Di dalam kehidupan ini, setiap orang selalu ingin memiliki
kehidupan yang bermakna atau bernilai, bukan sekadar rutinitas
yang membosankan, bukan sekadar mengejar sesuatu untuk
memuaskan diri sendiri. Kita selalu ingin hidup kita memberikan
makna bagi orang lain, juga bagi Tuhan yang kita percayai dan
kita sembah itu. Kita ingin hidup kita mempunyai kualitas yang
baik. Sebuah kehidupan yang layak diacungi jempol oleh orang
yang melihatnya. Suatu kehidupan yang pada akhirnya nanti kita
dapat berkata bahwa kita sudah menjalani kehidupan yang
bernilai dan kita tidak menyimpan suatu penyesalan pun di
dalamnya karena hidup yang kita jalani sudah bernilai atau
bermakna. Entah mengapa di dalam hatinya setiap orang tahu
bahwa ia tidak hidup untuk dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia
hidup untuk dirinya sendiri. Dan apabila ia terus hidup untuk
dirinya sendiri, maka secara alami ia akan mengalami perasaan
yang tidak enak di dalam hati. Ada kekosongan yang luar biasa
tatkala hidup ini kita habiskan untuk mengejar segala keinginan
kita. Ada rasa bersalah yang besar ketika hidup ini hanya kita
gunakan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain.
Harian Kompas beberapa waktu yang lalu menurunkan wawancara
dengan George Soros. Orang yang dianggap bertanggung jawab
terhadap krisis moneter yang terjadi di Asia Tenggara, pada
kurun waktu 1997-1998. Ia yang selama ini dikenal sebagai
"binatang" ekonomi yang hanya berpikir tentang bagaimana
mendapatkan keuntungan dan uang sebanyak mungkin, termasuk
dengan cara merugikan orang lain. Ternyata sisi lain hidupnya
dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan sosial yang sangat besar dan
ia menyumbang uang jutaan dolar untuk membantu orang-orang yang
sulit dan susah di dunia ini. Secara alami ada rasa bersalah
yang besar tatkala hidup ini hanya kita gunakan untuk mengejar
keinginan dan hawa nafsu kita sendiri. Kita tahu secara alami
bahwa hidup ini harus dibagi kepada orang lain supaya bisa
memiliki nilai dan makna. Namun di situlah letak pergumulan
kita. Kita tahu bahwa hidup itu harus bernilai dan bermakna
bagi orang lain, juga di hadapan Tuhan, tetapi di sisi yang
lain kita bergumul dengan kelemahan dan keterbatasan kita. Kita
bergumul dengan kesalahan-kesalahan yang kita. Kita bergumul
dengan dosa kita sehingga kadang kala kita bertanya apakah
hidup ini bisa kita jalani dengan lebih baik. Ada semangat dan
cita-cita untuk memiliki hidup yang bermakna, tetapi kita
sering menjadi ragu dapatkah hidup ini menjadi bermakna bagi
orang lain dan bagi Tuhan di tengah kelemahan dan pergumulan
kita.
Bacaan Alkitab di atas berbicara tentang Yakub yang berdiri di
tengah dua pergumulan itu. Di satu sisi ia mengerti dengan baik
bahwa Allah mempunyai maksud atas kehadirannya di dunia. Tetapi
di sisi yang lain, kelemahan dan keterbatasan karakternya
begitu mengganggu dirinya. Sejak kecil ia sudah bersekongkol
dengan ibunya untuk menipu kakaknya dan ayahnya sendiri hingga
kemudian ia lari karena takut dibunuh kakaknya. Ketika beranjak
lebih dewasa, lebih tua lagi, ia pernah mempunyai pengalaman
yang pahit. Ia ditipu oleh ayah mertuanya sendiri sehingga ia
harus menikahi beberapa orang sebelum akhirnya menikahi orang
yang benar-benar dicintainya. Tetapi Yakub tetaplah Yakub.
Akhirnya ia balas menipu dan merampas harta mertuanya, lalu
lari dari mertuanya itu. Inilah hidup manusia yang terjepit di
antara dua sisi pergumulan itu: keinginan untuk menjadi
bernilai dan bermakna tetapi sekaligus memiliki kelemahan
karakter yang menodai jejak-jejak perjalanan hidupnya. Ia
berlari dan terus berlari sampai akhirnya berjumpa dengan Allah
di dalam suatu perjumpaan yang mengubahkan di Sungai Yabok.
Menilik pengalaman Yakub, kita bisa memahami bahwa apabila
hidup ini diisi dengan lari dari tanggung jawab akibat
perbuatan di masa lalu, maka hidup kita tidak akan pernah bisa
bermakna, tidak akan pernah bisa menghasilkan sesuatu yang baik
bagi orang lain. Mengapa? Karena ketika melarikan diri, yang
kita pikir hanyalah keselamatan diri sendiri. Bahkan di dalam
kisah ini ketika Yakub harus bertemu dengan Esau, tampaklah
sifatnya yang suka melarikan diri. Ia meminta agar pembantunya
berjalan lebih dulu. Ia meminta anak-anaknya berjalan lebih
dulu. Ia meminta istrinya berjalan lebih dulu. Semua itu
bertujuan supaya mereka dapat meredam kemarahan Esau dan
akhirnya ia bisa bertemu Yakub dengan hati yang sudah tenang.
Apa yang bisa dilakukan oleh hidup orang yang terus melarikan
diri dari kesalahannya? Kalau kita menjalani hidup ini dengan
terus-menerus melarikan diri dari tanggung jawab, maka hidup
kita akan dipenuhi dengan kelelahan, kelemahan,
ketidaksanggupan untuk menghasilkan yang baik, dan akhirnya
yang kita hasilkan hanyalah keinginan untuk senantiasa
menyelamatkan diri. Dengan demikian, kita tidak dapat memberi
makna bagi manusia lain, bahkan kita akan cenderung untuk
mengorbankan manusia lain. Pada saat seperti itu, hidup kita
itu tidak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Kita
semua pernah melakukan kesalahan. Melakukan hal yang salah
adalah bagian hidup seorang manusia. Tetapi melarikan diri dari
kesalahan adalah hal yang berbeda. Sikap melarikan diri dari
kesalahan mencerminkan ketidakbersediaan kita mengakui
kelemahan dan kesalahan kita.
Satu pengalaman menarik ketika saya masih menjadi mahasiswa di
seminari. Dalam usia yang masih sekitar delapan belas atau
sembilan belas tahun kami sudah harus memasuki kehidupan yang
penuh dengan peraturan ketat. Semuanya dimulai dengan bel dan
aturan yang sangat jelas, dari bangun pagi, kuliah, ibadah,
istirahat siang, hingga mandi sore. Waktu itu salah satu aturan
yang begitu menggoda untuk dilanggar berkenaan dengan hari
Minggu. Peraturan kampus menegaskan bahwa hari Minggu adalah
hari Sabat yang tidak seharusnya digunakan untuk kegiatan
sehari-hari, misalnya berbelanja, mencuci pakaian, menyetrika
pakaian, dll. Tiap semester peraturan itu selalu berulang.
Jadi, kami diharapkan memakai hari Minggu itu khusus untuk
pelayanan dan berdoa. Namun, betapa hati ini tergoda untuk
melanggar. Suatu kali kami membaca berita di surat kabar bahwa
di suatu hari Minggu pukul 11.00 siang ada pertandingan tinju
kelas berat. Waktu itu adalah era Mike Tyson. Kami belum pernah
menonton televisi sejak di kampus karena di sana tidak ada
televisi. Akhirnya kami menyusun rencana bahwa hari Minggu itu
kami harus keluar dan menonton acara tinju. Pada pukul 10.45
kami mengendap-endap keluar. Hanya ada satu pintu masuk dan
pintu keluar. Betapa leganya ketika kami sudah berada di luar
dan akhirnya sampai di rumah jemaat yang menyambut kami dengan
baik. Kami duduk di situ, menonton pertandingan tinju hingga
pukul 13.00. Malangnya, kami lupa bahwa jam makan siang di
seminari adalah pukul 12.30 dan mahasiswa selalu duduk di
tempat yang sama di ruang makan. Memang tempat duduk diatur
tetap di kampus. Ketika ibu asrama kami yang orang Australia
itu melihat bahwa ada sepuluh tempat duduk yang kosong, maka ia
tahu bahwa ada sepuluh pria melarikan diri. Ketika pulang dari
menonton tinju, rombongan kami dipecah menjadi dua kelompok
yang masing-masing terdiri dari lima orang. Dengan sangat
perlahan kami membuka pintu yang besar itu. Begitu pintu
terbuka, terdengarlah suara yang merdu, "Saudara Wahyu, ke mana
hari Minggu ini?" Seketika itu kami pucat pasi karena itulah
suara ibu asrama kami. Akhirnya ibu asrama mengumpulkan kami di
kelas dan bertanya apa yang kami lakukan. Segera kami mengaku,
"Maaf, kami menonton tinju." Kemudian ibu asrama kami yang
orang Australia itu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Kalian semua calon hamba Tuhan tidak menghormati hari Minggu."
Satu jam kemudian ia menceramahi kami tentang makna hari Sabat
bagi hidup seorang hamba Tuhan. Tetapi setelah semuanya itu
berlalu, hati kami lega. Saat keluar dari ruangan, kami
berjumpa dengan lima teman kami lainnya yang entah kenapa tidak
ketahuan. Mungkin karena ibu asrama tadi terlalu sibuk mengurus
kami sehingga kelima orang itu masuk tanpa ketahuan, dan
tampaknya ibu asrama yang teliti ini lupa bahwa ada sepuluh
orang yang hilang. Kelima orang teman kami itu berkata,
"Gimana?" "Yah kami dapat kuliah lagi tentang makna hari
Sabat." "Rasain lu." Mereka bangga dan senang karena merasa
kami tertangkap sedangkan mereka tidak tertangkap.
Namun, kampus kami itu kecil. Ketika seorang teman yang tidak
tertangkap itu ingin ke perpustakaan, ia bertanya kepada saya,
"Ibu asrama ada di situ nggak?" "Lho kenapa?" tanya saya."Saya
nggak enak nih kalau bertemu dia. Jangan-jangan ia nanti ingat
kalau kemarin saya belum diomeli, belum dimarahi." Setiap kali
mau jalan ke arah perpustakaan, ia bertanya, "Ada ibu asrama
nggak di sana?" Jadi, ia dikejar rasa bersalah karena telah
melanggar tetapi belum mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di
sini ada perasaan tidak nyaman karena mau tak mau ketika keluar
masuk ia akan selalu berpapasan dengan ibu asrama itu. Dalam
satu hari ia bisa berpapasan tiga sampai empat kali. Teman saya
berkata bahwa setiap kali memandang ibu asrama itu, ia seperti
melihat Tuhan. Ia merasa bersalah.Kami pun akhirnya berkata,
"Makanya, yang enak itu mengaku. Kalau sudah mengaku, dimarahi
sebentar, hidup bebas deh." Akhirnya pada hari yang ke-6, ia
sudah tidak sanggup bertahan dan berkata, "Saya mau mengaku
sajalah. Nggak enak begini terus. Berpapasan sungkan, dipandang
membuat saya curiga jangan-jangan ia tahu." Kemudian ia datang
dan mengaku. Kemudian ibu asrama itu berkata, "O iya ya saya
lupa masih ada lima orang lagi." Semuanya dikumpulkan dan
mereka mengaku. Setelah mengaku, mereka berkata, "Sudah lega
dah. Sekarang bertemu dia kapan saja nggak apa-apa."
Kalau hidup ini kita jalani dengan semangat untuk melarikan
diri, lari dari tanggung jawab, percayalah bahwa di dalam hati
ini tidak akan ada ketenangan. Suami yang mencurangi istri,
istri yang mencurangi suami. Setiap kali bertemu dengan suami
atau istrinya pasti ada rasa sebagai terdakwa, ada rasa
bersalah di hati. Dan karena rasa bersalah itulah orang menjadi
sangat sensitif. Seorang suami bisa tiba-tiba menjadi sangat
marah ketika istrinya memegang HP-nya karena ia lupa menghapus
SMS dari kekasih gelapnya. Seorang istri juga bisa tiba-tiba
menjadi sangat marah ketika anaknya memegang HP-nya. Ia takut
karena di situ ada potret dirinya bersama teman intimnya. Orang
yang dikejar rasa bersalah karena melarikan diri dari tanggung
jawab tidak akan pernah bisa menjalani hidup yang bermakna.
Yang ada hanyalah rasa lelah, capai karena ia sudah bersalah
tetapi tidak bertanggung jawab. Tidak ada seorang pun yang tahu
apa yang kita lakukan seutuhnya. Tetapi hati nurani ini akan
terus mendakwa kita tatkala kita lari dari tanggung jawab.
Hidup kita tidak akan pernah bisa tenang dan bermakna saat kita
lari dari tanggung jawab. Ketika Yakub lari dari tanggung
jawab, hidupnya penuh dengan kekhawatiran, ketakutan,
kecemasan, dan kelelahan tanpa henti. Ia tidak bisa menjalani
hidup yang bermakna. Tetapi syukurlah dalam perjumpaan dengan
Tuhan itu, sesuatu terjadi. Alkitab menggambarkannya dengan
indah seperti dua orang yang sedang bergulat bersama dan
akhirnya menjelang detik-detik terakhir malaikat Tuhan yang
digambarkan sebagai pria itu memukul pangkal paha Yakub
sehingga Yakub menjadi lemah dan kemudian menyerah. Apa yang
bisa kita pelajari dari kisah ini? Bukankah perjumpaan dengan
Tuhan itu berarti dalam hidup kita? Kita berdiri di hadapan
Tuhan, kita berhenti dari semangat kita untuk melarikan diri
dari semua tanggung jawab, kita berhenti sebentar dan rela
hidup kita dinilai oleh Tuhan. Alkitab memakai judul
"Pergumulan Yakub dengan Allah". Bergumulnya Yakub dengan Allah
adalah saat ketika Yakub berhenti dari semua pelariannya dan
membiarkan Allah berurusan dengan dirinya. Ada gambaran tentang
kekuatan yang dilemahkan, yakni "terpelecok", yang artinya
kekuatan Yakub untuk lari kini telah dipatahkan. Dan ketika ia
sudah tidak bisa lari itulah ia harus bertanggung jawab atas
hidupnya di hadapan Allah.
Menjalani hidup yang bermakna terjadi mula-mula ketika kita
berhenti dari keinginan untuk melarikan diri dari tanggung
jawab. Kemudian diikuti dengan sikap rela menghadapkan hidup
kita untuk dinilai oleh Allah, dievaluasi di hadapan Allah.
Perhatikan apa yang Allah lakukan terhadap Yakub. Allah
memberikan nama baru kepada Yakub. Nama Yakub artinya ia yang
memegang tumit karena ia lahir dengan memegang tumit Esau. Akan
tetapi, di dalam perjalanan hidupnya nama itu ekuivalen,
berkonotasi sebagai orang yang menipu. Namun manakala
pergumulan itu telah selesai, malaikat Tuhan itu berkata,
"Engkau tidak lagi Yakub tetapi Israel. Engkau yang sudah
bergumul dan menang." Diberi identitas baru, diberi nama yang
baru tersebut merupakan lambang identitas baru bahwa dialah
Israel, karena ia sudah berhenti dari pelariannya dan
membiarkan hidupnya dinilai di hadapan Allah. Bergumul dengan
Allah berarti membiarkan Allah itu menilai hidup kita. Bergumul
di hadapan Allah berarti membiarkan Allah sendiri yang
mengevaluasi hidup kita. Kita tidak akan berkata, "Ya Tuhan,
saya lebih lumayan daripada orang itu. Ia sudah mencuri,
membunuh, berzinah, lalu tepergok. Sedangkan saya kan belum
ketahuan." "Ya Tuhan, saya lebih baik dari dia. Hidupnya sudah
luar biasa hancur." Bergumul dengan Allah berarti membiarkan
Tuhan sendiri yang menilai hidup kita. Jika kita hidup di dalam
kesadaran bahwa Tuhanlah yang akan menilai hidup kita, di
situlah terletak langkah awal untuk menjalani hidup yang
bermakna.Ada satu disiplin rohani yang terhilang dari kehidupan kita
bergereja. Kita tahu ada sebuah lagu berjudul Tuhanku, Bila
Hati Kawanku: "Tuhanku, bila hati kawanku, terluka oleh tingkah
ujarku." Lagu itu disebut: An Evening Prayer (Doa sore atau
malam hari). Doa tersebut merupakan bagian dari disiplin orang
Kristen untuk mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan Tuhan
setiap malam. Ketika hari akan berakhir, orang bersama-sama
akan berdoa dan mereka memikirkan di hadapan Tuhan, "Layakkah
hidup yang kujalani sepanjang hari ini?" Disiplin ini sudah
sirna dari kehidupan kita bergereja. Kita menjadi sangat sibuk
sampai lupa membuka hari yang baru dengan ucapan syukur. Kita
menjadi begitu lelah sehingga kehilangan momen untuk melihat
hidup kita kembali dari perspektif Allah. Kita lupa
mempertanggungjawabkan hidup kita di hadapan Tuhan. Dan ketika
disiplin itu hilang dari kehidupan gereja, maka bisa jadi makin
lama kita menjadi makin keras hati, sulit berubah, sulit
menerima teguran karena kita tidak membiarkan hati kita
senantiasa berada di dalam tangan Tuhan.
Jika pernah membentuk sesuatu dengan tanah liat, Anda akan tahu
bahwa ketika tanah liat itu basah, kita bisa membentuknya dalam
berbagai model. Namun, ketika tanah liat itu sudah mengering,
maka tidak ada yang dapat Anda perbuat dengan tanah liat
tersebut. Doa dan pembacaan firman ibarat air yang mengaliri
tanah liat itu, membuat tanah liat itu tetap basah sehingga
mudah dibentuk. Tetapi, ketika kita mencabut doa dan perenungan
firman di akhir hari kita, maka perlahan-lahan hati kita akan
menjadi begitu keras, begitu berat sehingga teguran lembut dari
Allah tidak akan bermakna apa pun.
Orang suka menggunakan frasa "merasakan hadirat Tuhan". Apa
yang dimaksud dengan frasa itu? Merasakan hadirat Tuhan
bukanlah perasaan mistis aneh yang datang atau pergi, melainkan
keyakinan bahwa Tuhan melihat dan mengamati hidup kita setiap
saat, dan bahwa hidup ini harus dipertanggungjawabkan di
hadapan Tuhan. Bila kita hidup di hadirat-Nya, hidup dengan
kesadaran bahwa hidup ini harus dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah, maka di situlah langkah pertama kita menuju
hidup yang bermakna bagi orang lain.
Johannes Calvin, bapak gereja Protestan, menyimpulkan dengan
sangat indah, "Kalau Anda mengenal Allah, kalau Anda mengalami
kehadiran Allah, maka Anda akan sangat mengenal diri Anda
sendiri." Bila kita bersedia berhenti dari semua pelarian atas
tanggung jawab, siap menerima tanggung jawab, siap mengakui
kesalahan kita, berhenti dan membiarkan Tuhan melihat dan
memandang hidup kita, membiarkan Tuhan memperbaiki hidup kita
sampai kita sadar bahwa hidup ini menjadi bermakna manakala
terus-menerus dipertanggungjawabkan kepada Allah, maka pada
saat itulah kita menjalani hidup yang bermakna bagi orang lain
dan juga di hadapan Allah.
Friday, November 03, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment