yang setega itu pada keluarganya?"  Itu terjadi karena beratnya beban di atas pundaknya dan sempitnya wawasan karena beban dan pergumulan tersebut.

 Doa membawa kita untuk menerobos sempitnya wawasan hidup kita yang dikungkung oleh masalah. Doa memampukan kita untuk  menerobos dan melihat bahwa di balik semuanya ada tangan Tuhan yang bekerja. Bahwa di balik semua orang-orang yang menyulitkan hidup saya , di balik semua orang-orang yang membuat hidup saya berantakan,  sesungguhnya ada kendali dan kuasa Tuhan.  Ketika kita berdoa, sesungguhnya doa itu mengarahkan mata batin kita untuk melihat sesuatu yang tidak nampak dengan mata jasmani; untuk melihat tangan Tuhan yang penuh kuasa.  Ketika kita enggan  berdoa, atau  ketika doa kita hanya sekedar basa-basi, maka tidak akan mungkin terobosan itu ada di dalam hidup kita. Doa mengarahkan mata batin kita ke arah sebuah perspektif kedaulatan Tuhan. 

Yang ke dua, seperti tertulis dalam ayat 31, doa membawa kita pada kesadaran akan kehadiran Tuhan.  Kata kehadiran Tuhan bisa   memiliki 2 arti.  Arti pertama,  bahwa Allah hadir di dalam segala perkara dan memang itu terasa abstrak dan tidak nyata.  Kedua, kehadiran khusus yang disebut sebagai teofani.  Teofani secara sederhana berarti penampakan Tuhan melalui tanda-tanda tertentu.  Ayat ke-31 menyatakan bahwa ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat itu.  Ini adalah sebuah teofani yang menyadarkan mereka tentang kehadiran Tuhan.

Doa membawa kita pada kesadaran kesadaran Tuhan.  Ini berarti seringkali doa tidak otomatis menyelesaikan semua masalah kita.  Lihat, ketika para rasul berdoa, mereka tidak menemukan musuh-musuh mereka tergeletak.  Mereka tidak menemukan orang-orang yang membenci mereka tiba-tiba meninggal. Satu jaminan yang diberikan Allah kepada mereka adalah kehadiran-Nya..  Para rasul bisa merasakan di hati mereka  bahwa Allah sungguh hadir. 

Kadang kala dalam pergumulan,  kita menantikan jawaban doa sambil mengharapkan perubahan yang terjadi di luar diri kita.  Sama halnya dengan cerita tentang seorang anak berusia 5 tahun yang menurut pengamatan ibunya mempunyai perilaku doa yang aneh.  Kalau anak itu berdoa sebelum  makan di rumah mereka sendiri,  si Anak akan berdoa panjang lebar, "Tuhan, terima kasih untuk mama yang memasak untuk kami.  Berkati masakannya supaya kami bisa memakannya, menyantapnya dengan sukacita; supaya rasanya enak..." Doanya panjang.  Sebaliknya, ketika si Anak diajak makan keluar, ke restoran,  dan diminta berdoa, si Anak menaikkan doa dalam  3 kata  saja : " Tuhan, terima kasih.  Amin."  Hal itu  terjadi berulang-ulang.  Si Ibu kemudian bertanya, "Kenapa kamu berdoa seperti itu?"   Si Anak menjawab, "Salahkah saya berdoa seperti itu?" "Tidak," kata ibunya lagi, "hanya saja mama ingin tahu kenapa kamu kalau berdoa di rumah  doanya panjang, sedangkan kalau di restoran doanya pendek sekali?"   Si anak kemudian menjawab lagi, "Kalau saya di restoran doanya pendek, karena makanannya sudah pasti enak.  Kalau di rumah, ya mam, kita betul-betul perlu pertolongan Tuhan. Kita betul-betul perlu mujizat Tuhan supaya makanan mami rsanya bisa berubah menjadi lezat dan enak."

  Kita sering seperti bersikap anak kecil ini.  Kita  selalu mengharap dan menanti jawaban doa yang terjadi di luar kita.   Kita selalu meminta, "Tuhan saya berdoa untuk ini, saya berdoa untuk itu. Ubahlah ini ubahlah itu, ubahlah semuanya di sekeliling saya supaya saya nyaman." Kita menanti Tuhan menjawab doa ini dan itu. Kita mengarahkan mata perubahan di luar diri kita.  Setelah kita berdoa,  kita memiliki daftar dan kita melihat apakah Tuhan sudah melakukan yang kita kehendaki.  Ketika kita mendapati Tuhan tidak melakukan seperti itu.  Tuhan seolah tidak bergerak dan  apa yang kita doakan tidak membawa hasil seperti yang kita minta, maka kita kecewa. 

Kita lupa bahwa seringkali  jawaban doa dari Tuhan tidak terjadi di luar diri kita. Kita lupa bahwa seringkali jawaban doa dari Tuhan terjadi di dalam diri kita. Kita mengarahkan mata  untuk melihat sudahkah Tuhan melakukan pekerjaan-Nya dan mengabulkan permohonan saya?  Pada saat yang bersamaan kita lupa bahwa bisa saja yang terjadi adalah bahwa yang diberikan oleh Tuhan adalah kehadiran-Nya di dalam diri kita yang memberi kekuatan.  Alkitab menulis bahwa setelah Para rasul berdoa perubahan itu terjadi di dalam hati mereka. Tantangan masih sama besar, pergumulan masih sama besar, masih sama beratnya,  tetapi di dalam diri mereka,  - dengan kuasa firman Tuhan dan  Roh Kudus - mereka memberitakan firman Allah dengan berani. Artinya Tuhan menjawab mereka tidak dengan mengubah situasi sekeliling mereka,  tetapi Tuhan menyatakan kehadiran-Nya melalui Roh Kudus yang memberikan kekuatan dan keberanian.

Kalau kita kecewa karena sudah berdoa dan jawaban doa kita tidak terjadi,  maka saat itu adalah saat untuk melihat ke dalam hati kita.  Tuhan menjanjikan kehadiran-Nya bagi mereka yang mau  berlutut dan berdoa.   Banyak kali jawaban doa kita tidak seperti yang kita inginkan. Bahkan Tuhan pun sepertinya menolak permohonan kita. Tetapi kehadiran-Nya, itu pasti!

  Ketika beban kehidupan begitu berat berada di pundak kita, sehingga  begitu mempengaruhi hidup kita, kita berdoa, "Tuhan, angkat beban yang ada di atas pundak saya ini. Saya sudah tidak kuat." Ternyata Tuhan tidak mengangkatnya.  Kalau kita mengarahkan jawaban doa kita itu keluar , yaitu kepada beban itu, kita gampang menjadi kecewa.  Tetapi satu hal yang pasti, Tuhan memberikan kehadiran-Nya ketika kita berdoa. Kalau Ia tidak mengangkat beban berat itu dari pundak kita, berarti kehadiran-Nya akan membuat pundak kita kuat untuk menanggung beban itu.  Tidak ada yang lebih luar biasa dari pada hal itu,  bukan? 

Tuhan tidak selalu ingin memenuhi semua kemauan hidup kita.  Tuhan yang menciptakan dan membentuk kita dalam rencana-Nya.  Salah satu rencana-Nya yang sangat jelas adalah ketegaran hidup.  Salah satu rencana-Nya yang paling dasyat adalah kesanggupan umat untuk menjalani hidup ini bersama dengan kehadiran Tuhan.   Doa memberikan bagi kita suatu kesempatan untuk merasakan kehadiran Tuhan secara lebih dekat lagi di dalam hidup kita.

Mengapa kita sulit berdoa?  Mungkin karena kita merasa cukup tangguh dalam menghadapi hidup ini. Mungkin karena kita kecewa.  Mungkin juga karena kita pernah berdoa dan tidak mendapatkan hasil apapun. Tetapi sesungguhnya ketika lutut mulai bertelut dan ketika tangan mulai bersatu, ketika mata dipejamkan,  saat itu Allah mengaruniakan kepada kita sebuah perspektif kekekalan.  Saat itu Allah mengaruniakan kepada kita kehadiran-Nya. Betapa ruginya kalau kita tidak berdoa.  Betapa malangnya diri kita, kalau kita harus menghadapi kerasnya hidup ini seorang diri,  padahal Tuhan sudah menjanjikan penyertaan-Nya bagi kita. 

Tuesday, December 12, 2006

Breaking News : Berita Kelahiran


Aduh ... aku barusan dikeluarin nih dari kandungan mamaku. Senin, 11 Desember 2006; pk. 09.50 di RKZ.









Aku nangis, tadi enak-enak di dalam kok harus dikeluarin sih. Oh, iya, aku sudah hampir lewat 42 minggu di kandungan. Jadi, aku harus dioperasi caesar, karena di leherku ada kalung tali pusar.








Uh, abis dimandiin. Seg
er. Aku diukur dulu. Beratku 3,1 kg, dan panjangku 51 cm.










Aku lirik dulu ah ... ada apa sih kok ramai sekali di luar ya?










Nah, ini aku. Aku diberi nama mama-papaku : BENEDICT ALDEN PRAMUDYA. Mama pingin aku diberkati dan jadi berkat, dan jadi orang yang bijaksana. Panggil saja : Alden.

Aku mirip papa atau mama sih?






Friday, December 08, 2006

Pembuktian Kebenaran Iman

Jika keyakinan akan peristiwa Kebangkitan membuat tetangga saya pemeluk Agama Kristen menjadi manusia yang lebih baik, lebih mencintai dan lebih dermawan, lebih mampu menghadapi penderitaan dan kekecewaan, maka keyakinan tersebut adalah keyakinan yang benar, terlepas dari apakah secara historis benar terjadi atau tidak. 
 
Harold S Kushner, seorang Rabi, dalam Who Needs God?
 

Thursday, December 07, 2006

Tetap Tegar di Masa Sukar

Hidup ini sulit.  Inilah realita yang kita alami sehari-hari.  Setiap hari kita harus berjuang dengan lalu lintas yang makin macet, pekerjaan yang makin keras persaingannya,  beban kebutuhan hidup keluarga yang makin membengkak.  Gereja?  Wah kadangkala justru pelayanan di gereja melahirkan banyak masalah dan konflik yang seperti duri tajam menusuk dan menyakitkan.   Di luar kesulitan-kesulitan itu kita masih harus terbayang-bayangi dengan resiko terjadinya bencana alam, tertular penyakit-penyakit yang makin ganas,  dan juga bahaya kejahatan yang makin variatif metodenya.   Ibarat sebuah botol air,  maka daya tampung dan daya tahan manusia dalam menghadapi kesulitan itu ada batasnya.  Stress dan gangguan kejiwaan menjadi sahabat yang makin akrab dengan kehidupan manusia masa kini.

 

Kadangka juga ada orang-orang yang menyangkali realita sulitnya hidup ini.  Kata-kata mereka senantiasa indah dan berbunga-bunga.  Kadang-kadang juga dibungkus dengan kata-kata rohani, seolah-olah mengesankan iman yang kuat.  "Tidak ada masalah di sini, yang ada hanya kesempatan.  Tidak ada yang mustahil bagi anak-anak Tuhan," mungkin begitu kata mereka.  Tentu, menyemangati orang lain untuk menjadi tangguh adalah pekerjaan yang mulia.  Tetapi, tentu saja tidak boleh menyemangati orang dengan menutupi realita yang sebenarnya.   Ibarat orang sakit kanker di kepalanya, kita tidak boleh menyemangatinya dengan berkata,"  Tenang,  hanya sakit kepala biasa.  Pasti akan sembuh."   Masalahnya sekarang adalah bagaimana supaya kita tetap tegar di masa sukar?  Saya ingin memaparkan tiga langkah untuk menjadi tegar di masa yang sukar.

 

Langkah pertama untuk menjadi tegar di masa sukar adalah mengakui bahwa saat ini kita berada di masa sukar.  Tidak menyangkali, tidak menutup-nutupi kenyataan betapa sukarnya hidup ini.  Rasul Petrus dalam suratnya yang pertama justru berbicara dengan lugas tentang  penderitaan-penderitaan yang akan terjadi di dalam kehidupan umat Tuhan.  Kepada umat Tuhan yang terpaksa tersebar karena penganiayaan, Rasul Petrus menyadari betapa keras dan sulitnya hidup mereka.  Umat Tuhan saat itu mengalami kesulitan untuk menggapai hidup yang sejahtera, karena mereka ada pendatang yang terpaksa berkelana dengan bekal yang terbatas.  Bukan hanya itu saja, mereka juga harus menanggung beban penderitaan tambahan karena identitas mereka sebagai umat Tuhan.  Terhadap kenyataan seperti ini, Rasul Petrus tidak menyalahkan mereka.  Ia tidak mendakwa umat yang mengalami kesulitan itu sebagai orang yang telah berbuat dosa besar, atau kekurangan iman.  Rasul Petrus bahkan mengatakan," … sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia … " ( 1Petrus 3:14).  Terimalah  kenyataan bahwa kehidupan ini makin lama, makin terasa sukar dengan meningkatnya kebutuhan hidup.  Jangan membanding-bandingkan dengan masa lalu yang lebih baik, apabila pembandingan tersebut hanya akan menambah beban hidup kita di masa kini.

 

Langkah kedua untuk menjadi tegar di masa sukar adalah mengevaluasi dan memperbaiki bagaimana cara kita menjalani hidup ini.  Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan hidup ini menjadi sulit.  Faktor pertama adalah penderitaan kosmis yang dialami oleh semua manusia di dunia karena kejatuhan manusia pertama di dalam dosa.  Kitab kejadian mengisahkan akibat kejatuhan Adam dan Hawa maka tanah pun menjadi terkutuk, dan menghasilkan semak dan rumput duri (Kej 3:18).  Dalam perkembangan sejarah selanjutnya justru manusia memperparah lingkungannya melalui penggundulan hutan dan pencemaran lingkungan.  Semua hal ini menciptakan penderitaan kosmis yang menimpa semua manusia di dunia, termasuk orang percaya.  Misalnya, banjir tentu akan menggenangi rumah-rumah tanpa pernah bisa membedakan maka rumah umat Tuhan dan bukan.  Gereja pun bisa kebanjiran.  Ini adalah ciri penderitaan kosmis : menimpa siapa saja dan kapan saja.  Oleh karena itu, kesulitan hidup akibat penderitaan kosmis tidak dapat terhindakan secara total, dan hanya dapat diterima dengan hati yang tabah.

 

Faktor yang kedua yang menyebabkan hidup menjadi sulit adalah penderitaan akibat perilaku orang lain.  Rasul Petrus menuliskan," … Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?  Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga …" (1Pet 3:13-14).  Tersirat di sini adanya kemungkinan kita sudah menjalani hidup ini dengan baik, tetapi ada orang-orang tertentu yang berbuat jahat terhadap diri kita.  Misalnya, ada orang yang menipu usaha kita sehingga menimbulkan kesulitan.  Begitu juga penderitaan yang harus kita tanggung karena kita adalah umat Tuhan.  Terhadap umat yang harus menanggung penderitaan karena nama Tuhan, rasul Petrus memberi nasehat,"… jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah …" (1Petrus 4:16).  Penderitaan akibat perilaku orang lain kadangkala dapat kita hindarkan dengan pola hidup yang hati-hati dan cermat.  Sikap hati-hati dan cermat akan meloloskan kita dari penipuan orang atau menjadi korban kejahatan.  Tetapi, kadangkala kita juga tidak dapat menghindarkan diri dari penderitaan akibat perilaku orang lain.  Misalnya, kecerobohan orang lain menyebabkan kita terluka karena kecelakaan lalu lintas, atau juga kecelakaan di tempat kerja.

 

Faktor ketiga yang menyebabkan hidup ini menjadi sulit adalah penderitaan akibat kesalahan kita sendiri.  Setiap kesalahan tentu mempunyai konsekuensinya.  Tidak jarang konsekuensi dari kesalahan kita sendiri menjatuhkan diri kita pada jurang penderitaan hidup.  Rasul Petrus pernah menulis," Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat atau pengacau." (1Petrus 4:15).  Kesulitan hidup ini sudah terlampau banyak dan jangan ditambahi dengan kesulitan yang tidak perlu: kesulitan yang lahir akibat kesalahan diri kita sendiri.

 

Apakah Anda saat ini sedang mengalami masa sulit?  Coba Anda mengambil waktu sejenak untuk mengevaluasi hidup Anda.  Apakah masa sulit ini akibat penderitaan kosmis?  Akibat perilaku orang lain?  Atau sebenarnya akibat kesalahan Anda sendiri?  Kalau ternyata kesulitan ini adalah akibat kesalahan orang lain, maka perbaikilah pola hidup Anda.  Terimalah tanggung jawab atas kesalahan Anda, dan mulailah menjalani hidup dengan lebih bertanggung jawab.  Anda akan menjadi lebih tegar di masa sukar.

 

Langkah ketiga untuk tetap tegar di masa sukar adalah mengembangkan hubungan yang akrab dan hangat dengan Allah.  Rasul Petrus menegaskan hal ini dalam 1Petrus 5:10 "Dan Allah, sumber segala kasih karunia yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan memperlengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu …"  Ternyata Allah tidak berpangku tangan ketika kita harus melewati masa-masa yang sulit dalam kehidupan ini.  Allah terus bekerja di dalam diri kita.  Rasul Petrus menegaskan hal ini dengan menggunakan empat kata : memperlengkapi, meneguhkan, menguatkan, dan mengokohkan.  Ini berarti Allah memandang serius kesulitan hidup yang kita jalani.  Allah ingin akan kita menjadi tegar di masa sukar.  Tetapi, bagaimana kita dapat merasakan pekerjaan Tuhan yang memberikan topangan dan kekuatan itu?  Tentu hanya melalui hubungan yang akrab dan hangat dengan Allah.  Kita dapat memiliki hubungan yang akrab dan hangat dengan Allah melalui doa, pujian, pembacaan dan melakukan firman Tuhan.  Bukan sekedar rutinitas, tetapi muncul dari hati yang mencintai Allah.  Semakin kita membina hubungan yang akrab dan hangat dengan Allah, maka semakin tegar pulalah kita di masa yang sukar ini.