Thursday, November 09, 2006

Ketika Iman Berbeda dengan Kenyataan (Bil 13:25-33)

Saya rasa kita semua setuju bahwa iman kepercayaan kita kepada Yesus Kristus adalah bagian hidup yang signifikan dan sentral. Kita semua menyadari kehidupan kita ditopang oleh kekuatan yang bernama iman. Karena itulah, jika ada saudara seiman sedang dalam keadaan duka dan sedang dirundung permasalahan besar yang tidak kunjung selesai;  maka kita biasanya akan menyalami tangan orang tersebut sambil berkata, "Tetap beriman, ya... berpegang teguhlah kepada Yesus Kristus".  Kita membutuhkan kekuatan iman itu, ecara khusus ketika kehidupan berjalan tidak selancar yang kita harapkan.

Tetapi keadaannya bisa menjadi terbalik ketika kita sendiri yang sedang mengalami kesedihan, kedukaan atau pergumulan yang belum nampak jalan keluarnya.  Di saat-saat seperti itulah kita menemukan bahwa beriman - apalagi tetap bertumbuh dalam iman -  bukanlah hal yang mudah. Bahkan seringkali  kita justru menemukan bahwa iman itu sepertinya tidak memberikan jawaban.  Tidak menyediakan solusi bagi kita dan tidak memberikan kekuatan yang kita butuhkan. Di saat-saat seperti itu biasanya kita malah bertanya, "Di manakah Tuhan di balik semua yang saya alami ini?"

Alkitab mengatakan bahwa ketika kita beriman  kepada Yesus Kristus, dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat kita,  maka itu semua  adalah karena anugerah Allah.  Iman adalah pemberian atau haiah dari Allah yang kita terima begitu saja. Paulus pernah mengatakan bahwa, "Itu bukan hasil usahamu, jangan ada orang yang memegahkan dirinya".  Namun iman itu diberikan Allah kepada kita bukan dalam bentuk yang sudah jadi  dan sudah kuat; tetapi iman itu diberikan kepada kita dalam keadaan yang cukup untuk membuat kita percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Iman yang diberikan itu cukup untuk membuat kita dapat menjalani kehidupan ini.  Di dalam kehidupan inilah nantinya kita akan mengalami perkembangan dan  proses pembentukan iman oleh Tuhan.

Yesus Kristus  pernah menggambarkan bahwa iman itu bukanlah sebuah pohon besar yang sudah berakar kuat, tetapi iman itu seperti biji yang kecil.  Di dalam biji tersebut terdapat  kandungan-kandungan yang membuatnya bisa bertumbuh. Jadi, iman adalah seperti biji dan bukan sebuah pohon yang sudah jadi.  Dengan demikian Yesus mengharapkan  bahwa di dalam proses kehidupan ini,  iman yang seperti biji itu akan bertumbuh kembang dan berbuah serta  akan menjadi kokoh.  Iman yang kokoh akan  mendatangkan hormat dan kemuliaan bagi Tuhan. Pertumbuhan dan perkembangan iman itu tidak terjadi di atas kertas tetapi di atas lapangan yang bernama kehidupan sehari-hari. 

Di dalam kisah yang kita baca ini, Allah sudah mendidik orang Israel untuk mengenal dan  mengasihi-Nya. Allah sudah berfirman kepada mereka bahwa tanah Kanaan itu milik mereka.  Ada janji Allah yang dapat mereka pegang.  Janji  yang menunjukkan bahwa mereka itulah umat pilihan Allah.  Dalam perikop ini kita tahu bahwa mereka sedang mendekati saat-saat terakhir dari perjalanan mereka. Setelah puluhan tahun mereka berkeliling, inilah saatnya mereka berada di muka pintu  Tanah Perjanjian itu.  Di depan Tanah Perjanjian itu,  mereka memutuskan untuk mengirim orang-orang pilihan mereka, yaitu 12 orang pengintai. Orang-orang pilihan inilah yang akan masuk terlebih dahulu untuk mensurvei negeri ini. 

Ketika  12 orang itu pulang setelah mengadakan pengintaian selama 40 hari 40 malam, mereka mengatakan satu hal yang sama,  "Betul, tanah itu seperti yang difirmankan Tuhan :  subur dan makmur!" Namun,  10 dari 12 orang tersebut mengatakan, "Tetapi di tanah yang subur dan makmur itu, juga ada orang-orang raksasa. Juga ada bangsa-bangasa yang kuat."  Mereka juga menambah-nambahi dengan mengatakan bahwa orang-orang di negeri itu memakan habis penduduknya sendiri.  Para pengintai itu mengatakan bahwa mereka seperti belalang di depan bangsa-bangsa Kanaan.

Di sinilah, iman yang adalah kepercayaan kita akan janji Allah itu bertemu dengan realita kehidupan.  Allah berjanji Tanah Kanaan itu adalah milik orang Israel, tetapi realitanya ada bangsa-bangsa yang kuat hidup di tanah itu.  Ketika terjadi perbenturan antara iman dan realita kehidupan, biasanya kita mulai mengalami kegoncangan hidup. Biasanya kita mulai berpikir ulang tentang iman kita.  Apa yang kita yakini selama ini tentang Allah ternyata bisa mengalami benturan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Orang Israel juga mengalami hal ini, mereka memegang janji Allah, tetapi yang dihadapi adalah kenyataan bahwa  musuh mereka begitu kuat dan secara manusiawi sulit dikalahkan.

Kita meyakini sampai mendarah daging bahwa Allah itu maha kasih.  Ketika kehidupan lancar serta tidak ada masalah, maka  tidak ada benturan yang terjadi sehingga  tak ada masalah yang muncul. Tetapi jika kita mengalami masalah yang menyesakkan dan tidak menyenangkan, menghadapi kedukaan yang besar dan kejaian yang tidak kita harapkan muncul, di saat itulah kita mengalami benturan antara iman dan kenyataan hidup.  Tidak sedikit orang yang berkata, "Saya tahu Tuhan itu, maha kasih. Saya percaya itu.  Tapi mengapa saya mengalami masalah  seperti ini?"

Saya rasa kita semua percaya bahwa Tuhan itu maha kuasa dan penuh dengan kemuliaan. Segala sesuatu terjadi lewat  kehendak- Nya. Tetapi, ketika masalah yang kita alami tidak kunjung selesai, ketika pergumulan itu makin lama makin berat dan makin menyesakkan, apa yang kita katakan?  Kita berkata, "Saya tahu Ia itu maha kuasa, tetapi mengapa kok saya tidak dapat jalan keluar?  Mengapa kehidupan ini begitu beratnya terjadi pada saya?"  

Kita semua percaya Allah itu maha hadir. Tidak ada yang membatasi kehadiran-Nya.  Tetapi ketika kita dirundung kedukaan yang dalam, timbullah perasaan kesendirian  yang memedihkan hati yang membuat  kita bertanya, "Di manakah Tuhan sebenarnya?"

Goncangan yang terjadi akibat benturan antara iman dan realita itu senantiasa menggelisahkan. Orang yang mengalaminya menjadi limbung dan dengan cepat berusaha mencari pijakan di mana ia akan berdiri. Akankah ia berdiri di dalam janji firman Tuhan yang sudah ia terima dan  berkata, "Saya akan tetap terus karena saya percaya akan janji dan pemeliharaan Tuhan".  Ataukah seperti  kebanyakan orang  memilih untuk berpegang dan berpijak pada kenyataan sambil berkata, "Sudah ndak usah ngomong tentang Allah yang maha kasih, maha kuasa; nyatanya hidup saya seperti ini. Buat apa saya ke gereja?  Buat apa saya berbakti? Buat apa saya berdoa? Nyatanya, realitanya hidup saya seperti ini!"  Di dalam kegoncangan itu orang menjadi lelah, kalah, kecewa, marah dan menyerah. Tepat seperti yang terjadi dengan 10 orang pengintai itu;  mereka lelah, kalah dan menyerah.  Tetapi 2 orang yang lain  tetap berdiri dan berkata, "Maju terus!"

Memang, ketika goncangan itu terjadi  kita akan mengalami saat-saat di mana kita akan mengalami limbung dan kebingungan. Tetapi, mari kita lihat; kalau Tuhan yang maha kuasa, maha baik, maha hadir, mengijinkan kita mengalami goncangan seberat apapun, apakah Ia mengharapkan kita hancur oleh goncangan itu?  Apakah Ia mengharapkan iman kita hancur lebur di tengah goncangan itu?   Tentu tidak!  Dari perjalanan hidup tokoh-tokoh Alkitab menjadi jelas bahwa ketika goncangan dan situasi yang tidak menyenangkan itu terjadi, Allah sedang mencoba merentangkan pemahaman mereka tentang diri-Nya.  Allah sedang mengajarkan sesuatu tentang diri-Nya yang selama ini mungkin belum kita sadari. Melalui perentangan pengetahuan tentang Allah itulah iman kita diharapkan-Nya bertumbuh.

Di dalam cara pandang Alkitab, iman itu bertumbuh bukan tatkala kehidupan sedang lancar. Sebaliknya  iman itu bertumbuh di saat segala sesuatu terjadi tidak sesuai dengan harapan kita.   Saat iman  mengalami goncangan, ia makin bertumbuh. Melalui goncangan itu,   Allah sedang mencoba membangun iman kita.  Goncangan itu pastilah tidak menyenangkan dan akan senantiasa membuat kita gelisah dan kita tidak menikmatinya. Karena gelisah, maka kita tidak memperhatikan dan menolak  proses goncangan itu  dan memilih berpegang pada realita : "Ya sudah, saya begini saja".  Padahal, kata orang, "no pain, no gain";  tidak ada rasa sakit, tidak ada hasil. 

Secara sederhana  iman itu dapat digambarkan seperti otot kita. Kita semua mempunyai otot, hanya saja berbeda-beda kekuatannya sehingga berbeda pula beban yang bisa kita tanggung. Suatu kali, di sebuah pasar raya, saya bertemu dengan seorang teman lama semasa SMP. Kami berpapasan, dan ia langsung menyapa saya. Kemudian ia menatap saya, sayapun menatap ia. Saya ingat sewaktu di SMP,  ia sama kerempengnya dengan saya. Teman saya ini terus mengamati saya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki; terutama ia memperhatikan bagian perut saya sampai ke bawah.  Kemudian ia berkata, "Macam mana pula kau ini, Wahyu! Lama tidak ketemu, sekali ketemu, seperti gajah bengkak kau ini!"  Saya mencoba tersenyum mendapat "keramahan" seperti itu. Namun saya maklum. Terakhir kali kami bertemu, berat badan  saya masih sekitar 50-an kilo. Masih kurus sekali. Saya melihat teman saya yang dulu sama kerempengnya dengan saya sekarang menjadi lebih kekar dan lebih kencang . Sedangkan saya yang dulu kerempengnya seperti dirinya sekarang,  katanya jadi seperti gajah bengkak;  jadi gemuk sekali.  Teman saya menepuk-nepuk pipi dan  perut saya. Sebenarnya,  saya merasa sedikit dilecehkan, tetapi ya... karena teman lama, maka saya anggap tidak apa-apa.  Kemudian setelah berbincang-bincang, saya mengetahui bahwa teman saya ini sekarang bekerja sebagai instruktur di fittness centre.  Saya memang melihat badan teman saya ini terbentuk kekar dan luar biasa. Enak dilihat. Saking kekarnya, kelihatannya ia tidak bisa menoleh tanpa  menggerakkan tubuhnya. Teman ini mengatakan bahwa ia bersedia menjadi trainer pribadi saya sebanyak 3 x seminggu masing-masing 2,5 jam, selama 3 bulan.  Ia akan  melatih saya supaya badan saya  terbentuk baik dan menjamin pasti berhasil.  Saya bertanya apa saja yang harus saya lakukan selama dalam latihan tersebut dan ia menjelaskan bahwa saya akan melakukan senam aerobik,  angkat beban,  akan latihan ini dan itu.  Intinya,  saya  akan melakukan hal-hal yang melelahkan.

Saya tahu, tawaran itu baik untuk saya.  Tetapi, 3 x 2,5 jam per minggu "disiksa" dengan  segala macam latihan, saya tentu tidak rela.  Saya pun menolaknya dengan halus," Saya pikir-pikir dulu, deh."   Nah, oleh karena berpikir-pikir itulah, sekarang ini saya masih cukup gemuk seperti sekarang ini. Cita-cita untuk punya tubuh yang kekar dan otot yang kuat ada, tetapi saya tidak mau menjalani prosesnya. Kira-kira seperti itu jugalah kondisi iman kita.  Kita ingin iman yang kuat, tetapi kita tidak mau menjalani proses pembentukannya. Kita ingin mempunyai iman yang kuat agar mampu menahan beratnya beban kehidupan.  Tetapi, ketika Allah merencanakan di dalam program-Nya bahwa untuk itu kita harus melewati saat-saat penuh  goncangan dan pergumulan,   kita menolak.  Kita langsung mundur dan berkata, "Ya,  itu baik;  tetapi ndak usahlah!"

Goncangan kehidupan itu  sebenarnya tidak bisa kita tolak.  Seberapapun kaya dan pintarnya kita, suatu saat pasti akan terjadi benturan antara iman kita  dengan realita keseharian yang terjadi. Pada saat seperti itu  banyak orang akan memilih minggir dan kemudian lari kecewa meninggalkan Tuhan padahal bukan itu maksud Tuhan dengan latihan iman tersebut.. Sebaliknya Tuhan bermaksud agar kita bertumbuh melalui situasi seperti itu. Iman kita diregangkan oleh Tuhan, diperkuat dan dilatih oleh-Nya. 

Bagaimanakah kita bisa berdiri dan bertahan di tengah goncangan yang luar biasa?  Seperti 12 orang pengintai :  10 orang mengalami kegoncangan dan mundur, sedangkan yang 2 orang berkata, "Maju!"  Oleh karena perbedaan pendapat maka timbullah polemik, yang  bahkan  menyebabkan 2 orang ini hampir dilempari dengan batu.  Seandainya kejaiannya ada di gereja dan dilakukan voting, maka orang-orang Israel itu tidak akan pernah masuk ke Tanah Perjanjian. Tetapi untunglah cerita kita tadi tidak berbicara tentang voting yang seperti itu.  Dua  orang : Kaleb dan Yosua itu terus meyakinkan orang Israel untuk masuk ke Kanaan, meskipun nyawa mereka menjadi taruhannya. Ketika orang-orang  hendak  melempari Kaleb dan Yosua dengan batu, ketika  itu  pula Tuhan menunjukkan kemuliaan-Nya, sehingga semua orang mengakui bahwa memang mereka harus maju.

  Apa yang membuat Kaleb dan Yosua ini menjadi orang yang berani mengambil resiko itu?  Ada dua hal :  yang pertama  adalah kesabaran.  Mereka tahu bahwa mereka telah berkeliling sekian tahun untuk masuk ke Tanah Perjanjian. Merekapun  tahu serta ingat dengan baik bahwa Allah sudah memimpin mereka selama sekian tahun itu. Itu yang memberi makanan dan  memberi kekuatan pada kesabaran mereka. Kesabaran yang dibentuk oleh ingatan yang kuat bahwa tidak mungkin  Tuhan yang selama ini sudah memimpin dan menyatakan banyak mukjizat, hanya bertujuan untuk membuat mereka menyetorkan nyawa kepada bangsa lain.  Mereka  ingat sekali  akan perbuatan Allah di masa lalu,  dan ingatan itu membentuk kesabaran mereka. 

Biasanya pergumulan dan permasalahan senantiasa membuat mata kita hanya melihat pada saat ini atau mungkin pada masa depan yang penuh kekuatiran.  Tetapi dengan kesabaran dan ketabahan yang dibentuk oleh ingatan kita akan pertolongan Tuhan, kita diajak melihat "ke belakang" "Saya sudah hidup sekian tahun; sudah sekian banyak berkat Tuhan yang saya terima.  Perbuatan-perbuatan Tuhan yang ajaib sudah pernah saya alami.  Saat-saat yang luar biasa bersama Tuhan sudah pernah saya alami."  Dengan mengingat semuanya itu, maka kita akan sabar di dalam kesesakan dan dalam  pergumulan yang ada saat ini.  Kita menjadi sadar Tuhan tidak mungkin meninggalkan kita. 

Jadi ketika kita lemah dan tergoncang di dalam benturan itu, lihatlah ke "belakang".  Lihat garis hidup kita di mana Allah telah berkarya memberikan berkat dan penyertaan-Nya. Lihat Allah yang telah membuat kita ada seperti sekarang ini.  Akankah Ia yang sudah menopang hidup kita selama ini, akan menjadi Ia yang meninggalkan dan melepaskan kita ?  Tidak mungkin, dan tidak akan terjadi mungkin!  Ia pasti sedang membuka jalan.

Hal kedua yang membuat Kaleb dan Yosua bertahan, adalah karena mereka memiliki pengharapan.  Mereka menyandarkan diri  pada harapan bahwa sebentar lagi mereka masuk ke dalam Tanah Kanaan. Tuhan memenuhi janji-Nya kepada mereka dan mereka melihat janji Allah membuahkan hasil yang memuaskan, setara dengan upaya mereka bertahan di dalam goncangan.  Bukankah  memang harapan itu yang kita butuhkan di dalam hidup ini.  Keyakinan bahwa ada sesuatu yang kita nantikan di masa depan.  Ada Tuhan yang tidak buta dan tidak tuli; ada Tuhan yang maha melihat dan maha mendengar dan Ia akan melakukan sesuatu. Harapan  semacam ini akan memberikan kekuatan yang luar biasa bagi kita untuk tetap bertahan meskipun situasi mencekam dan menekan kita.

Ketika manusia kehilangan harapan, ia  sebenarnya sudah kehilangan semuanya.  Mengapa banyak orang mengakhiri hidupnya?  Mengapa orang memutuskan untuk lari meninggalkan Tuhan? Karena mereka kehilangan harapan. Mereka sudah tidak lagi berani berharap atau sudah tidak berani lagi menaruh harapannya kepada Tuhan.  Padahal Ia sungguh layak  dipercaya dan dapat disandari.  Pengharapan kita pada Tuhan  yang maha tahu dan maha melihat itu tidak akan pernah mengecewakan. 

Ketika goncangan-goncangan hidup terjadi seperti gelombang-gelombang yang menyerang perahum, jangan menyerah! Jangan lari. Jangan kecewa. Jangan menyalahkan sesama.  Terlebih lagi, jangan menyalahkan Tuhan.  Sebaliknya,  yakinlah bahwa ini bagian dari program Allah utnuk memperkuat iman kita. Allah menantikan kita untuk melalui saat itu, sehingga iman kita bertumbuh dan pengetahuan kita tentang Allah direntangkan. Pengalaman hidup kita bersama Allah akan diperkaya dan itu yang akan membentuk kehidupan kita dan yang akan membuat kita tangguh di dalam kehidupan ini. Untuk mencapai itu kita betul-betul  memerlukan kesabaran dan harapan.

Kita boleh kehilangan semuanya di dalam hidup ini. Kita boleh mengalami beban yang luar biasa beratnya. Kita boleh memiliki pergumulan yang tak kunjung selesai tanpa jalan keluar,  tetapi jangan pernah kehilangan kesabaran dan harapan.  Ketika iman berbenturandengan kenyataan, biarlah kesabaran dan pengharapan menopang hidup kita.

No comments: