"Annyong haseyo!" begitulah sambutan ramah yang diucapkan oleh para penerima tamu, penatua, diaken, dan pendeta dalam menyambut kunjungan rombongan kami ke gereja-gereja di Korea. Annyong haseyo sendiri adalah sebuah salam yang umum di Korea yang artinya adalah apa kabar. Rombongan kami terdiri atas 30-an orang yang berasal dari Gereja Kristus Yesus (GKY) Pondok Indah Jakarta, Gereja Kristen Abdiel (GKA) Gloria Surabaya, dan dari Gereja Kristen Indonesia (GKI). Dari GKI, saya dan Pdt. Pipi Agus Dhali dari GKI Darmo Permai, atas kemurahan hati Tuhan melalui jemaat-Nya, mendapatkan kesempatan berharga ini. Rombongan yang dipimpin oleh Pdt. Suh Sung Min dan Pdt. Kim Sang Hyeon, keduanya adalah misionaris Korea di Indonesia, mengunjungi beberapa gereja di Korea dalam rangka studi banding dari tanggal 9 sd 15 Mei 2006.
Pertumbuhan gereja di Korea memang luar biasa. Kini, jumlah orang Kristen di Korea mencapai sekitar 25 sd 30 % dari populasi yang ada. Di antara gereja-gereja yang kami kunjungi terdapat dua gereja terbesar di dunia. Pertama adalah gereja dengan jumlah jemaat terbesar di dunia : Yoido Full Gospel Church yang digembalakan oleh Pdt. Yonggi Cho dengan anggota jemaat sekitar 800.000. Kedua, adalah gereja Presbiterian terbesar di dunia, yakni Myungsung Presbyterian Church, yang digembalakan oleh Pdt. Kim Sam Hwan, dengan anggota sebanyak 50.000. Kami juga mengunjungi beberapa gereja lain, baik yang berukuran sedang dengan anggota jemaat sekitar 1.000 sd 2.000, atau pun gereja kecil dengan aggota jemaat 200 sd 1000 orang.
Gereja yang Berdoa
Dalam kunjungan ke beberapa gereja tersebut, kami mendapatkan kesan yang sangat kuat bahwa gereja-gereja Korea adalah gereja yang berdoa. Setiap gereja yang kami kunjungi mempunyai ibadah doa pagi yang luar biasa diminati oleh jemaat. Di Myungsung Presbertian Church, setiap hari setidaknya ada tiga jam doa pagi : Pk. 04.00, Pk. 05.00, dan Pk. 06.00, dengan kehadiran 1500 sd 2000 orang/jam kebaktian doanya. Ketika kami menghadiri kebaktian Pk. 06.00, kami menemukan bahwa rangkaian acara doa pagi itu tidak jauh berbeda dengan doa pagi yang ada di GKI. Ibadah doa pagi yang berlangsung selama satu jam itu dibuka dengan dua nyanyian dan dilanjutkan dengan khotbah dan doa syafaat. Sungguh hati kami tergetar mendengar orang-orang Kristen di Korea membuka suara dalam doa syafaat mereka untuk Indonesia. Ruangan yang hening, tiba-tiba menjadi gemuruh dengan suara doa. Nampaknya sudah menjadi hal yang biasa di gereja Presbiterian itu, jemaat berdoa dengan mengangkat tangan dan membuka suara. Di setiap gereja yang kami kunjungi, doa pagi menjadi acara yang diminati dan dihadiri sekitar 10 sd 30 % dari anggota jemaat tersebut setiap harinya. Di gereja lain, misalnya Jangseok Presbyterian Church yang mempunyai gedung gereja khas arsitektur tradisional Korea, mempunyai program doa berantai selama 24 jam yang berlangsung terus menerus selama 7 hari. Anggota jemaat yang terlibat dalam program ini mempunyai tanggung jawab untuk berdoa selama 1 jam sesuai dengan jadwalnya, dan akan diteruskan oleh anggota jemaat lainnya. Luar Biasa! Semangat doa yang sama kami temukan juga di gereja-gereja lainnya.
Apa yang membuat jemaat Korea begitu bersemangat berdoa? Kami belum bisa mendapatkan jawaban pasti. Sejauh kami amati, hal ini sangat berkaitan dengan karakter orang Korea yang diwarnai dengan komitmen, disiplin, dan keuletan. Komitmen, disiplin, dan keuletan inilah yang mewarnai kehidupan spiritualitas mereka. Itulah sebabnya mereka bukan saja menjadi jemaat yang bergereja, tetapi juga jemaat yang mengasihi Yesus, dan mewujudkan kasih itu pada gereja-Nya. Kasih orang Korea kepada gereja-Nya diwujudkan dalam bentuk doa dan ketulusan pelayanan yang nyata. Beberapa gereja yang kami kunjungi bukan saja memiliki jemaat yang tekun berdoa, tetapi juga mewujudkan kasih itu dengan kerelaan memberikan waktu dan tenaga untuk bergiliran membersihkan gereja. Suatu pekerjaan yang di gereja Indonesia, hanya dikerjakan oleh koster atau cleaning service.
Gereja yang Bermisi Dunia
Sejauh kami amati, gereja-gereja Korea mempunyai pemahaman bahwa gereja hadir di dunia ini untuk orang lain. Pemahaman inilah yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan pemberitaan Injil baik secara verbal, maupun melalui aksi sosial. Tidak peduli, apakah gereja itu besar atau kecil, gereja-gereja Korea adalah gereja bagi orang lain. Kami mendapatkan kesempatan mengunjungi sebuah gereja kecil, yang beribadah di sebuah kompleks pertokoan. Dalam padanan bahasa Inggrisnya, nama gereja ini adalah Evergreen Church. Sebuah gereja dengan 200 jemaat dan hanya mempunyai tempat beribadah kecil. Tetapi, Evergreen Church mempunyai misi dunia. Mereka mengutus dan membiayai setidaknya lima orang missionaris ke seluruh belahan dunia. Luar biasa! Sungguh di tengah kecenderungan gereja di Indoensia untuk membangun gedung demi kebanggaan diri, kami melihat terharu melihat gereja-gereja Korea yang hadir bagi orang lain, termasuk bagi Indonesia. Di tahun 2005, sebuah gereja yang lain yakni Shinsung Presbyterian Church mengutus tim misi yang terdiri sekitar 25 orang untuk membangun rumah dan melaksankan pelayanan kesehatan di Bitung, Sulawesi Utara. Beberapa anggota rombongan pun sempat terheran-heran dan bahkan berkata," Ada apa sih di Bitung, kok mereka sampai menyempatkan waktu untuk datang?" Ternyata tim misi itu melaksanakan pelayanan kesehatan dan membangun 20 rumah bagi para pengungsi yang datang dari Ambon dan Poso. Sungguh, sebuah gereja yang hadir bagi orang lain. Gereja yang memiliki misi dunia! Belum terbilang kegiatan-kegiatan pelayanan sosial yang luar biasa. Mulai dari panti asuhan, pengobatan medis, dan pelayanan kepada masyarakat yang tersisih menjadi bagian dari kehidupan gereja di Korea.
Darimana semangat misi dunia ini berasal? Kami pun tidak dapat dengan tuntas menjawab pertanyaan ini. Hanya ada satu hal yang menjadi pemicu pesatnya misi dunia dari gereja Korea. Kami sempat mengunjungi Korean Martyrs Memorial, sebuah museum yang menunjukkan gambar-gambar orang Kristen Korea yang mati syahid. Menelusuri museum itu, menjadi jelas bagi kami bahwa orang Kristen Korea adalah jemaat yang menghargai perjuangan para misionaris maupun para pendahulu mereka. Orang Kristen di Korea menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang "berhutang" pada para pekabar Injil. Kini, mereka ingin "membayar hutang" tersebut dengan meneruskan misi pekabaran Injil itu ke seluruh dunia. Gereja di Korea sangat mendorong dan menghargai mereka yang terlibat dalam pekabaran Injil. Di Jangseok Presbyterian Church terdapat 4 plakat tapak kaki emas sebagai wujud apresiasi terhadap 4 orang jemaatnya yang masing-masing sudah mengabarkan Injil secara pribadi kepada lebih dari 1000 orang. Luar biasa! Orang Kristen di Korea sangat menghayati bahwa gereja hadir untuk menjadi berkat melalui pelayanannya dan pemberitaan Injil.
Gereja yang Bergumul dengan Globalisasi
Dengan segala kelebihan yang dimiliki, gereja Korea bukanlah gereja yang sempurna. Pengamatan kami menunjukkan gereja-gereja di Korea berada dalam pergumulan yang serius dengan globalisasi. Globalisasi telah membentuk selera dan cara berpikir yang berbeda bagi kaum muda di sana. Gereja-gereja Korea menyadari bahwa mereka harus berpikir ulang untuk menjangkau generasi muda. Mereka menyadari bahwa perjuangan memenangkan generasi muda ini membutuhkan pendekatan dan strategi baru. Saat ini, remaja dan pemuda Kristen hanya berkisar sekitar 10 sd 20 % dari keseluruhan anggota gereja. Di sisi lain, sekitar 50 % penduduk Korea, mayoritas di antaranya adalah kaum muda, tidak tertarik dengan agama. Sekularisme dan hedonisme menjadi tawaran yang menarik bagi kaum muda Korea.
Beberapa gereja di Korea mencoba menjangkau kaum muda dengan mengubah liturgi dan iringan musik yang mereka gunakan. Pada umumnya, gereja-gereja yang sudah mapan di Korea, baik Presbiterial maupun Pentakosta, menggukan pola liturgis baku, dan menyanyikan hymne yang sama seperti KJ dan NKB dengan iringan piano dan organ. Kini, seperangkat alat band dan liturgi yang lebih bebas menjadi sarana untuk menjangkau generasi muda Korea. Mereka mulai menyadari bahwa generasi yang berbeda membutuhkan pendekatan yang berbeda pula.
Bisakah Kita Meniru Gereja di Korea?
Ada satu pertanyaan yang terus menerus mencuat dalam percakapan di sepanjang perjalanan kami : mungkinkah gereja di Indonesia meniru gereja di Korea? Ya, bisa saja, tetapi hasilnya pasti berbeda. Kekristenan di Korea berkembang didukung oleh karakter bangsa Korea yang diwarnai dengan disiplin, tanggung jawab, dan kepatuhan kepada otoritas. Kekristenan yang bertemu dengan budaya unggul bangsa Korea ini menghasilkan pesatnya pertumbuhan gereja dan dampak yang luar biasa bagi pelayanan di seluruh dunia. Di Indonesia, bukankah disiplin, tanggung jawab, dan kepatuhan adalah hal-hal yang sulit kita temukan, bukan saja di gereja tetapi juga di seantero negeri ini? Sebelum meniru gereja di Korea, gereja di Indonesia harus menyelesaikan pergumulannya yang khas. Pergumulan untuk turut membentuk karakter bangsa ini. Pergumulan untuk menyemaikan benih dan menjadi teladan dalam disiplin, tanggung jawab, dan kepatuhan terhadap otoritas. Siapkah kita?
Annyonghi geseyo! Selamat tinggal! Gamsa hamnida. Terima kasih atas segala keramahannya dalam menyambut kami. Tuhan memberkati perjuangan gereja di Korea dan Indonesia.
1 comment:
Bisa jadi karena saya pelayanan di kota kecil, sehingga hanya sedikit dinamika sebagaimana yang dialami oleh para HT di kota besar. Dalam pada itu, saya masih merasa globalisasi adalah "a new kind of Westernization," sebut saja semacam neo-imperialisme. Nah, yang nyata-nyata akhirnya yang menang adalah gaya pop a la Amrik.
Collapsenya teologi Liberal, dan runtuhnya kontekstualisasi (tidak semua!) yang terlahir dari teologi itu akhirnya membuat banyak gereja termasuk HT pada limbung tak tentu arah, dan beralih kepada pem-Baratan gaya baru.
Apakah isu fundamentalnya kepada misi kepada anak muda, atau seeker-sensitive atau market-sensitive, saya sendiri tidak berani menjatuhkan kata akhir. Namun yang menjadi permenungan saya akhir-akhir ini yaitu mengapa makin marak gaya kekristenan yang demikian. Dan makin maraknya fenomena ini di Indonesia, dalam pengamatan saya, lebih cenderung karena gereja-gereja tradisional (termasuk kalangan gereja saya) mengidap sindrom minderwardegheit.
Apakah ini ada korelasi dengan politik global yang memang kian didominasi oleh satu negara (USA), sehingga Uskup Durham N. T. Wright sampai-sampai mengatakan bahwa USA tak kurang dari bentuk baru Imperium Roma, dalam kuliahnya di Universitas Harvard bulan Oktober yang lalu? Demikian pula kajian dari pakar PB Richard Horsley dari Univ. Massachusset, serta sosiolog Philip Jenkins dalam buku THE NEXT CHRISTENDOM. Wah, Mas, sulit memang....
Post a Comment