Wednesday, December 13, 2006

Doa : Menutup Mata, Menembus Batas (Kis 4:23-31)

Seringkali ada pertanyaan yang diajukan jemaat kepada saya, yaitu ,  "Pak Wahyu,  mengapa di gereja Protestan seperti  kita kok rasanya semangat berdoanya tidak seperti di gereja X?  Di gereja X itu,  Pak,  kalau berdoa bisa ratusan,  bahkan ribuan orang yang datang. Kalau di tempat kita paling bisa dihitung dengan tangan. Dengan 2 tangan, paling 10 orang.  Jangankan ratusan, puluhan saja sudah terasa sulit, Pak".  "Kenapa ya, Pak , di tempat-tempat  seperti gereja kayak kita kok sulit sekali orang punya semangat yang besar untuk berdoa. Hanya orang-orang  tertentu yang rajin dan tekun datang ke doa pagi dan ke doa malam.   Sungguh ini bukan sebuah pertanyaan yang sederhana untuk dijawab. Tentu ada banyak variabel yang harus kita pertimbangkan kalau kita ingin menjawab pertanyaan itu. Tidak ada satu saja jawaban yang mudah : karena ini,  karena itu atau karena hal yang lain.

Kali ini  kita akan berbicara tentang satu sisi saja mengenai kehidupan doa kita.  Kalau kita percaya dan mengakui bahwa  doa adalah komunikasi kita dengan Allah, maka itu artinya  kita berkomunikasi dengan Allah, Allah berkomunikasi dengan kita. Tetapi sama halnya seperti  bentuk komunikasi-komunikasi  yang lain,  tingkat relasi kita akan menentukan jenis komunikasi kita.  Misalnya yang sederhana saja;  saya pulang dari Surabaya menuju Semarang dengan kereta api, "Rajawali",  dengan  dari Surabaya ke Semarang.  Di sebelah saya duduk seseorang yang tidak saya kenal dan  yang  belum pernah saya lihat wajahnya sebelumnya. Kami sama sekali tidak mempunyai relasi apapun.  Apakah kami akan berkomunikasi?  Mungkin ya, mungkin tidak. Mungkin sama-sama ddiam. Kalaupun berkomunikasi tingkatnya akan berada pada tingkat basa-basi.  "Bapak ke Semarang, ya?"  (Padahal ini memang kereta ke Semarang). "Hari ini agak mendung, ya, Pak?" (Padahal semua orang juga sudah tahu). Jadi komunikasi yang terjadi paling-paling  tingkatnya hanya sekedar basa-basi saja. Belum lagi kalau orangnya yang kita ajak komunikasi itu seram pembawaannya.  "Ke Semarang, ya?"  ("Hm em").  "Hari ini mendung, ya?" ("Hmm").  Lama-lama karena tidak ada relasi, maka akhirnya komunikasi akan mati.  Di pihak kita, kita juga enggan untuk  memulai. Ada rasa tidak suka, karena tidak ada relasi yang sebenarnya. Namun, bayangkan seandainya, yang di sebelah saya itu adalah kekasih saya. Belum duduk pun,  saya pasti sudah mengajaknya berbicara.   Pertanyaannya pasti tidak basa-basi macam  "Ini ke Semarang, ya?"   Pasti tidak. Pasti pertanyaannya timbul dari hati ke hati. Perjalanan panjang pun terasa singkat dan menyenangkan, ketika komunikasi kami lancar.  Semakin dekat relasi kita, semakin akrab dan dalamlah tingkat komunikasi kita.  Kita pun akan menikmatinya 

Ada kalanya kita menyadari bahwa tingkat kehidupan doa kita tidak lancar.  "Rasanya saya susah mau  ngomong apa waktu berdoa".   "Saya ndak tau, Pak, doa saya  kayak telegram atau sms :  Tuhan berkati ini,  Tuhan berkati itu.  Selesai."  "Saya heran kok ada orang bisa berdoa berjam-jam, saya nggak bisa itu. Saya bisa baca koran, nonton TV berjam-jam, tapi kalau berdoa saya nggak bisa."

 Ketika kita merasa asing di hadapan Allah, ketika kita merasa tidak tahu mau berdoa apa lagi, dan  rasanya kalimat-kalimat doa kita seperti basa-basi saja, di saat itulah kita harus bertanya tentang kedalaman relasi kita dengan Allah. Apakah Allah terasa seperti orang asing bagi kita sehingga kita enggan untuk berkomunikasi dan berbicara? Kita tidak tahu mesti mengatakan apa lagi di hadapan-Nya?  Kalau hal ini terjadi pada hidup kita,  sesungguhnya ada sesuatu yang tidak beres dalam relasi kita dengan Tuhan.

Salah satu indikator dari kerohanian yang sehat adalah jumlah jam-jam doa.  Jumlah saat-saat di mana kita mengungkapkan kedekatan relasi itu di dalam komunikasi yang erat dan akrab dengan Allah.  Apa sih untungnya kita berdoa?  Apa sih yang kita dapatkan ketika kita berdoa?  Apa sih pentingnya doa?  Pertanyaan-pertanyaan itu sering muncul di benak kita.  Berdasarkan Kisah Para Rasul 4:  23 - 31, saya ingin membagikan 2 hal yang terjadi ketika kita mulai berdoa. 

Hal yang pertama dapat kita temukan di dalam ayat 24 dan 29, dan yang sebelumnya didahului oleh ayat 28.  Di dalam ayat-ayat tersebut kita melihat  bahwa doa mengarahkan mata batin kita  untuk melihat melihat sebuah perspektif kedaulatan Tuhan. Di tengah pergumulan kehidupan  kita sehari-hari,  ketika kita berdoa,  sesungguhnya yang terjadi adalah : mata batin kita iarahkan melalui doa itu kepada sebuah pemandangan kedaulatan Tuhan.  Para murid waktu itu beraada di dalam suatu situasi yang sangat terjepit.  Nyawa mereka taruhannya. Di dalam pemandangan mereka secara kasat mata yang nampak  adalah orang-orang yang mengancam mereka. Sedangkan para murid jumlahnya sedikit saja, dan mereka tidak dapat meminta tolong kepada orang lain. Tetapi perhatikanlah  sesuatu  terjadi ketika mereka berdoa.  Perhatikan kalimat-kalimat pertama yang keluar dari bibir mereka.  Kalimat mereka menunjukkan sebuah perspektif  kedaulatan Tuhan. Mereka tidak mulai dengan keluhan bahwa begitu banyak musuh mereka atau betapa menyengsarakannya musuh mereka itu. Tetapi mereka mulai dengan doa, "Ya, Tuhan, Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi..."

  Doa mereka memberikan suatu terobosan untuk melihat bahwa di tengah masalah dan pergumulan mereka, ada tangan Tuhan yang berkuasa dan berdaulat.  Ada tangan Tuhan yang berkuasa di balik semua musuh-musuh mereka. Ada tangan Tuhan di balik semua tekanan yang menimpa hidup mereka.  Doa itu memberi mereka sebuah terobosan untuk melihat perspektif kedaulatan Tuhan. 

Ada pepatah berbunyi :"seperti katak di dalam tempurung"; artinya orang yang tidak memiliki wawasan yang luas. Ketika hidup kita nyaman, indah dan semuanya berjalan baik, kita mungkin merasa tidak ada beban di dalam hidup ini.  Tetapi ketika kita mulai diperhadapkan kepada tantangan dan pergumulan tertentu, kita bisa menjadi seperti "katak di dalam tempurung" tadi.  Artinya beban pergumulan itulah yang menguasai dunia kita,  pikiran kita, dan hati kita, sehingga kita tidak bisa melihat hal lain selain dari beban pergumulan dan permasalahan itu.  Ada orang yang mengeluh,  "Setiap saya bangun, saya teringat masalah ini. Sewaktu saya makan , sayapun teringat masalah ini; bahkan saat saya ingin membaringkan diri dan tidur, masalah itu teringat kembali."  Jadi beban pergumulan akan mengurung kita seperti tempurung yang mengurung katak. Makin lama tempurung itu makin mengecil, makin mengecil dan makin mengecil,  sehingga kita seolah ingin berkata, "Saya nggak melihat jalan keluar yang lain. Saya nggak tau lagi mesti ngapain.  Saya nggak bisa lagi.  Saya sudah mandek, Pak".  Ketika wawasan kita sudah semakin sempit dan terjepit, maka saat itu segala sesuatu sepertinya halal untuk  dilakukan. Bukankah kita mendengar ada orang yang mengakhiri hidupnya karena beban dan pergumulannya? Kita mungkin heran, "Pak, ia kan orang pintar dan terpelajar. Kenapa  kok bisa mengambil langkah itu?"  Hal itu terjadi karena beban dan pergumulan itu membuatnya terbelenggu dalam tempurung yang  makin lama makin kecil, sehingga ia tidak melihat adanya terobosan yang lain.  Kita mungkin juga pernah mendengar ada orang yang melakukan sesuatu sehingga  kita bertanya, "Kok,  sampai ia melakukan hal yang setega itu pada keluarganya?"  Itu terjadi karena beratnya beban di atas pundaknya dan sempitnya wawasan karena beban dan pergumulan tersebut.

 Doa membawa kita untuk menerobos sempitnya wawasan hidup kita yang dikungkung oleh masalah. Doa memampukan kita untuk  menerobos dan melihat bahwa di balik semuanya ada tangan Tuhan yang bekerja. Bahwa di balik semua orang-orang yang menyulitkan hidup saya , di balik semua orang-orang yang membuat hidup saya berantakan,  sesungguhnya ada kendali dan kuasa Tuhan.  Ketika kita berdoa, sesungguhnya doa itu mengarahkan mata batin kita untuk melihat sesuatu yang tidak nampak dengan mata jasmani; untuk melihat tangan Tuhan yang penuh kuasa.  Ketika kita enggan  berdoa, atau  ketika doa kita hanya sekedar basa-basi, maka tidak akan mungkin terobosan itu ada di dalam hidup kita. Doa mengarahkan mata batin kita ke arah sebuah perspektif kedaulatan Tuhan. 

Yang ke dua, seperti tertulis dalam ayat 31, doa membawa kita pada kesadaran akan kehadiran Tuhan.  Kata kehadiran Tuhan bisa   memiliki 2 arti.  Arti pertama,  bahwa Allah hadir di dalam segala perkara dan memang itu terasa abstrak dan tidak nyata.  Kedua, kehadiran khusus yang disebut sebagai teofani.  Teofani secara sederhana berarti penampakan Tuhan melalui tanda-tanda tertentu.  Ayat ke-31 menyatakan bahwa ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat itu.  Ini adalah sebuah teofani yang menyadarkan mereka tentang kehadiran Tuhan.

Doa membawa kita pada kesadaran kesadaran Tuhan.  Ini berarti seringkali doa tidak otomatis menyelesaikan semua masalah kita.  Lihat, ketika para rasul berdoa, mereka tidak menemukan musuh-musuh mereka tergeletak.  Mereka tidak menemukan orang-orang yang membenci mereka tiba-tiba meninggal. Satu jaminan yang diberikan Allah kepada mereka adalah kehadiran-Nya..  Para rasul bisa merasakan di hati mereka  bahwa Allah sungguh hadir. 

Kadang kala dalam pergumulan,  kita menantikan jawaban doa sambil mengharapkan perubahan yang terjadi di luar diri kita.  Sama halnya dengan cerita tentang seorang anak berusia 5 tahun yang menurut pengamatan ibunya mempunyai perilaku doa yang aneh.  Kalau anak itu berdoa sebelum  makan di rumah mereka sendiri,  si Anak akan berdoa panjang lebar, "Tuhan, terima kasih untuk mama yang memasak untuk kami.  Berkati masakannya supaya kami bisa memakannya, menyantapnya dengan sukacita; supaya rasanya enak..." Doanya panjang.  Sebaliknya, ketika si Anak diajak makan keluar, ke restoran,  dan diminta berdoa, si Anak menaikkan doa dalam  3 kata  saja : " Tuhan, terima kasih.  Amin."  Hal itu  terjadi berulang-ulang.  Si Ibu kemudian bertanya, "Kenapa kamu berdoa seperti itu?"   Si Anak menjawab, "Salahkah saya berdoa seperti itu?" "Tidak," kata ibunya lagi, "hanya saja mama ingin tahu kenapa kamu kalau berdoa di rumah  doanya panjang, sedangkan kalau di restoran doanya pendek sekali?"   Si anak kemudian menjawab lagi, "Kalau saya di restoran doanya pendek, karena makanannya sudah pasti enak.  Kalau di rumah, ya mam, kita betul-betul perlu pertolongan Tuhan. Kita betul-betul perlu mujizat Tuhan supaya makanan mami rsanya bisa berubah menjadi lezat dan enak."

  Kita sering seperti bersikap anak kecil ini.  Kita  selalu mengharap dan menanti jawaban doa yang terjadi di luar kita.   Kita selalu meminta, "Tuhan saya berdoa untuk ini, saya berdoa untuk itu. Ubahlah ini ubahlah itu, ubahlah semuanya di sekeliling saya supaya saya nyaman." Kita menanti Tuhan menjawab doa ini dan itu. Kita mengarahkan mata perubahan di luar diri kita.  Setelah kita berdoa,  kita memiliki daftar dan kita melihat apakah Tuhan sudah melakukan yang kita kehendaki.  Ketika kita mendapati Tuhan tidak melakukan seperti itu.  Tuhan seolah tidak bergerak dan  apa yang kita doakan tidak membawa hasil seperti yang kita minta, maka kita kecewa. 

Kita lupa bahwa seringkali  jawaban doa dari Tuhan tidak terjadi di luar diri kita. Kita lupa bahwa seringkali jawaban doa dari Tuhan terjadi di dalam diri kita. Kita mengarahkan mata  untuk melihat sudahkah Tuhan melakukan pekerjaan-Nya dan mengabulkan permohonan saya?  Pada saat yang bersamaan kita lupa bahwa bisa saja yang terjadi adalah bahwa yang diberikan oleh Tuhan adalah kehadiran-Nya di dalam diri kita yang memberi kekuatan.  Alkitab menulis bahwa setelah Para rasul berdoa perubahan itu terjadi di dalam hati mereka. Tantangan masih sama besar, pergumulan masih sama besar, masih sama beratnya,  tetapi di dalam diri mereka,  - dengan kuasa firman Tuhan dan  Roh Kudus - mereka memberitakan firman Allah dengan berani. Artinya Tuhan menjawab mereka tidak dengan mengubah situasi sekeliling mereka,  tetapi Tuhan menyatakan kehadiran-Nya melalui Roh Kudus yang memberikan kekuatan dan keberanian.

Kalau kita kecewa karena sudah berdoa dan jawaban doa kita tidak terjadi,  maka saat itu adalah saat untuk melihat ke dalam hati kita.  Tuhan menjanjikan kehadiran-Nya bagi mereka yang mau  berlutut dan berdoa.   Banyak kali jawaban doa kita tidak seperti yang kita inginkan. Bahkan Tuhan pun sepertinya menolak permohonan kita. Tetapi kehadiran-Nya, itu pasti!

  Ketika beban kehidupan begitu berat berada di pundak kita, sehingga  begitu mempengaruhi hidup kita, kita berdoa, "Tuhan, angkat beban yang ada di atas pundak saya ini. Saya sudah tidak kuat." Ternyata Tuhan tidak mengangkatnya.  Kalau kita mengarahkan jawaban doa kita itu keluar , yaitu kepada beban itu, kita gampang menjadi kecewa.  Tetapi satu hal yang pasti, Tuhan memberikan kehadiran-Nya ketika kita berdoa. Kalau Ia tidak mengangkat beban berat itu dari pundak kita, berarti kehadiran-Nya akan membuat pundak kita kuat untuk menanggung beban itu.  Tidak ada yang lebih luar biasa dari pada hal itu,  bukan? 

Tuhan tidak selalu ingin memenuhi semua kemauan hidup kita.  Tuhan yang menciptakan dan membentuk kita dalam rencana-Nya.  Salah satu rencana-Nya yang sangat jelas adalah ketegaran hidup.  Salah satu rencana-Nya yang paling dasyat adalah kesanggupan umat untuk menjalani hidup ini bersama dengan kehadiran Tuhan.   Doa memberikan bagi kita suatu kesempatan untuk merasakan kehadiran Tuhan secara lebih dekat lagi di dalam hidup kita.

Mengapa kita sulit berdoa?  Mungkin karena kita merasa cukup tangguh dalam menghadapi hidup ini. Mungkin karena kita kecewa.  Mungkin juga karena kita pernah berdoa dan tidak mendapatkan hasil apapun. Tetapi sesungguhnya ketika lutut mulai bertelut dan ketika tangan mulai bersatu, ketika mata dipejamkan,  saat itu Allah mengaruniakan kepada kita sebuah perspektif kekekalan.  Saat itu Allah mengaruniakan kepada kita kehadiran-Nya. Betapa ruginya kalau kita tidak berdoa.  Betapa malangnya diri kita, kalau kita harus menghadapi kerasnya hidup ini seorang diri,  padahal Tuhan sudah menjanjikan penyertaan-Nya bagi kita. 

No comments: