Friday, December 15, 2006

Khotbah Natal : TUHAN adalah Raja (Maz 97:1-12)

Bukanlah kebetulan bila Natal dirayakan pada tanggal 25 Desember, hanya beberapa hari menjelang tahun ini berakhir. Sebagai umat Tuhan kita harus memahami bahwa Natal yang kita rayakan pada tanggal 25 Desember ini sesungguhnya memberi kesempatan kepada kita untuk merenungkan perjalanan hidup kita yang sudah berlangsung selama ini. Jadi, bukan sekadar untuk merasakan kasih Tuhan di dalam hidup kita, tetapi juga untuk menengok ke belakang, mencermati apakah kehidupan kita selama satu tahun ini adalah kehidupan yang memuaskan hati. Kalau kita ditanya, "Puaskah Anda dengan apa yang terjadi di seluruh dunia ini atau secara lebih spesifik di Indonesia?", apa jawaban Anda? Simpan jawaban itu setelah pertanyaan kedua. Sekarang kalau ditanya, "Puaskah Anda dengan apa yang terjadi sepanjang tahun ini di dalam diri Anda, keluarga Anda, pekerjaan Anda, hidup Anda sehari-hari? Apakah yang terjadi selama satu tahun ini membuat Anda sanggup berkata, "Ya, saya puas."? Puas atau tidak? Orang Timur seperti kita kerap menjawab dengan jawaban yang mengambang, "Yah lumayanlah, Pak." Kata "lumayan" itu tidak jelas artinya. Karena kecelakaan, seorang teman mengalami patah kaki. Ia malu sewaktu ditanya, "Kenapa kamu patah kaki? Ditabrak apa?" Akhirnya ia mengaku, "Kaki saya patah karena ditabrak becak." Kita lebih bangga kalau patah kaki karena ditabrak mobil.

            Melihat kondisinya, kami bertanya, "Bagaimana?"

Sang teman yang ditabrak tadi berkata, "Masih lumayanlah bukan leher yang patah."

Demikian pula situasinya ketika seorang suami meninggal dunia karena kecelakaan. Banyak orang datang dan menghibur sang istri dengan berkata, "Bagaimana suamimu?"

"Sudah mati."

Kemudian sang pria ini berkata, "Tetapi saya rasa kondisimu lebih lumayan. Coba bayangkan seandainya ia cacat seumur hidup. Masih lumayan ia langsung mati." Kata "lumayan" itu kadang kala menjadi tidak jelas artinya.

Mari kita pertajam pertanyaannya, "Berapa banyak hal yang Anda harapkan terjadi di tahun ini—keberhasilan dan kesuksesan—tetapi ternyata malah tidak terjadi? Sebaliknya, berapa banyak hal yang tidak Anda harapkan kehadirannya—penyakit, masalah, pergumulan—ternyata malah terjadi? Banyak atau sedikitkah? Biasanya akan muncul jawaban, "Lumayan, Pak."

Kalau jawaban kita, "Banyak," berarti dengan jujur kita harus mengakui bahwa apa yang terjadi sepanjang tahun ini ternyata tidak memuaskan hati kita, tidak menggembirakan hidup kita, tidak bisa membuat ktia tersenyum lebar, melainkan hanya bisa membuat kita tersenyum kecut dan tegang.

Sebenarnya rasa tidak puas itu alamiah dan manusiawi. Namun rasa tidak puas itu juga seperti pisau dengan dua sisi yang sama tajamnya. Di satu sisi, karena tidak puas, orang akan berusaha lebih baik, menciptakan teknologi yang lebih baik, bekerja dan berusaha lebih keras. Di sisi yang lain, rasa tidak puas itu sering menjadi alasan orang untuk bertindak semaunya sendiri. Suami yang berkata "tidak puas" kepada istrinya akan seperti layang-layang yang terbang dan beredar ke mana saja. Istri yang berkata "tidak puas" kepada suaminya juga akan seperti layang-layang yang terbang ke mana saja. Anak-anak yang tidak puas dengan keadaan orangtuanya akhirnya melarikan diri ke dalam kehidupan seks bebas, minum minuman keras, dan obat-obatan terlarang. Ketika ditanya kita akan berkata, "Saya tidak puas, Pak. Saya butuh tempat pelarian. Seandainya keluarga saya memuaskan saya, seandainya istri saya memuaskan saya, saya tidak akan berselingkuh." "Seandainya suami saya memuaskan saya, baik dalam kebutuhan jasmani maupun rohani, saya tidak mungkin jatuh ke pelukan orang lain." Anak-anak pun berkata, "Seandainya papa dan mama saya memenuhi kebutuhan kasih di dalam hidup saya, hidup saya tidak mungkin hancur berantakan seperti ini."

Kalau kita berkata, "Saya tidak puas dengan apa yang terjadi pada tahun ini. Banyak hal yang saya harapkan justru tidak menjadi kenyataan. Banyak hal yang buruk terjadi dalam hidup saya." Biasanya kalau manusia tidak puas, pertama-tama ia akan menyalahkan orang lain, "Itu lho, Pak, suami saya itu." "Itu lho, Pak, istri saya itu." Setelah menyalahkan orang lain, yang kedua ia akan menyalahkan situasi, "Ya habis bagaimana Pak, saya kekurangan. Kebetulan ada barang baik ya saya ambil." Dan yang ketiga, orang yang tidak puas akan menyalahkan Tuhan. Ia akan menunjuk Tuhan dan berkata, "Tuhan, mengapa semua ini terjadi pada hidupku? Apa yang Engkau lakukan?" Karena tidak puas kepada Tuhan, maka kita berusaha untuk menghukum Tuhan, "Kalau sampai tahun depan usaha saya tidak bertambah lancar, Tuhan, saya tidak mau lagi datang ke gereja." "Kalau sampai tahun depan keluarga saya tidak berubah, Tuhan, terpaksa persembahan untuk-Mu saya beri diskon 50%, 60%, 70%." "Kalau sampai tahun depan tidak terjadi apa-apa, jangan berharap saya mau melayani, apalagi menjadi majelis."

Berbicara tentang rasa puas dan tidak puas dalam hidup manusia, sesungguhnya ada Pribadi yang paling berhak untuk merasa tidak puas dengan apa yang terjadi pada hidup Anda dan dunia ini. Pribadi itu adalah Tuhan yang menciptakan manusia. Kalau Dia melihat dunia ini, Dia boleh berkata dalam hati-Nya, "Tidak puas!" Karena firman Tuhan berkata, "Dia menciptakan segala sesuatunya begitu baik." Namun, ketika Tuhan mempercayakan pengelolaan dunia ini kepada manusia, ketika kebebasan mengatur dunia ini dianugerahkan kepada manusia, pada saat itulah manusia memberontak melawan Tuhan, melawan kehendak Tuhan Sang Raja itu, dengan hidup menuruti hawa nafsu dan keinginannya. Ketika Tuhan, Sang Raja itu, berfirman kepada Adam dan Hawa untuk mengelola dunia ini, Adam dan Hawa ingin seperti Tuhan. Mereka memberontak dan melawan Tuhan Akibatnya, keturunan mereka, Kain, membunuh Habel. Ketika Tuhan menyerahkan dunia ini untuk dikelola oleh manusia, ternyata manusia malah tidak tahu berterima kasih. Ternyata manusia penuh dengan kemarahan dan memberontak melawan Tuhan, Sang Raja itu.

Suatu kali seorang anggota jemaat memperlihatkan kepada saya sebuah foto yang sangat unik. Tahukah Anda bahwa di dunia ini ada orang yang begitu sayang kepada anjing peliharaannya. Anjing itu diberi pakaian. Tidur bersama dengannya di ruang ber-AC. Jika sakit, anjing itu akan dibawa ke dokter. Yang lebih hebat lagi, ketika ulang tahun ia diberi kue ulang tahun. Suatu kali seorang anggota jemaat memperlihat foto kepada saya, "Pak, lihat potret anak saya." Ketika saya melihat potret itu, itu adalah foto ulang tahun yang ke-3. Tampak seekor anjing nyengir di sebelah kue ulang tahun. Manusia dan binatang peliharaannya ternyata bisa begitu mengasihi. Namun, mari kita bayangkan seandainya orang itu adalah Anda. Binatang itu Anda pelihara dengan baik, cintai dengan baik, tetapi suatu kali binatang itu tiba-tiba menggigit kaki Anda. Mungkin reaksi spontan Anda adalah menginjak. Jika Anda termasuk penggemar RW [masakan daging anjing], Anda akan memandangnya dan berkata, "Hidupmu tidak akan lama lagi. Kamu menggigit aku, sekarang aku yang akan menggigit kamu. Nasibmu sudah di ujung tanduk."

Manusia memberontak melawan Tuhan yang memberikan hidup kepadanya. Manusia menolak pemerintahan Tuhan, firman Tuhan, dan kehendak-Nya di dalam hidupnya. Dengan sengaja manusia berkata, "Saya tidak mau itu. Saya mau mengikuti diriku dan keinginanku dan hawa nafsuku." Tuhan yang bertakhta di surga, yang memberikan kepada manusia kebebasan dan kewenangan untuk mengatur dunia ini, bisa menjadi sangat kecewa dan terluka tatkala melihat manusia saling melukai dan menghancurkan, tatkala melihat keluarga yang dipercayakan-Nya kepada kita menjadi berantakan dan dipenuhi kepahitan karena orang-orang di dalamnya sudah menolak pemerintahan Tuhan. Bagian Alkitab yang kita baca di atas menggambarkan betapa Tuhan memerintah dunia dengan kuasa-Nya. Hanya kepada manusia, Dia menciptakan yang terbaik. Dia memberikan kehendak bebas supaya manusia bisa memilih untuk berlutut dan menyembah Tuhan atau lari dan memberontak melawan Tuhan.

Suatu ketika ketika masih di Semarang saya diajak seorang teman untuk mengunjungi peternakan babi. Ia mempunyai ratusan babi. Babi-babi itu ditimbang. Setelah beratnya cukup, tidak kurang dan tidak kelebihan, maka babi itu akan dibawa ke tempat penjagalan di tempat lain. Di situ sudah ada truk besar yang menanti. Sebuah papan diletakkan miring dari atas truk menuju tanah. Babi-babi ini akan dinaikkan ke truk itu. Tahukah Anda cara menaikkan babi itu ke atas truk? Kalau 5 kilogram bisa dilempar saja. Masalahnya, bobot babi itu 50-60 kilogram. Ada seratusan babi di sana. Babi itu dihadapkan pada jalan naik ke atas truk. Kemudian, lehernya dijerat dengan tali. Dan orang yang berdiri di depannya menariknya. Apa yang terjadi? Apakah ketika ditarik dan diperintahkan untuk naik, babi itu mau naik? Kaki babi itu mengerem di tempat. Semakin ditarik, semakin ia berusaha mengerem diri dan mundur. Teman saya berkata bahwa kalau berurusan dengan babi janganlah seperti begitu. Hadapkan babi ke truk, pasang jerat lagi, sekarang berdirilah di belakangnya, lalu tarik! Apa yang terjadi? Babi itu maju. Ditarik semakin kencang, ia berlari naik sendiri ke truk.

Kadang kala manusia tak ubahnya seperti babi itu. Sudah ada firman Tuhan, ada kehendak Tuhan yang baik bagi seorang suami atau istri untuk menjaga kekudusan pernikahan yang sudah diperintahkan, diminta, dititahkan, namun ternyata kita malah mundur dan selingkuh dengan orang lain. Ada orang yang diperintahkan oleh Tuhan untuk hidup jujur, menjaga integritas hidup, bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh, tetapi ia malah memasang rem dan mundur, lalu hidup dalam kebohongan dan dusta. Tidak berbeda dengan babi tadi. Justru apa yang dilarang oleh Tuhan, itu menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan.

Apa yang diminta Tuhan menjadi sesuatu yang kita tolak. Percayalah, manusia tidak lebih baik dari babi tadi. Tatkala manusia menolak ajakan Tuhan dan titah Tuhan untuk hidup di dalam firman-Nya, menolak pemerintahan Tuhan yang menguasai hatinya, sesungguhnya pada saat itu ia ingin menuruti keinginan dan hawa nafsunya sendiri. Betapa kita yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah ternyata sama seperti binatang yang sering kita pandang sebelah mata itu.

Ketika manusia memberontak melawan Tuhan dan kehendak-Nya, maka manusia harus siap menerima konsekuensi-Nya di dalam hidupnya. Ia harus siap menerima konsekuensi dari keinginannya menuruti hawa nafsu, dari segala keinginannya untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak-Nya. Manusia harus menerima tanggung jawab itu.

Manakala kita menolak firman Tuhan, Sang Raja itu, dan memilih untuk menuruti hawa nafsu kita sendiri, maka pada saat itulah kita harus bertanggung jawab untuk segala masalah atau pergumulan yang terjadi dalam hidup kita.

Sebuah keluarga terdiri dari seorang suami, istri, dan dua orang anaknya yang masih kecil, 6 dan 8 tahun. Sang ibu terlihat begitu lembut. Sang bapak tampak begitu kekar. Kumis lebat. Seram. Mereka duduk bersama di meja makan. Sambil memelintir kumisnya, sang bapak berkata kepada anak-anaknya, "Anak-anak, dengarkan! Papa tidak mau ada yang makan lalu membuat tempat ini menjadi kotor. Kalau ada gelas jatuh dan membasahi lantai, siapa pun yang melakukan itu akan Papa pukul." Semuanya mendengarkan dengan baik. Anaknya yang berusia 6 dan 8 tahun berhati-hati sekali. Namun, anak-anak tetaplah anak-anak. Tanpa sengaja si sulung menyenggol segelas susu. Gelas itu jatuh dan pecah. Ia sudah sangat ketakutan. Tanpa banyak bicara si bapak memegang anaknya dan memukulnya. "Kamu sudah tahu apa yang Ayah katakan!" Si anak menangis, ibunya menghiburnya.

Minggu depannya mereka makan bersama lagi. Si anak sangat berhati-hati. Kali itu ketika sang bapak hendak mengambil selai, tangannya menyikut segelas susu. Gelas itu jatuh dan pecah. Si anak berteriak kecil, "Hore! Kita akan melihat Papa memukuli dirinya sendiri." Semuanya terdiam. Si bapak berdiri, kemudian berkata, "Mama, lain kali jangan sembarangan menaruh gelas susu saya!" Istrinya ketakutan. Itulah gambaran tentang kita. Kita tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan kita. Kita tidak mau bertanggung jawab akibat pemberontakan kita melawan Tuhan dan kehendak-Nya. Kita selalu mencari orang lain untuk disalahkan. Kita selalu menuding Tuhan untuk disalahkan bahwa karena "Engkaulah, hidupku menjadi seperti ini".

Mulai sekarang, berhentilah menyalahkan orang lain dan lingkungan sekitar kita. Terimalah tanggung jawab sebagai pria, sebagai wanita, dan sebagai anak Tuhan. "Permasalahan dalam hidup saya adalah akibat kesalahan saya dan pemberontakan saya melawan Tuhan dan kehendak-Nya."

Di malam Natal 2.000 tahun yang lalu, Tuhan Sang Raja dunia itu memutuskan untuk meninggalkan takhtanya. Dia memutuskan untuk meninggalkan segala kemuliaan-Nya di surga dan takhta-Nya yang luar biasa itu, lalu datang sebagai manusia ke dunia ini hanya dengan satu tujuan, yakni Dia ingin menduduki takhta di dalam hati kita. Dia ingin menjadi raja yang menguasai hidup kita sepenuhnya. Dia ingin memulihkan hidup kita. Dia ingin mengembalikan kita pada kondisi ketika Dia menciptakan kita dalam keadaan sangat baik. Natal adalah saat ketika Tuhan tidak puas dan merasa prihatin melihat hidup manusia, saat ketika Dia turun ke dalam dunia ini bukan untuk menghukum, tetapi  untuk menduduki takhta-Nya di hati kita.

Firman Tuhan berkata, "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya." Bagaimana manusia bisa berkenan di hadapan Tuhan? Manusia bisa berkenan ketika ia membiarkan Tuhan, Sang Raja, Yesus Kristus itu untuk menguasai hatinya.

Kitab Wahyu menggambarkan Tuhan berdiri di muka pintu dan mengetuk. Dia ingin mendapatkan tempat di dalam hidup kita. Dia ingin mendapatkan tempat yang utama. Dia sudah merasakan menjadi raja semesta alam, kini Dia ingin merasakan menjadi raja atas hidup Anda.

.

 

No comments: