Monday, December 04, 2006

Nafsu Membutakan, Rasa Cukup Mencelikkan (Bil 11:4-23 & 31-35; Flp 4:12-13)*

 

Pernahkah Anda mendengar tentang legenda Midas? Legenda ini bertutur tentang Midas yang mendapatkan tawaran dari Bacchus, bahwa apa saja yang menjadi keinginan Midas akan menjadi kenyataan. Dengan bersukacita Midas menerima tawaran itu. Silau oleh keinginan untuk mendapatkan kekayaan sebesar dan secepat-cepatnya, Midas memilih untuk meminta agar apapun yang disentuh tangannya menjadi emas. Bacchus mengabulkan permintaan Midas ini, sambil menyesalkan pilihan yang diambil oleh Midas. Hati Midas bersorak ketika Bacchus mengabulkan permintaannya. Dengan segera Midas mengambil sepotong kayu, dan betul begitu disentuh oleh jari-jarinya, kayu itu berubah menjadi emas. Midas menjadi kaget sekaligus bersukacita luar biasa. Dengan segera ia menyentuh semua benda di selilingnya: batu, buah apel, ranting pohon, dan semuanya dalam sekejab mata menjadi emas. Midas begitu terkagum-kagum dengan kemampuan barunya itu dan segera ia membayangkan kekayaan yang akan datang begitu cepatnya di dalam kehidupannya.

 

Setelah menyentuh sebanyak-banyaknya barang yang kemudian langsung berubah menjadi emas, Midas segera pulang ke rumahnya untuk menikmati makannya. Ia memerintahkan pengawainya untuk membuat masakan yang paling enak dan lezat. Betapa terkejutnya Midas, ketika ia mengambil sepotong roti, tiba-tiba roti itu menjadi emas. Ketika tangannya menyentuh buah anggur di depannya, tiba-tiba anggur itu menjadi emas dan tentu saja tidak dapat dimakan. Semua makanan yang tersedia, yang disentuh oleh Midas, langsung berubah menjadi emas. Dalam keadaan lapar inilah, Midas menyesali pilihannya, dan meminta Bachhus memulihkan kembali keadaannya. Di akhir legenda ini, dikisahkan bahwa Midas akhirnya kembali kepada kondisi biasa, dan sentuhannya bukanlah sentuhan emas lagi. Midas menikmati kesederhanaan hidupnya kembali.

- - -

Kisah legenda Midas di atas, menurut pengamatan saya, adalah sebagian potret yang pas tentang manusia dan kemanusiaan. Manusia senantiasa berkeinginan untuk menjadi lebih kaya dan sejahtera. Kalau perlu dalam tempo secepat-cepatnya dan sesingkat-singkatnya. Lihat saja toko buku yang penuh dengan buku-buku bertema tips-tips untuk menjadi kaya dan sejahtera dalam waktu sesingkat-singkatnya. Investasi-investasi keuangan yang memberikan keuntungan yang tidak masuk akal pun laris diminati. Perjudian, mulai dari tingkat kampung dengan judi buntut sampai dengan judi dengan omset ratusan juta rupiah nampaknya sangat dinikmati. Mungkin semboyan orang pada masa kini adalah : "Lebih banyak lagi dan lebih cepat lagi". Manusia tidak lagi memandang berharga rasa puas apalagi mengucap syukur. Rasa puas dan ucapan syukur dipandang sebagai penghambat semangat untuk memperoleh lebih banyak. Lagi, lagi dan lagi.

 

Nafsu untuk mendapatkan lebih banyak lagi dengan lebih cepat lagi nampaknya adalah kecenderungan laten manusia. Dalam sejarah perjalanan bangsa Israel ke luar dari Mesir pun kita akan menemukan hal seperti ini berulang kali. Ambillah salah satu episode dalam perjalanan mereka, seperti tertulis dalam Bilangan, pasal ke-11. Pasal tersebut menceritakan tentang sebuah peristiwa dalam perjalanan bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Di dalam perjalanan tersebut, bangsa Israel mendapatkan naungan tiang awan dan tiang api pada siang dan malam hari. Lebih dari sekedar naungan, mereka mendapatkan makanan sehari-hari yang berupa manna. Kata manna secara harafiah mempunyai arti: apakah ini?. Pemakaian kata ini menunjukkan bahwa sesungguhnya jenis makanan yang diberikan Allah tersebut benar-benar baru dan belum mereka kenal sebelumnya. Benar-benar sebuah pemeliharaan yang luar biasa di tengah padang gurun yang gersang.

 

Di dalam rombongan bangsa Israel itu terdapat juga sekolompok orang-orang dari bangsa lain yang bergabung dan ikut berjalan bersama.  Dalam bahasa Ibrani, kelompok ini disebut 'asapsup.  Kata 'asapsup di bagian ini mengacu kepada sekelompok orang asing ini; tetapi entah mengapa para penerjemah LAI menerjemahkannya sebagai: "orang-orang bajingan". "Orang-orang bajingan" ini kemasukan nafsu rakus dan berhasil memprovokasi orang Israel untuk meminta Musa menyediakan daging bagi mereka. Begitu nafsu mempengaruhi diri mereka, maka manna yang dahulu dianggap sebagai berkat yang besar bagi kehidupan mereka, menjadi tidak berarti. Inilah salah satu karakteristik dari nafsu. Nafsu membutakan mata kita untuk memandang dan menilai berkat Tuhan sebagai berkat. Nafsu memperoleh lebih dan lebih lagi bisa menyebabkan seseorang meremehkan dan bahkan melecehkan berkat Tuhan yang ada selama ini.

 

Tidak ada yang lebih mengesalkan saya, selain mendengar seorang suami yang sedang serong dengan wanita lain, membeberkan kekurangan dan kelemahan istrinya. Ketika ditegur, bukannya malah menyesali kesalahannya, tetapi pria itu justru bercerita banyak dan bahkan cenderung menyalahkan isterinya. "Isteri saya kurang begini dan begitu," kata seorang pria. Pria ini telah terbutakan oleh nafsunya sendiri. Isteri yang dahulu diyakini sebagai berkat Tuhan, kini diremehkan dan bahkan dilecehkan karena nafsu untuk berhubungan dengan wanita lain. Demikian juga yang sering terjadi dengan berkat-berkat Tuhan yang lain: anak, rumah, dan pekerjaan. Begitu nafsu untuk memperoleh lebih dan lebih lagi menguasai, maka orang biasanya mencaci dan melecehkan berkat Tuhan yang selama ini mereka telah hidup di dalamnya. 

 

Nafsu ternyata bukan hanya membutakan mata kita untuk melihat dan menghargai berkat Tuhan yang telah kita terima. Nafsu juga membutakan mata kita untuk melihat seberapa besar kebutuhan kita yang sebenarnya. Lihatlah orang-orang Israel dalam Bilangan pasal yang ke-11 tadi. Begitu Tuhan memberikan burung-burung puyuh dan terbang rendah di tengah-tengah mereka, maka sepanjang siang hari, malam dan pagi hari esoknya, mereka tanpa mengenal lelah menangkapi burung-burung itu. Bilangan 11:32 menegaskan bahwa setiap orang mengumpulkan setidak-tidaknya 10 homer. Tidak terlalu sulit untuk mengetahui berapa kira-kira 10 homer tersebut. Kamus kecil di belakang Alkitab kita menjelaskan bahwa 1 homer kira-kira setara dengan 360 liter. Dengan demikian berarti 10 homer sama dengan 3600 liter. Bayangkan saja 3600 liter! Ini jumlah minimum, yang lebih banyak tentu ada! Nyaris setara dengan sebuah mobil tangki minyak yang kecil, yang biasanya memuat 5000 liter. Silakan hitung sendiri, berapa ribu ekor burung puyuh-yang setiap ekornya kira-kira sebesar kepalan tangan orang dewasa-diperlukan untuk memenuhi sebuah mobil tangki minyak kecil. Untuk apa jumlah sebanyak itu? Apakah mereka sanggup untuk memakannya dan bahkan menjaganya untuk tetap hidup sepanjang perjalanan? Tentu tidak!

 

Nafsu memang membutakan mata kita untuk melihat seberapa besar kebutuhan kita sebenarnya. Nafsu mengarahkan kita untuk tidak pernah bisa merasa cukup. Nafsu untuk kekayaan, telah membutakan orang untuk melihat seberapa besar yang sebenarnya dibutuhkan untuk hidup. Nafsu untuk hubungan seksual secara tidak sehat, telah mendorong orang untuk terus menerus berganti-ganti pasangan. Nafsu untuk kedudukan, telah membuat orang tidak akan pernah bisa menghargai apa yang diterimanya saat ini. Nafsu memang membutakan!

 

Nafsu juga nampaknya telah membutakan manusia untuk belajar dari sejarah hidupnya sendiri.  Bilangan pasal 11 diawali dengan kisah orang-orang Israel yang bersungut-sungut tentang nasib mereka.  Sungut-sungut ini telah membuat Tuhan murka, dan sebagai akibatnya menyalalah api TUHAN di tengah-tengah mereka.  Tuhan sudah memberikan peringatan kepada mereka bahwa rasa tidak puas yang lahir dari hati yang dibutakan oleh nafsu, akan menghantar mereka pada murka Allah.  Tetapi, nampaknya orang yang telah terbutakan oleh nafsu memang tidak bisa mengingat apapun juga.  Orang-orang Israel kembali bersungut-sungut dan meminta daging.  Ketika nafsu membutakan,  sejarah hidup menjadi terlupakan dan terabaikan.  Peringatan Tuhan di masa lalu menjadi tidak lagi relevan.  Nafsu memang membutakan, dan akan terus membutakan mereka yang dikuasainya.

---

 

Nah, kita tentu bisa membayangkan bagaimana perasaan Tuhan menghadapi orang-orang yang telah dibutakan oleh nafsu.  Apakah IA tidak berhak untuk murka ketika berkat-berkat-Nya dilecehkan oleh manusia? Apakah IA tidak berhak untuk murka ketika manusia tidak lagi bisa mensyukuri berkat-berkat pemberian tangan-Nya?  Tidak mengherankan apabila kisah ini berakhir dengan tragis.  Ketika daging itu ada di dalam mulut orang-orang yang rakus itu, Tuhan menghajar mereka dengan tulah yang menyebabkan kematian.  Kehancuran diri  adalah ujung jalan bagi mereka yang telah terbutakan oleh nafsu.

- - -

 

Nafsu memang membutakan, tetapi rasa cukup itu mencelikkan. Paulus, seorang hamba Allah pernah menuliskan, "Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan …. Segala perkara dapat kutanggung dalam Ia yang memberi kekuatan kepadaku (Fil 4:12-13). Paulus tidak menuliskan bagian tersebut dalam kondisi yang menyenangkan. Ia menuliskan bagian tersebut ketika ia berada di dalam sebuah ruang yang sempit dan pengap, ketika Ia berada di penjara. Di dalam penjara itulah, ia menuliskan rahasia kekuatannya di dalam menanggung segala sesuatu. Ia menulis, "I have learned to be content whatever circumstances" (Fil 4:11; NIV). Kata autarkes (content; merasa cukup) dalam bahasa Yunani digunakan untuk menunjuk pada situasi di mana seseorang bebas dari pengaruh-pengaruh di luar dirinya. Dengan kata lain, bukan berarti pengaruh-pengaruh di luar tersebut menjadi berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali, tetapi hal-hal tersebut dapat disikapi dengan bijaksana. Bukankah nafsu yang ada di dalam diri manusia akan semakin membesar apabila ditambahi dengan situasi lingkungan yang mendukung? Sama seperti bara api yang terkena kipas, makin lama makin membesar, demikian pula apabila nafsu di tengah hembusan situasi-situasi yang mendukung. Kunci untuk meredam nafsu dan hembusan situasi yang mendukung adalah rasa cukup (contentment). Jeremy Taylor dalam Holy Living pernah menulis, "No chance is evil to him that is content."

 

Bahkan, lebih dari sekedar menghindarkan kita dari kejahatan, rasa cukup sebenarnya mencelikkan mata. Rasa cukup mencelikkan mata untuk melihat dan memandang berkat-berkat Tuhan yang senantiasa menyertai kehidupan kita. Saya tidak pernah melupakan undangan seorang ibu untuk santap siang dalam rangka ucapan syukur, pasca kerusuhan Mei 1998. Ibu dan seluruh anggotanya menyambut gembira kedatangan kami. Anda keliru kalau berpikir bahwa ibu tersebut mengadakan ucapan syukur karena rumah dan usahanya terbebas dari malapetaka itu. Rumah dan usahanya ludes ditelan api, demikian juga dengan mobil-mobilnya. Keluarga ibu itu terpaksa pindah di sebuah rumah yang jauh lebih kecil dan terpencil dibandingkan dengan tempat tinggal sebelumnya. Di rumah kecil itulah, dengan uang yang tersisa, keluarga ini membuka satu warung kecil. Di tengah santap siang itu, ibu itu berkata, "Sesungguhnya Tuhan itu baik pada keluarga kami." "Meski kami kehilangan rumah dan usaha kami, kami tidak kehilangan relasi yang akrab dan hangat di antara seluruh anggota keluarga." "Keakraban dan kasih di antara kami justru bertambah lebih dekat dan akrab setelah segala harta benda kami musnah," lanjut ibu itu. "Itu adalah berkat yang paling berharga diberikan Tuhan kepada keluarga kami, yang selama ini tidak kami sadari" tandas ibu itu. Saya terdiam dengan hati yang tergetar. Sungguh, rasa cukup itu mencelikkan!  

 

 

*) Dimuat dalam Jurnal Teologi dan Pelayanan Veritas Vo. 7 No. 2 (Oktober 2006)

No comments: