Minggu-minggu ini terasa begitu melelahkan bagi saya dan isteri. Bukan secara fisik, tetapi secara emosi. Semua bermula hampir satu bulan yang lalu, Kamis 9 November. Tepat ketika saya akan berkotbah di PD Lansia, isteri saya yang sudah hamil tua menelpon dari rumah dan memberitahu bahwa sudah ada flek yang muncul. Bayangkan betapa terkejutnya saat itu. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain tetap berkhotbah. Kunci mobil saya tinggalkan di kantor, supaya pegawai kantor gereja bisa melakukan sesuatu bila saat melahirkan sudah tiba, sementara saya berjuang untuk konsentrasi dalam berkhotbah. Segera setelah berkhotbah, saya pulang dan ternyata isteri saya baik baik saja. Lega, setelah sebuah ketegangan yang menguras emosi. Belum tiba saat melahirkan.
Babak yang kedua terjadi Senin, 27 November, pukul 22.30. Karena merasa ada cairan yang keluar dari tubuhnya, istri mengajak saya bergegas ke rumah sakit. Ketika sampai di RKZ, suster memeriksa tetapi ternyata belum ada bukaan. Lega. Tapi tidak lama kemudian, dokter menelpon dan meminta dilakukan tes NST. Saya tidak tahu persis apa itu tes NST, tapi sepertinya untuk memeriksa gerakan dan detakan jantung janin. Pemeriksaan pertama tidak lancar, alat tidak berjalan meski sudah 45 menit. Terpaksa diulang kembali. Satu jam kemudian pemeriksaan selesai. Kejutan berikutnya : hasil pemeriksaan NSt menunjukkan ada kejanggalan. Ada pola detakan jantung bayi dalam kandungan yang tidak wajar. Malam itu isteri harus menginap di RS. Dokter mengingatkan seandainya gerakan bayi melemah apalagi berhenti, maka harus segera dilakukan tindakan medis. Malam itu, saya pulang ke rumah pk 01.00 dengan kegelisahan besar. Tidak bisa tidur nyenyak. Saya rasa begitu pula dengan isteri. Esok paginya, pemeriksaan NST diulang dan ternyata ... hasilnya baik. Siang itu dengan perasaan lega, kami pulang ke rumah. Belum tiba saat melahirkan.
Tanggal perkiraan melahirkan dari dokter adalah 29 November. Selasa, 28 November kembali periksa ke dokter, setelah membatalkan sebuah pelayanan khotbah dan tidak hadir dalam rapat MJ di gereja. Ternyata hasilnya baik, tapi saat melahirkan belum tiba. Dokter memberikan perkiraan bahwa tanggal 6 Desember kandungan memasuki minggu ke 41. Apabila belum melahirkan, maka akan dilakukan tindakan medis untuk mendorong terjadinya kelahiran. Dokter meminta kami kembali periksa senin 4 Desember. Dokter berpesan," Semoga belum melahirkan, sebelum saya kembali dari luar negeri." Dokter itu berencana untuk menemani isterinya melakukan check up kesehatan.
Babak ketiga ternyata segera dimulai. Senin, 4 Desember itu kami baru mengetahui bahwa dokter kami terpaksa berada di luar negeri sampai dengan tanggal 11 Desember. Kami terkejut dan bingung, karena perkiraan batas waktu melahirkan adalah 6 Desember. Nah, apa yang harus kami lakukan? Dalam kebingungan kami menghubungi dokter tersebut. Beliau menyarankan isteri melakukan pemeriksaan NST lagi. Apabila hasilnya baik, maka kami bisa kembali berkonsultasi dengan dokter tersebut sekembali dari Singapura. Apabila hasilnya kurang baik, maka ada dokter pengganti yang siap untuk menindaklanjuti hasil tersebut. Setelah konsultasi itu kami menyusun rencana dan berdoa. Kami putuskan selasa 5 Desember untuk melakukan pemeriksaan NST di RKZ.
Ternyata kejutan belum berakhir. Setelah kami memutuskan untuk melakukan pemeriksaan NST pada hari Selasa, 5 Desember. Beberapa jam kemudian, isteri merasakan kontraksi sudah berlangsung tiap 5 menit. Ditunggu selama 2 jam, dan kontraksi terus berlangsung setiap 5 menit. Terpaksa ke rumah sakit. Ternyata kontraksi menghilang, dan supaya tidak bolak-balik, kami minta langsung dilaksanakan NST. Hasilnya baik, tapi saat melahirkan belum tiba. Dokter meminta kami menemuinya Senin, 11 Desember bila belum terjadi kelahirkan. Huh ... Melelahkan dan menegangkan. Penantian ternyata belum berakhir. Jawaban yang sama harus diberikan kepada jemaat atau rekan yang bertanya," Sudah melahirkan?" Belum!
Bukan kebetulan kalau rentetan peristiwa ini terjadi sampai memasuki Adven, saat untuk menanti. Betapa mudah berkhotbah tentang penantian, tetapi betapa sulit mempraktikkannya. Dalam waktu-waktu penantian ini, di tengah kelelahan emosi dan fisik, tidak jarang kami mengeluh. Kami sudah lelah dalam penantian ini. Kami sudah berdoa, tetapi toh sepertinya doa-doa tidak menghasilkan jawaban yang sesuai dengan keinginan kami.
Tadi pagi, saya mendengar isteri brebicara dengan pembantu rumah tangga kami. Mbak Ira, begitu kami memanggilnya. Seorang wanita sederhana yang datang setiap pagi untuk bekerja di rumah kami. Saya tidak tahu dengan tepat apa yang dikatakan isteri saya kepadanya. Dugaan saya isteri curhat tentang betapa melelahkan penantian kami. Saya mendengar dengan jelas jawaban Mbak Ira. Pembantu kami itu berkata,"Sudah, diterima saja. Jangan mengeluh. Bersyukur." Waktu mendengar kalimat ini, saya yang sedang sibuk mengetik tiba-tiba merasa deg. Kalimat itu tepat menghujam ke dalam hati saya yang lelah, gelisah, dan kadangkala penuh dengan keluhan. Seperti sebuah khotbah, kalimat itu mengena tepat pada jantung pergumulan kami.
Malam ini, sepulang dari RKZ, isteri saya kembali mengulang perkataan Mbak Ira : "Sudah, diterima saja. Jangan mengeluh. Bersyukur." Rasanya kembali tergiang apa yang saya dengar tadi pagi. Seorang pembantu rumah tangga berkhotbah kepada seorang pendeta yang tengah gelisah dan kadangkala mengeluh. Walau mbak Ira bukan orang Kristen, tetapi pagi itu sepertinya kami mendengar suara Tuhan. Suara Tuhan untuk kami lewat khotbah seorang pembantu.
Penantian belum terakhir, tetapi terima kasih Tuhan untuk sapaan-Mu.
No comments:
Post a Comment