Wednesday, December 06, 2006

Menantikan Sebuah Kebahagiaan

Tulisan ini adalah lanjutan kisah dari Ketika Seorang Pembantu Berkhotbah.  Selasa, 5 Desember, saya dan isteri memutuskan untuk ke dokter pengganti.  Pukul 17.00 kami sudah berangkat dengan harapan segera mendapatkan jawaban dan mengakhiri penantian kami.  Saya dan isteri sudah sepakat untuk meminta dokter melakukan operasi caesar.  Kesepakatan didasarkan pada usulan beberapa anggota jemaat dan sahabat.  Kami setuju, karena ini jalan paling aman dan akan mengakhiri  penantian kami.  Setelah dua jam menunggu, ketika hampir tiba giliran kami, dokter harus membantu proses kelahiran.  Kami pergi untuk makan malam dan saya mengikuti rapat di gereja.  Pk 21.30 kami sudah berada di ruang tunggu.  Sepuluh menit kemudian giliran isteri masuk ke ruang periksa seorang diri.  Saya menunggu di luar.
 
Ketika menunggu di luar, saya teringat sebuah buku kecil tulisan Henry Nouwen yang berjudul "Spiritualitas Penantian".  Petikan kalimat yang ditulis oleh Nouwen berbunyi " Waiting is essential to the spiritual life. But waiting as a disciple of Jesus is not an empty waiting. It is a waiting with a promise in our hearts that makes already present what we are waiting for. We wait during Advent for the birth of Jesus. We wait after Easter for the coming of the Spirit, and after the ascension of Jesus we wait for his coming again in glory. We are always waiting, but it is a waiting in the conviction that we have already seen God's footsteps."  Nouwen mencelikkan mata saya untuk melihat bahwa menanti adalah bagian hidup sehari-hari, bahkan bagian hidup menjadi umat Tuhan.  Penantian itu memang menggelisahkan, tetapi mengajarkan banyak hal dalam kehidupan ini.  Ketika penantian itu kita buang, atau ingin segera kita sudahi, maka tindakan itu seperti mengakhiri pengalaman belajar bersandar kita kepada Tuhan.  Saya setuju dengan Nouwen bahwa meski menunggu bukanlah sesuatu yang disukai oleh masyarakat modern, tetapi menunggu adalah bagian penting dari kehidupan rohani kita.
 
Isteri saya keluar dari ruang periksa dengan sebuah senyuman dan tawa kecil.  Saya pikir," Inilah saatnya.  Penantian telah berakhir."  Di mobil, dalam perjalanan pulang ke rumah  ia memberi tahu bahwa menurut dokter kondisi bayi dalam kandungannya baik-baik saja.  Lalu mengapa tidak segera lahir meski sudah memasuki minggu ke 41?  Menurut dokter hal ini terjadi karena siklus datang bulan isteri yang tidak rutin.  Konsekuensinya saat kelahiran bisa jadi mundur satu sd dua minggu lagi.   "Jadi minta untuk operasi caesar saja?," tanya saya.  "Sudah.  Tetapi, dokternya tidak mau,"  kata isteri saya.  Saya terkejut mendengarkan jawaban isteri saya.   Bukankah ini kabar langka di tengah begitu banyaknya berita yang tidak sedap tentang dokter dengan sigap melakukan operasi demi uang?  Dokter pengganti  yang sudah senior menolak untuk melakukan operasi caesar karena menurutnya bayi di kandungan isteri baik-baik saja.  "Terus bagaimana?," tanya saya.  "Ya, dokternya tadi bilang : tunggu saja," jawab isteri.  Penantian ternyata belum berakhir ...
 
Selasa malam itu kami pulang dengan perasaan lega.  Lega, karena ternyata bayi di kandungan isteri baik-baik saja.  Lega, karena kami tahu bahwa saat melahirkan bagi isteri saya bisa mundur karena siklus datang bulan yang tidak teratur  Lega, karena kalau pun kami harus menanti sebuah kebahagiaan, kini kami tahu apa yang harus dilakukan dalam penantian itu.  Mengisi penantian dengan pengalaman belajar berserah dan percaya penuh pada waktu dan jalan Tuhan.  Di tengah perjalanan pulang itu, dari radio terdengar sebuah lagu lembut yang akrab terdengar di telinga  :" Jalan-Mu tak terselami.  Oleh setiap hati kami.  Namun, satu hal kupercaya.  Ada rencana yang Indah " 
 

No comments: