Friday, October 27, 2006

Di Tangan Sang Penjunan (Yeremia 18:1-6)

Saya sering mengantar istri saya berbelanja kebutuhan sehari-hari, dan sering kali pula saya memerhatikan begitu banyak barang yang dijual dengan harga yang sangat murah di berbagai toko tertentu. Seperti di toko yang menjual semua barang dagangannya dengan satu harga. Kita bisa mendapatkan arloji, vas bunga, bahkan jam dinding seharga sepuluh ribu rupiah. Tentu saja kita tahu bahwa barang-barang itu tidak akan bertahan lama karena kualitas yang tidak baik, dan kita pun tidak akan berpikir panjang untuk membuangnya dan menggantinya dengan yang baru. Tetapi apabila kita memiliki sebuah jam dinding antik warisan turun-temurun yang mungkin usianya beberapa kali lipat usia kita, maka kita akan berusaha menjaga kondisi jam dinding itu. Kita akan memerbaikinya manakala ada kerusakan yang membuatnya tidak dapat berfungsi dengan baik. Kita menyayangi benda itu karena kita menghargai sejarah hadirnya benda itu di dalam hidup kita, serta mengasihi orang yang memberikannya kepada kita.


Ada dua hal yang membuat manusia begitu menghargai benda yang dimilikinya. Pertama karena kita membelinya dengan harga yang cukup atau bahkan sangat mahal sehingga kita merasa sayang untuk membiarkannya tidak terawat. Tetapi bisa jadi, dari segi non-materi, kita dapat menghargai sesuatu karena makna yang terkandung di dalamnya, oleh sebab itu kita merawat serta menjagainya agar tidak rusak. Demikian pula yang terjadi dengan bangsa Israel di mata Allah. Secara obyektif mungkin mereka adalah bangsa yang tidak berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya, bahkan mereka memiliki berbagai kelemahan yang banyak dikisahkan di dalam Perjanjian Lama. Walaupun demikian, Allah telah memilih untuk mengasihi bangsa Israel, oleh sebab itu apa pun juga yang terjadi di dalam bangsa itu, Allah tetap mengasihi dan menghargai mereka. Mereka berharga di mata-Nya tanpa pengecualian, bahkan manakala mereka memberontak terhadap Allah, dengan kesadaran penuh membelakangi serta memermalukan diri-Nya, Dia pun tetap menganggap mereka berharga di mata-Nya.


Sejak Allah memanggil bangsa Israel, sejarah bangsa ini dipenuhi oleh berbagai pertanyaan dan pergumulan yang mendalam. Manakala mereka baru saja lepas dari cengkeraman bangsa Mesir, mereka sudah mulai memertanyakan kehadiran Allah di dalam hidup mereka. Tidak cukup itu saja, mereka sering melakukan perselingkuhan rohani. Mereka membuat berhala dan menyembahnya. Kondisi ini tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada zaman nabi Yeremia. 17 pasal awal dari Kitab yang ditulisnya berisi tentang teguran keras Allah atas pemberontakan bangsa Israel, dosa-dosa mereka, ketidakadilan yang mereka lakukan terhadap orang lain, ketidakpedulian mereka terhadap yang lemah, ibadah mereka yang kosong karena tidak dilakukan dengan segenap hati. Yeremia yang dipakai Allah untuk menyampaikan perkataan-Nya kepada bangsa Israel merasa bahwa teguran Allah yang disampaikannya bagaikan uap yang naik dan lenyap begitu saja. Begitu kerasnya hati bangsa Israel pada waktu itu sehingga Yeremia –di dalam 17 pasal pertama yang ditulisnya— menyatakan ratapan, kemarahan, kekesalan, dan keputusasaannya memberitakan firman Allah sebanyak lebih dari tiga kali. Itulah sebabnya di dalam keputusasaan itu ia berkata, "Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku," (Yeremia 15:10). Apabila seorang hamba Tuhan dapat menjadi demikian frustasi, lelah dengan kekerasan hati bangsa Israel, maka kita dapat membayangkan seberapa parahnya mereka memerlakukan Allah. Yeremia telah berbicara begitu keras tetapi semua perkataannya bagaikan angin lalu.


Di dalam kondisi yang ada pada saat itu, Allah memerintahkan Yeremia untuk memerhatikan pekerjaan seorang tukang periuk. Ia melihat manakala seorang tukang periuk sedang membuat sebuah bejana yang ternyata tidak sesuai dengan bentuk yang diingininya, maka ia akan kembali mengulangi proses pembuatannya dari awal. Apabila masih saja tidak sesuai dengan keinginannya, ia akan terus merombaknya dari awal sampai ia mendapatkan bentuk yang sempurna. Tatkala Yeremia melihat pengulangan proses pembuatan sampai bentuk terakhir itu, firman Allah datang kepadanya, "Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel!" (Yeremia 18:6). Sebenarnya gambaran apakah yang hendak diberikan Allah kepada Yeremia untuk menghibur hatinya sekaligus menegur umat-Nya yang keras kepala itu? Sesungguhnya, itulah gambaran hubungan Allah dengan umat Israel. Pada saat Yeremia melihat si tukang periuk yang terus-menerus mengulangi proses pembuatan bejana itu, sesungguhnya seperti itulah cara Allah memerlakukan mereka. Bukankah ada gambaran ketelatenan seorang tukang periuk di dalam pekerjaannya? "Telaten" adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Jawa yang sebenarnya sulit untuk dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. "Telaten" dapat berarti sabar, sekaligus cermat dan pantang menyerah. Ketelatenan dapat dilihat dari seseorang yang mau terus mengerjakan sesuatu yang rumit yang tidak ingin dikerjakan oleh orang lain. Kita juga dapat menyebut seseorang telaten apabila ia dengan sabar dan cermat, mampu menghadapi seseorang yang sangat menyebalkan dan dijauhi orang lain.


Di dalam tulisan nabi Yeremia, Allah digambarkan sebagai tukang periuk yang membentuk bangsa Israel dengan ketelatenan yang telah saya jabarkan sebelumnya. Allah telaten mengerjakan perbuatan tangan-Nya atas bangsa Israel karena Dia sangat mengasihi mereka. Biasanya jika kita ingin mendapatkan sesuatu yang mudah dan murah, kita tidak akan memerlukan ketelatenan. Walaupun demikian, ketelatenan Tuhan yang membentuk bangsa Israel berulang kali merupakan gambaran nyata yang dilihat oleh nabi Yeremia. Tetapi kita tidak boleh berpikir bahwa ketelatenan Allah senantiasa diwujudkan dalam bentuk kesabaran dan kelembutan semata, tetapi sekaligus dapat berbentuk disiplin. Hal itu dapat dilihat dalam Yeremia 18:7 dan seterusnya, manakala ketelatenan Tuhan digambarkan dengan tindakan yang siap untuk mendisiplin bangsa ini apabila mereka tidak bertobat. Ketelatenan bukan hanya sekadar keluwesan dan kelembutan, tetapi di dalamnya terkandung juga ketegasan dan disiplin. Ketelatenan selalu melibatkan proses, dan apabila kita berbicara mengenai proses, maka diperlukan waktu yang tidak sebentar. Ketelatenan selalu membawa kita pada proses yang panjang dan tidak mudah. Tetapi itulah yang dilakukan oleh Tuhan yang kita yakini dan percayai, Tuhan orang Israel yang senantiasa membentuk umat-Nya berulang kali.


Dari manakah muncul ketelatenan? Sikap itu hanya akan lahir dari sosok ibu yang bernama cinta atau kasih. Kasih Allah terhadap orang Israel melahirkan ketelatenan-Nya atas mereka. Ketika saya akan menikah dengan istri saya, terdapat proses yang panjang di dalamnya. Kami melalui proses berpacaran selama tujuh tahun, dan selama itu –seingat saya— kami nyaris memutuskan hubungan lebih dari tujuh kali. Itulah sebabnya teman-teman saya terkejut tatkala saya mengumumkan kepada mereka bahwa kami akan menikah. Bagaimana mungkin saya dapat menikah dengan seseorang yang sering berbeda pendapat dengan saya? Alasannya klise saja: karena kami saling mengasihi. Saya dapat melihat cinta istri saya dari ketelatenan dia dalam menghadapi dan memerlakukan saya. Dengan perbedaan karakter yang kami miliki, kami dapat melihat bahwa kami saling mengasihi dari ketelatenan yang kami miliki terhadap masing-masing.


Sama seperti ketelatenan Allah terhadap bangsa Israel, Dia pun bersikap telaten terhadap kita. Acap kali kita menganggap bahwa semua "kesialan", ketidakberhasilan, dan kegagalan di dalam hidup kita disebabkan oleh Allah. Pada saat kita menganggap Dia sebagai biang kerok dari semua kegagalan kita, sebenarnya pada saat itu pulalah Allah sangat terluka. Pun ketika kita secara tidak langsung menuduh-Nya tidak becus dalam mengatur dunia ini, kita merasa seolah-olah kita dapat menggantikan Dia melakukannya. Tetapi apabila kita merenungkan kembali apa yang telah menjadi respons Allah atas kemarahan dan keegoisan kita selama ini, terhadap pemberontakan kita; pernahkah Allah meladeni kemarahan kita dengan emosional sehingga Dia menghancurkan kita saat itu juga? Jika memang itu yang terjadi setiap kali Allah merespons dengan amarah-Nya, maka saya yakin bahwa pasti tidak ada orang yang bertahan hidup sampai saat ini. Tetapi seperti yang kita harus akui, Tuhan bersikap telaten. Dia sabar, tekun, dan cermat. Dia sabar manakala kita menghujat dan melupakan Dia, mengabaikan Dia dan membuat-Nya cemburu karena kita menyembah "Allah" yang lain. Pun Allah cermat dalam melihat semua peluang di dalam hidup kita untuk dapat membentuk kita. Kesabaran dan kecermatan itulah yang membuat Dia seolah-olah lambat dalam bertindak. Dia selalu bertindak di saat yang tepat. Kecermatan-Nya membuat Allah tahu apa yang harus dilakukan terhadap masing-masing pribadi manusia. Ketelatenan Allah juga dapat digambarkan seperti ketelatenan seorang pemburu yang dengan sabar mengawasi buruannya, sehingga ketika buruannya itu berada tepat di sasaran bidiknya, dengan hanya satu tarikan pelatuk, hewan itu mati di tangannya. Ketelatenan Tuhan atas hidup kita membuat-Nya senantiasa bersabar atas proses yang harus kita lalui. Sedangkan kecermatan Tuhan membuat Dia mengetahui titik-titik celah yang dapat dipakai-Nya untuk memroses ulang hidup kita.


Sesungguhnya sikap telaten Allah menimbulkan dampak ganda bagi kita. Yang pertama adalah perasaan "aman" dan "nyaman" karena kita dengan yakin merasa bahwa toh Tuhan tidak membuang kita manakala kita melakukan dosa, karena selalu ada pengampunan bagi kita. Tetapi ketelatenan itu dapat juga menggelisahkan hati kita. Apabila Allah demikian bersabar dan telaten terhadap kita, bukankah itu berarti bahwa kita senantiasa berada di dalam tangan-Nya untuk senantiasa pula dibentuk berulang kali oleh-Nya? Ini berarti bahwa pada saat itu di dalam hidup kita terjadi berbagai pergumulan untuk melepaskan hal-hal yang "tidak indah" demi menjadi bejana yang indah di hadapan Allah. Hal ini menggelisahkan kita karena Allah tidak pernah selesai berurusan dengan kita, sehingga kita tidak pernah dapat berkata, "saya telah selesai menjalani proses pembentukan oleh Allah." Oleh karena itu kita pun tidak pernah dapat berkata bahwa kita telah menjadi bentukan terbaik Tuhan sehingga kita tidak perlu lagi berurusan dengan-Nya. Hal itu tidak akan pernah terjadi, karena seumur hidup kita adalah masa yang senantiasa menjadi proses pembentukan sang Penjunan terhadap kita, bejana-Nya. Bukankah kesediaan kita untuk dibentuk oleh Tuhan serta untuk menjalani proses itu bersama dengan-Nya merupakan tanda utama yang menunjukkan bahwa kita hidup di dalam persekutuan yang erat bersama dengan Dia?


Mereka yang mengaku mencintai Tuhan saat ini berada dalam perjalanan bersama dengan-Nya untuk senantiasa dibentuk oleh-Nya. Bacaan kita mengingatkan kita bahwa Tuhan ingin membentuk kita dengan ketelatenan-Nya, karena Dia ingin membentuk kita menjadi seperti yang dikehendaki-Nya, bukan seperti yang kita harapkan atau cita-citakan. Oleh sebab itu apabila kita menyadari bahwa kita senantiasa berada dalam proses pembentukan yang tak berkesudahan, maka kita pun dapat memahami bahwa orang lain pun merupakan bejana-bejana yang juga sedang dibentuk oleh Tuhan. Dunia ini mengalami banyak masalah hanya karena satu orang merasa dirinya lebih baik daripada orang lain, merasa lebih matang dan benar sedangkan orang lain selalu salah. Kesadaran bahwa Tuhan sedang memroses hidup kita secara terus-menerus akan memampukan kita untuk melihat sesama sebagai bejana-bejana di tangan sang Penjunan.


Terhadap sebuah jam dinding seharga sepuluh ribu rupiah yang telah rusak, kita dapat memilih untuk membuangnya tanpa merasa sayang. Tetapi apakah kita dapat melakukan hal yang sama terhadap bejana-bejana yang sedang dikerjakan oleh Tuhan. Apabila kita tidak merasa cocok, akankah kita menggantinya? Apabila kita tidak menyukainya, akankah kita membuangnya? Apabila tenaganya telah habis, akankah kita mencampakkannya? Selama ini kita hidup semata-mata berkat ketelatenan Tuhan di dalam hidup kita, karena kesabaran-Nya atas kelakuan kita, karena kecermatan-Nya dalam membentuk kita. Jadi marilah kita memandang orang lain dengan ketelatenan yang sama.

No comments: