Thursday, November 30, 2006

Natal : Ketika Allah Menyapa (Luk 2:8-20)

Pendahuluan

Natal adalah peringatan rutin tiap tahun, yang berpotensi menjadi rutinitas tanpa makna.  Untuk menjaga agar peringatan dan perayaan ini senantiasa "berbicara" kepada hidup kita, maka kita harus kembali menghayati makna Natal.  Berita tentang makna Natal haruslah menjadi pusat dalam setiap ibadah Natal.  Natal pada hakekatnya adalah sapaan Allah kepada manusia.

 

Proposisi

Natal adalah tanda bahwa Allah berkenan untuk menyapa hidup manusia.

 

Kalimat tanya

Mengapa Allah berkenan untuk menyapa hidup manusia?

 

Kalimat Peralihan

Ada dua tujuan Allah ketika menyapa manusia melalui Natal

 

1. Melalui Natal, Allah menunjukan perhatiannya kepada manusia yang tersisihkan (ay.8-14).

 

Pada malam Natal yang pertama ini, berita Natal pertama kali datang kepada para gembala.  Lebih luar biasa lagi, berita itu disampaikan langsung oleh para malaikat.  Gembala bukanlah pekerjaan yang terhormat pada waktu itu.  Pekerjaan sebagai gembala menyebabkan mereka harus hidup mengembara di padang, terpisah secara sosial dengan orang lain.  Bagi pemuka agama pun, gembala dipandang sebagai orang yang mengabaikan banyak tuntutan agama, karena tuntutan pekerjaan mereka.  Jadi, gembala adalah kelompok manusia yang terpinggirkan dan tersisihkan dari sesamanya.  Tetapi, justru kelompok inilah yang pertama tama mendapatkan perhatian Allah.  Inilah Natal : sapaan bagi yang tersisihkan.  Maka pertanyaan penting ketika kita merayakan Natal adalah apakah perayaan kita menyapa mereka yang tersisihkan?

 

2. Melalui Natal, Allah menaburkan benih kebahagiaan  yang sejati di dalam hidup manusia (ay.20).

 

Setelah para gembala menemukan Yesus yang telah dilahirkan, ada sesuatu yang berubah di dalam diri mereka. Ay. 20 menegaskan bahwa para gembala tersebut memuji dan memuliakan Allah.  Inilah perubahan yang terjadi ketika para gembala berjumpa dengan Yesus.  Ada sukacita dan kebahagiaan yang bersemi di hati, sebagai respons terhadap kepedulian Allah bagi hidup mereka.  Inilah Natal itu : berseminya kebahagiaan yang sejati di dalam hati, sebagai akibat dari kepedulian Allah terhadap manusia.  Maka pertanyaan penting ketika kita merayakan Natal adalah apakah perayaan kita berhasil menjadi sarana penaburan benih kebahagiaan yang sejati, atau hanya sekedar keramaian yang tanpa makna?

 

Kesimpulan 

Apakah Anda merasakan sapaan Allah pada Natal tahun ini?  Sapaan Allah yang menyatakan kepeduliannya, dan sapaan Allah yang menaburkan benih sukacita yang sejati.  Semoga Anda merasakannya.

Wednesday, November 29, 2006

Mencari yang Terbaik dan Termudah

Tikus-tikus yang menghuni sebuah rumah besar sedang berkumpul untuk membicarakan nasib mereka. Beberapa rekan mereka telah menjadi santapan seekor Kucing yang baru saja hadir di dalam rumah itu. Tikus-tikus itu menjadi gelisah dan takut kalau-kalau tiba giliran mereka. Pemimpin para Tikus itu berkata,” Mari kita diskusikan masalah ini. Kita cari jalan keluar yang terbaik.” Beberapa jam kemudian, tikus-tikus itu terlibat dalam diskusi yang seru. Pelbagai analisis dipaparkan, tetapi tetap saja tidak ada usulan yang menyakinkan.

Kemudian berdirilah seekor tikus muda, dengan penuh semangat ia berkata,” Bukankah masalah kita yang terutama dengan kucing itu adalah gerakannya yang tanpa suara? Begitu cepat menangkap dan memangsa kita?” Tikus muda itu menegaskan lagi,” Benarkan seperti ini?” ”Ya, memang itu masalahnya,” sahut tikus-tikus lain. ”Kalau begitu, mari kita lakukan sesuatu pada Kucing itu, supaya bila ia bergerak, kita bisa melarikan diri,” lanjutnya. ”Apa yang harus kita lakukan?” tanya tikus-tikus lain. Tikus muda itu dengan serius dan penuh percaya diri berkata,” Ayo kita kalungkan sebuah pita dengan bel kecil di leher kucing itu. Dengan begitu, kalau ia bergerak, kita bisa lari lebih cepat. Nyawa kita selamat. Kalau Kucing itu sedang jalan-jalan ke luar rumah, kita pun tahu sehingga bisa istirahat. Setuju?” Terpesona oleh kata-kata yang menyakinkan itu, tikus-tikus lain pun menjawab,” Setuju!” ”Ayo kita berpesta karena masalah ini sudah selesai,” ajak Tikus muda itu.

Akhirnya, mereka larut dalam nyanyian dan tari-tarian, karena mereka merasa sudah menyelesaikan masalah yang ada. Tiba-tiba, seekor tikus tua memukul-mukul meja meminta perhatian. Tikus-tikus pun menoleh dengan wajah tidak senang, tapi Tikus tua itu segera berkata lirih,” Usul untuk mengalungkan pita dengan bel kecil ke leher Kucing adalah gagasan yang baik. Tapi, siapa di antara kita yang bersedia dan berani mengalungkan pita dan bel kecil itu?” Terkejut dengan perkataan itu, Tikus-tikus itu pun saling menoleh dan kemudian menunjuk teman di sebelahnya yang segera disambut dengan gelengan kepala. Mereka akhirnya memandang Tikus muda sang pemberi usul. Tikus muda itu pun juga hanya menggelengkan kepala.


Dalam menyelesaikan masalah, gagasan yang terbaik seringkali tidak pernah mudah. Gagasan yang mudah seringkali bukanlah jalan yang terbaik. Begitulah salah satu kisah dari Aesop di atas mengingatkan kita. Aesop menulis kisah-kisahnya kira-kira pada abad 6 SM, tetapi mengapa masih relevan hingga ratusan bahkan ribuan tahun kemudian, bahkan sampai masa kini? Apakah ini tandanya sebagai manusia kita terus menginginkan yang terbaik dengan jalan yang termudah?

Tuesday, November 28, 2006

Tidak Berjuang Sendirian Melawan Dosa

Problem tentang dosa diselesaikan dalam gereja.  Orang Kristen yang berjuang melawan daging, dunia dan Iblis tidak berjuang sendirian, bahkan dalam kasus dosa pribadi sekalipun.  Ia berjuang sebagai anggota balatentara Tuhan, gereja yang militan dan di dalam gerejalah setiap kita menemukan sumber-sumber bantuan untuk berjuang dengan baik....
 
Sebaliknya, setiap dosa yang dilakukan, sekalipun bersifat sangat pribadi, bukan sekedar dosa saya menentang Allah, melainkan juga dosa saya menentang gereja.  Seseorang yang melawan infeksi terkena infeksi sebagai anggota tubuh.  Bagi orang Kristen, tidak ada dosa yang bersifat pribadi semata-mata.
 
Simon Chan dalam Spiritual Theology
 
 

Monday, November 27, 2006

Manusia di Mata Joseph Stalin

Joseph Stalin adalah salah seorang pemimpin terbesar dan paling sering menumpahkan darah dalam sejarah. Stalin memerintah selama 25 tahun dalam sejarah Rusia. Ia disegani baik oleh kawan maupun lawannya. Dalam masa pemerintahannya, ribuan bahkan puluhan ribu orang menemui ajal ketika dicurigai memberontak kepadanya.

Suatu kali di hadapan anak-anak buahnya, ia meminta disediakan seeokor ayam hidup. Stalin kemudian mencengkram ayam itu dengan tangan kirinya, dan mulai mencabuti bulu ayam itu dengan tangan kanannya. Ayam itu tentu saja meronta-ronta, tetapi Stalin terus saja mencabuti bulu-bulunya. Setelah cukup banyak bulu tercabuti, dan beberapa tetesan darah keluar dari ayam itu, Stalin melepaskannya. Ayam itu segera lari menjauh dari Stalin ke pojok ruangan.

"Sekarang kalian perhatikan," perintah Stalin ke anak-anak buahnya. Ia meletakkan beberapa butir remah roti di dekat ayam itu. Meski terlihat ragu-ragu, ayam itu mulai mematuk remah-remah roti tersebut. Mengherankan, ayam yang tadinya ketakutan kita mulai berani mendekati kaki Stalin. Stalin berjalan keliling ruangan itu sambil menjatuhkan remah-remah roti dan ternyata ayam itu mengikutinya. Sambil melakukan itu, Stalin berkata,"Inilah caranya memerintah orang. Kalian melihat bagaimana ayam itu berjalan mengikutiku meminta pakan, meski saya baru saja menyiksanya. Orang itu seperti ayam. Jika engkau menimbulkan banyak sekali kepedihan kepada mereka, mereka akan mengikutimu untuk meminta pangan seumur hidupmu."

Cara pandang kita terhadap orang lain, ternyata menentukan perilaku kita terhadapnya. Tidak mengherankan apabila pemazmur mengingatkan kita betapa mulianya manusia dengan berkata," Engkau telah membuatnya (manusia) seperti Allah ... " (8:5). Dan tentunya pemazmur berharap kita memperlakukan sesuatu yang mulia, dengan cara yang mulia juga.


Saturday, November 25, 2006

Ucapan Bahagia bagi Masyarakat yang Egois

1. Bergembiralah orang yang ambisius, karena mereka akan maju terus di dunia ini. 2. Bergembiralah orang yang keras kepala, karena mereka tidak pernah membiarkan hidup ini menyakiti mereka. 3. Bergembiralah mereka yang suka mengeluh, karena pada akhirnya mereka mendapatkan apa yang mereka mau. 4. Bergembiralah mereka yang masa bodoh, karena mereka tidak pernah dipusingkan dengan dosa-dosa mereka. 5. Bergembiralah mereka yang tukang perintah, karena mereka akan mendapatkan hasil. 6. Bergembiralah mereka yang berpengetahuan tinggi di dalam dunia ini, karena mereka tahu mau kemana. 7. Bergembiralah orang yang suka mencari masalah, karena mereka akan membuat orang memperhatikan mereka.

JB Philips seperti dikutip dalam Charles Swindoll "Improving Your Serve"

Friday, November 24, 2006

Virus-virus yang Menyerang Komsel

Rabu yang lalu, seperti biasa saya on air di Bahtera Yudha 96,4 FM Surabaya. Di acara talkshow pelangi dengan host Gideon yang kocak, kami bicara tentang Komsel alias Komunitas Sel. Talkshow sebenarnya juga adalah salah satu bentuk khotbah juga. Hanya saja lebih interaktif sifatnya. Perbincangan kami menjadi lebih holistik dengan perspektif psikologi dari Jeng Onne Aquari.

Komsel memang lagi mengalami booming di gereja-gereja di Indonesia. Nyaris tidak ada gereja yang tidak mempunyai komunitas sel. Ada yang memakai nama kelompok tumbuh bersama (KTB), kelompok pemuridan atau nama-nama lain. Yang jelas poinnya sama. Komsel adalah tempat pembinaan dengan jumlah peserta yang biasanya berkisar antara 7 sd 12 orang. Acaranya biasanya berkisar nyanyi, belajar firman, dan sharing. Memang, menurut pakar pertumbuhan gereja Christian A. Schwarz Komsel adalah salah satu penopang dalam kesehatan dan pertumbuhan gereja. Gereja-gereja yang mengalami pertumbuhan fantastis sebagian besar didukung dengan berkembangnya bahkan meledaknya jumlah komsel.

Tetapi ternyata komsel juga tidak lepas dari serangan virus-virus yang akan melumpuhkannya. Mungkin komselnya sendiri tidak sampai bubar, tetapi menjadi tidak efektif lagi. Dari beberapa penelpon yang masuk, ternyata mayoritas menyatakan bahwa perkara cinta menjadi masalah yang buat komsel jadi ngga nyaman lagi. Bahkan ada komsel yang pecah karena ada perebutan cinta di dalamnya. Inilah problem yang tak terhindarkan kalau komsel itu terdiri atas pria dan wanita. Dari pengalaman dan pengamatan, kalau kita akan membentuk komsel, kita harus ingat perintah pertama dari 10 hukum komsel versi saya " Jangan ada pada komselmu pria dan wanita". Jauh lebih aman dan nyaman kalau komsel itu anggotanya sejenis. Aman karena ga mungkin ada yang saling jatuh cinta kalau sejenis (tapi bisa juga ga aman ya kalau ada yang punya "kelainan"), nyaman karena tiap gender pasti punya pergumulan yang khas, dan sulit dipahami gender lain.

Dalam acara talkshow on air itu, kami mendeteksi ada beberapa virus yang sangat berbahaya bagi komsel.

Pertama, virus kesombongan. Virus ini mengakibatkan anggota komsel mempunyai mental guru dan bukan murid. Merasa lebih rohani dari anggota-anggota lain, selalu ingin mengajar dan tidak pernah mau belajar, banyak cerita tentang hal-hal spektakuler demi pengakuan adalah ciri-ciri orang yang telah terserang virus kesombongan. Kalau ini terjadi, pasti suasana komsel jadi ngga nyaman. Karena komsel khan mestinya jadi ajang saling belajar dan bertumbuh bersama. Biasanya mereka yang menjadi sasaran empuk virus ini adalah jenis manusia yang sedang menutupi sesuatu dari hidup mereka. Menutupi kekurangan dengan membesar-besarkan diri. Lebih payah lagi kalau justru pemimpin Komsel yang terkena virus ini. Kadangkala kesombongan ini dirasionalisasikan dengan jabatan ketua. Tetapi sebenarnya bukankah menjadi ketua dengan segala kelebihan tidak berarti punya hak untuk sombong? Bukankah Yesus Kristus telah memberi contoh tentang kepemimpinan yang sejati. Pemimpin yang pelayan.

Virus kedua yang tak kalah bahayanya adalah dusta. Dusta berarti mengatakan bukan yang sebenarnya. Kalau virus ini menyerang anggota komsel, wah repot deh. Para anggota jadi membesar-besarkan diri. Cerita tentang pengalaman supranatural yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Kenapa bisa jadi begini? Virus dusta ini sangat berpotensi menyerang mereka yang rindu mendapatkan pengakuan. Rada mirip dengan virus yang pertama dan memang seringkali jadi satu paket seperti flu dan sakit kepala. Di sisi lain, virus ini juga kadangkala menyerang mereka yang rindu banget mendapatkan perhatian. Ada yang sampai mengarang cerita palsu, supaya dikasihani dan diberi bantuan keuangan oleh anggota komsel lainnya. Nah, kalau sudah ada dusta di antara kita, mengapa mempertahankan sebuah komsel?

Virus yang ketiga yang tak kalah berbahaya adalah tidak sanggup menjaga rahasia. Alias bocor mulut atau ember. Mestinya apa yang disharekan dalam komsel khan rahasia antar anggota saja? Tapi kadangkala jadi nyebar kesana kemari. Alasannya sih mungkin terdengar rohani : jadi pokok doa, tapi intinya ya sami mawon jadi bahan gosip. Parahnya lagi, kalau virus ini menyerang salah seorang anggota komsel saja, maka anggota-anggota lain akan terkena dampaknya secara langsung. Anggota-anggota lain itu menjadi enggan bercerita dari hati. Akibatnya relasi dalam komsel menjadi kering dan datar. Tidak ada semangat berbagi hidup.

So, apa yang harus dilakukan setiap komsel untuk membentengi diri dari virus kesombongan, dusta, dan bocor mulut? Tidak ada jalan lain : komitmen. Ya, komitmen dari tiap anggota untuk menjaga sikap rendah hati. Kerendahan hati akan menjaga diri kita dari kesombongan. Kerendahan hati akan menyebabkan kita tampil apa adanya, dan tidak ada keinginan untuk berbohong. Kerendahan hati jugalah yang akan membuat kita tetap sadar diri bahwa kita tidak lebih baik dari orang lain, dan oleh karena itu kita jaga rahasia pergumulan orang lain. Karena itu, mari setiap anggota komsel belajar menjaga kerendahan hati dari sang Guru Agung : Yesus Kristus.

Thursday, November 23, 2006

Peranan Tuhan dalam Pengambilan Keputusan (Yos 9:3-21)

Entah kita sadar atau tidak, bisa menerima atau tidak,  sebenarnya kehidupan yang kita jalani saat ini  merupakan hasil dari keputusan atau rangkaian keputusan yang pernah kita ambil di masa lalu. Mungkin itu hasil keputusan  satu atau dua hari yang lalu, satu atau dua bulan yang lalu, satu atau dua tahun yang lalu, sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu.   Jika kita mengeluh mengapa hidup kita  seperti ini?  Mengapa kita sekarang mengalami saat yang tidak menyenangkan ini?  Sebenarnya kita harus menyadari bahwa yang kita alami mungkin merupakan hasil kekeliruan yang terjadi  di masa lalu – bukan di sini dan saat ini -  sewaktu kita mengambil suatu keputusan.

 

Sayangnya,  kita tidak bisa kembali ke masa lalu itu untuk memperbaiki semua keputusan  keliru yang pernah kita ambil.  Dengan berlalunya waktu, penyesalan karena masa lalu merupakan hal yang tidak bisa kita hindari.  Tetapi masih ada yang  bisa kita lakukan  di sini dan sekarang, yaitu kita harus bertindak hati-hati karena kita masih memiliki masa depan.  Pertimbangan baik-baik bahwa keputusan yang kita ambil  saat ini akan mempengaruhi  kehidupan di masa depan  kita.

 

Bacaan dalam Yosua 9:3-21 berbicara tentang pengambilan keputusan oleh bangsa Israel yang  ternyata keliru. Kita bersyukur karena Alkitab dengan jujur menggambarkan dinamika di dalam kehidupan anak Tuhan. Tidak hanya ada berkat dan kemenangan saja,  tetapi ada juga kegagalan, kesalahan dan kekeliruan dalam mengambil keputusan. Kita dihadapkan bukan dengan teladan umat Israel yang sempurna saja, tetapi contoh umat Israel yang juga pernah jatuh.  Umat Israel juga penuh dengan kelemahan sama seperti kita. Dengan demikian  kita bisa bercermin dan belajar sesuatu dari pengalaman mereka.

 

Menurut perspektif saya, ada 2 hal yang bisa kita perhatikan dalam Yosua 9:3-21. Pertama, bagian ini  menunjukkan bahwa  sebagai umat-Nya, kita terpanggil untuk melibatkan Tuhan di dalam setiap pengambilan keputusan yang kita lakukan. Ayat ke 14 dengan jelas menyebutkan kesalahan orang Israel. Mereka tidak dikatakan kurang cermat, kurang hebat atau cara berinvestigasinya kurang tepat;  tetapi dengan tegas dikatakan, "Lalu orang-orang Isarel mengambil bekal orang-orang itu tetapi tidak mengambil keputusan Tuhan"  Kesalahan mereka  jelas, yaitu tidak melibatkan Tuhan di dalam pengambilan keputusan. Apa yang mereka lakukan hanyalah berdasarkan  apa yang mereka lihat, apa yang mereka pikirkan, dan apa yang mereka analisis. Mereka menganggap apa yang mereka lakukan itu bisa diandalkan, karenanya mereka melakukannya dengan mengabaikan Tuhan. Mereka mengambil keputusan semata-mata dan mutlak berdasarkan apa yang logis, rasional dan masuk akal. Rasio, pikiran dan kemampuan kita ada batasnya karena diri kita ini memang terbatas.  Oleh karena itu berhati-hatilah kalau  secara mutlak kita mengandalkan diri kepada rasio dan pengalaman.  Hati-hati ada sesuatu yang terjadi di luar dugaan kita; hal-hal yang tidak kita pikirkan tetapi sebenarnya sedang terjadi.

 

Perhatikan kata  "mutlak" yang saya pakai; saya tidak hendak mengatakan bahwa rasio dan pikiran tidak bagus digunakan,  tetapi yang hendak saya katakan adalah bahwa kemampuan rasio dan pikiran kita terbatas sehingga kita tidak boleh bersandar "mutlak" kepadanya. Apabila kita sadar bahwa rasio dan pikiran kita itu ada batasnya, dan sadar betapa kecilnya kita sebagai manusia di hadapan Tuhan, otomatis kita akan membuka diri  supaya Tuhan memimpin rasio dan pikiran kita.

 

Tuhan ingin memimpin kita dalam mengambil keputusan. Tetapi kapankah kita melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan?  Yang biasa terjadi adalah kita sudah berpikir dan sudah menganalisis semua data yang ada di tangan kita  sampai akhirnya kita  mendapati diri kita tidak mampu lagi, sudah  jenuh dan menemui jalan buntu;  barulah  kemudian kita datang : " Ya, Tuhan,  tolonglah saya!"  Ini berarti jika  dengan rasio dan pikiran,  kita bisa menemukan jalan keluar, maka kita tidak akan bertekuklutut. Kita tidak akan berteriak minta tolong kepada Tuhan. Kita baru menempatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan hanya saat kita mendapati bahwa pikiran kita telah berhenti menemukan jalan. Jadi,  Tuhan memang dilibatkan tetapi sudah  di tengah-tengah perjalanan. Betapa seringnya kita memperlakukan Tuhan seperti ban cadangan  mobil yang tidak pernah kita lirik ketika semuanya lancar. Ban cadangan dipakai hanya saat diperlukan untuk mengganti yang bocor di tengan perjalanan. Kalau rencana, pikiran, dan prediksi kita sendiri menjadi kenyataan, kita tidak pernah berbicara tentang Tuhan. Tetapi bila ada sesuatu yang terjadi di tengah perjalanan hidup kita, dan kita menemukan bahwa pikiran kita terbatas, maka mulailah kita  minta tolong kepada Tuhan. 

 

Jelas Tuhan tidak mau diperlakukan seperti itu. Tuhan mau dilibatkan sejak awal, mulai dari mengumpulkan hingga  mengolah data tersebut dalam proses berpikir kita, sehingga Ia bisa membimbing dan memberi kita hikmat dalam  mengambil keputusan yang benar.  Namun, melibatkan Tuhan di dalam pengambilan keputusan sejak awal bukan berarti kita melakukan sebuah ekstrem yang lain, yaitu :  "Sudah, tak usah dipikir-pikir. Tak usah dianalisis. Kita tak mau pikiran manusia; kita mau pikiran Tuhan saja. Jadi kita berdoa, dan bertanya kepada Tuhan!" Ekstrem yang satu berkata : "Andalkan akal budimu; kepintaranmu bisa menyelesaikannya bagimu".  Ekstrem yang lain berkata :  "Rasio dan  pikiranmu tidak berguna. Tinggalkan rasiomu dan bertanyalah kepada Tuhan."   Bukannya saya tidak percaya bahwa Tuhan bisa menjawab dan berbicara kepada kita. Yang ingin saya katakan adalah bahwa  seringkali kita melakukan sesuatu yang kelihatannya rohani, seperti misalnya berdoa minta jawaban Tuhan, tetapi  sebenarnya itu merupakan kemalasan kita dalam menggunakan akal budi yang Tuhan berikan kepada kita. 

 

Suatu kali seseorang menelepon saya dan berkata, "Pak,  tolong saya! Dalam 15 waktu menit, saya harus bisa membuat  keputusan untuk sebuah transaksi. Ya atau tidak? Tolong,  Pak, tanyakan kepada Tuhan".  Saya cuma diberi waktu 15 menit untuk bertanya kepada Tuhan! Mungkin orang ini berpikir saya bisa seenaknya memerintah Tuhan! Waktu saya katakan kepada orang ini bahwa waktunya terlalu singkat, ia berkata, "Lho, Bapak 'kan hamba Tuhan!  Bapak deket sama Tuhan. 15 menit ya, Pak, atau mungkin  bisa lebih singkat?  10 menit saja?  10 menit lagi saya akan telepon Bapak, dan saya sudah harus mendapat jawaban dari Tuhan" 

 

Apakah sebabnya orang itu melakukan hal ini? Karena ia tidak mau bergumul. Karena ia tidak mau mempergunakan rasio dan akal budi yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia inginnya serba cepat, serba gampang, serba ambil jalan pintas. Ia tidak mau melibatkan Tuhan dan hanya menginginkan jawaban Tuhan saja. Jika ia datang kepada Tuhan, maka ia akan berkata, "Tuhan, jawablah saya!"  Tuhan diam. Ia berkata lagi, "Tuhan tolonglah saya".  Tidak ada jawaban dari Tuhan.  Karena Tuhan terus berdiam diri, maka ia  berpikir, "Kalau hamba Tuhan pasti lain. Kalau saya memohon selama 15 jam pun, Tuhan tidak bersuara.  Tapi dengan Pak Wahyu, dalam waktu 15 menitpun Tuhan sudah berbicara".  Maka ia menelepon saya, dan meminta jawaban Tuhan melalui saya.  Tentu saya akan berpikir seribu kali untuk menjawabnya. Kalau  saya melakukan apa yang dikehendaki orang itu, pertama artinya saya mendidik orang tersebut untuk tidak bergumul di hadapan Tuhan.  Ia  tidak akan mendayagunakan akal budinya, tidak akan berdoa, dan tidak akan bergumul sendiri. Ia akan langsung minta keputusan Tuhan melalui saya. Kedua, jika saya menuruti kehendaknya, maka  makin lama orang itu makin dekat kepada saya bukannya kepada Tuhan. Ia akan berpikir, "Telepon Pak Wahyu saja. Pasti beres." 

 

Tetapi toh orang menyukai cara seperti itu. Mengapa?  Karena ada tuntutan untuk melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan, padahal orang sering malas bergumul, maka biarlah hamba-hamba Tuhan itu yang bergumul untuknya. Alkitab tidak memuat cerita seperti itu dan saya juga tidak akan melakukan hal seperti itu.  Jika saya melakukannya berarti saya memanjakan jemaat saya dan mendorong mereka untuk tidak mau bergumul sendiri di hadapan Tuhan.   Berdoa tidaklah salah. Meminta jawaban Tuhan tidaklah salah.  Tetapi jangan itu menjadi alasan untuk menutupi yang sebenarnya yaitu  kemalasan berpikir dan kemalasan menganalisis. 

 

Dalam bahasan ini kita menemukan 2 jebakan. Pertama, adalah sikap skeptis terhadap campur tangan Tuhan dan ingin menggunakan pikiran sebaik-baiknya.  Kedua, adalah sikap yang menutupi kemalasan dalam menggunakan akal budi dengan berdoa saja.  Bukannya saya merendahkan kemampuan doa, tetapi sebaliknya doa sangat direndahkan apabila hanya dijadikan sebagai sarana untuk  melarikan diri dari kemalasan berpikir.  Doa amat sangat direndahkan kalau itu hanya sebuah label bertuliskan "Ini jawaban Tuhan", padahal yang dilakukan adalah kata hati kita sendiri.  Suara hati dianggap suara Tuhan. Apa yang terlintas di dalam pikiran dianggap pikiran Tuhan. 

 

Ada sebuah kisah sejati dan tokoh di dalam kisah ini setuju jika saya memakai pengalamannya sebagai sebuah ilustrasi. Ada seorang pebisnis yang hendak mengambil keputusan untuk sebuah transaksi yang nilainya sangat besar.  Pikirannya dan analisis bisnisnya mengatakan bahwa transaksi ini hasilnya tidak menguntungkan. Tetapi ketika ia datang ke gereja dan mendengar apa yang  diajarkan, yaitu "Jangan mengandalkan pikiran manusia. Andalkan pikiran Tuhan. Berdoalah!"  Maka ia berdoa.  Ia mendengar hatinya berkata: "lakukan!" Tanpa pikir panjang  ia mengangap suara hatinya adalah suara Tuhan. Ia mempunyai 2 pilihan :  mau mengikuti pertimbangan akal budinya atau kata hatinya yang menurutnya waktu itu suara Tuhan. Ia memilih yang kedua, karena merasa Tuhan berbicara kepadanya. Satu tahun berlalu, dan transaksi tersebut menunjukkan hasil yang merugikan.  Dalam hal ini siapakah yang bersalah sebenarnya? Dulu dengan yakin ia berkata, "Ini suara Tuhan.  Pasti untung."  Ternyata Tuhan berkata lain.  Karena itu jika kita berdoa hendaknya kita bergumul sungguh-sungguh dan tidak boleh kita melupakan satu hal yaitu tetap menggunakan akal sehat.  Menggunakan akal sehat juga berarti menghargai pemberian Tuhan.  Kita menghargai Tuhan lewat kemauan kita untuk melibatkan Tuhan sejak awal, sejak kita mulai berpikir,  menganalisis dan mempergumulkannya dalam firman-Nya. Kita memohon supaya kita bisa mengambil keputusan sesuai dengan kehendak-Nya.  Jangan ada seorangpun di antara kita yang jatuh pada salah satu di antara dua ekstrem : mutlak mengandalkan akal budi atau  malas menggunakan akal budi dan membalutnya dengan kata-kata rohani: yang penting berdoa saja. 

 

Melibatkan Tuhan di dalam pengambilan keputusan itu dimulai dengan kesadaran bahwa kita terbatas dan lemah sedangkan Tuhan tidak terbatas. Dan pergumulan untuk melibatkan Tuhan itu tidak terjadi dalam 5 menit berdoa, tetapi mungkin bahkan merupakan perjalanan hidup yang terus menerus. Dengan bergumul maka kita sudah bertanggung jawab di hadapan Tuhan, dan setiap keputusan yang kita ambil, bisa kita aminkan karena kita sudah melibatkan Tuhan dari awal.  Jangan tergoda untuk mencari jalan pintas dengan cepat.  Jangan menempatkan hamba Tuhan  pada posisi yang telah saya ceritakan tadi. Tuhan bukanlah tetangga sebelah rumah atau seorang pembantu yang bisa kita perintah seenaknya. Masing-masing bergumul dan itu memang menuntut waktu, perhatian dan tenaga kita. Tidak terhitung betapa banyaknya saya menjumpai kasus yang seperti itu.  Misalnya, "Mengapa menikah dengan orang itu dulu?" Jawaban yang tak asing adalah,  "Habis gimana, Pak.  katanya hamba Tuhan itu  melihat dalam penglihatan bahwa ialah suami saya. Masak saya berani melawan Tuhan?"  Memang betul kita tidak berani melawan Tuhan. Tetap dalam kasus tadi apakah yang bersangkutan sudah bergumul? Ataukah ia  menyerahkan pergumulan itu kepada orang lain sepenuhnya? Apa lagi dengan dibalut kata-kata rohani yang dipercayai begitu saja. Bukannya saya tidak percaya bahwa Tuhan bisa berbicara seperti itu karena saya juga pernah mengalaminya,  tetapi itu bukan pengganti dari kemalasana untuk bergumul dan melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan.  Tuhan bukanlah pemadam kebakaran, yang  harus segera datang menolong dalam keadaan darurat dan tidak boleh  ditunda .

 

Setelah kita diajak untuk melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan; sebagai umat Tuhan kita dilatih untuk siap menerima konsekuensi dari keputusan kita.  Setelah mengambil keputusan, orang Israel  akhirnya mengetahui bahwa mereka ditipu. Bagaimana jika itu terjadi pada kita? Sesudah mengambil suatu keputusan, kita merasa sakit karena ternyata kita tertipu. Kita merasa menyesal dan dalam keadaan menyesal, biasanya orang menjadi agak mata gelap. Orang Israel juga  merasa kesal dan  marah, tetapi mereka sudah mengangkat sumpah di hadapan Tuhan dan berjanji bahwa bangsa Gibeon  tidak akan dihabiskan, tetapi akan dijadikan pembantu di rumah Tuhan.  Mereka tahu bahwa mereka telah salah dalam mengambil suatu keputusan, tetapi mereka bersikap konsisten dengan bersedia menerima konsekuensi dari keputusan salah itu dan tidak melakukan kesalahan yang lebih besar untuk menutupi kesalahan pertama ini. 

 

Jika kita sering menonton acara-acara kriminal di TV, kita akan menemukan cerita-cerita menyedihkan yang klise.  Misalnya cerita tentang bayi merah yang dibunuh oleh ibunya sendiri karena si ibu bingung akibat bayinya ini tidak berbapak.  Untuk menutupi kesalahan di masa lalu, ibu ini melakukan sebuah kesalahan yang lain karena tidak berani menanggung konsekuensi kesalahan yang pertama.  Logis jika kesalahan tidak dapat ditutup dengan kesalahan lain yang lebih kecil atau sama besar, tetapi harus ditutup dengan yang lebih besar.  Jika proses ini dibiarkan berjalan terus maka akan semakin hebat.  Ketika ditagih karena berhutang kecil, maka kita akan berhutang yang lebih besar sampai akhirnya kita merasa perlu merampok dan mengambil milik orang lain.   Umat Israel tidak begitu. Ketika mereka tahu mereka salah, mereka berhenti, mereka mengakui kesalahan itu dan mereka bersedia menerima konsekuensi dari kesalahan tersebut dan mereka tidak menyalahkan orang lain, mereka tidak menyalahkan Tuhan tetapi mereka sadar itu kesalahan mereka sendiri.

 

Hidup kita banyak digelisahkan oleh keputusan-keputusan yang sudah kita ambil. Biasanya kita bereaksi seperti salah satu ini : yang pertama, sadar kalu keputusan kita keliru, maka kita menyesal. Nyeselnya bagaimana? Tipe menyesal pertama: berandai-andai. "Seandainya dulu saya tidak menikah dengan ia.", "Seandainya dulu saya tidak pindah kerja",  dan lain-lain.  Kita hidup di masa kini tetapi pikiran kita hidup di masa lalu, dan terus berkata: seandainya, seandainya, seandainya... Hal ini tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya merupakan pelarian dari ketidaksanggupan kita dalam menerima konsekuensi. 

 

Tipe menyesal kedua: sadar bahwa kita telah mengambil keputusan salah, tetapi menyalahkan orang lain. "Ini kan gara-gara si itu dulu", "Ini kan gara-gara si ini dulu", atau "Itu kan gara-gara Tuhan.  Saya mengambil keputusan keliru, kok Tuhan tidak ingatkan?"  Saya ambil keputusan salah kok Tuhan tidak cegah?" Kadang-kadang kita menempatkan Tuhan pada posisi yang sulit seperti ini.  Kita tidak mau bergumul susah-susah,  pokoknya kita mau ambil jalan pintas. " Kalau keputusan saya salah, Tuhan yang akan mencegahnya.", "Kalau keputusan saya ternyata salah, Tuhan akan membuat kantornya tutup",  "Kalau ternyata keputusan saya salah, Tuhan akan menurunkan hujan"  Kemalasan kita bergumul menyebabkan kita menarik Tuhan dari tahta dan membuat-Nya duduk di kaki kita dan menjadi pengawas kita. Juga kita menyebabkan Tuhan menjadi terdakwa tunggal dari kesalahan kita: "Tuhan tidak mencegah lho, Pak! Mengapa  waktu saya akan melakukan keputusan yang salah yaitu pergi dengan isteri orang, kok Tuhan tidak mengirimkan petir dari surga? Padahal Tuhan tahu kalau saya salah, kok hotelnya tidak ambruk?"  Kita hanya ingin melemparkan kesalahan tersebut terus kepada Tuhan,  kepada orang lain, dan kepada situasi  karena tidak siap menerima konsekuensi dari perbuatan kita.

 

Tipe menyesal ketiga : kita menyalahkan diri.  "Saya memang yang salah." Kalau orang lain bertanya mengapa bisa jadi begini, jawabnya, "Saya yang salah"  Kita hidup di dalam penyesalan yang dalam, akhirnya kita putus asa dan memilih minum obat nyamuk atau melompat dari gedung yang tinggi dan  meninggalkan penyesalan.  Siapa di antara kita yang tidak pernah membuat keputsuan yang keliru?  Siapa di antara kita yang tidak pernah membuat keputusan yang ternyata di kemudian hari terbukti salah?  Kita ini semua adalah orang-orang yang pernah mengambil keputusan dan ternyata  itu adalah keputusan salah.

 

Jadi sebenarnya masalahnya memang bukan soal salah atau benar di masa lalu tetapi bagaimana sikap kita sekarang dalam menghadapinya?  Apakah kita akan menutupi kesalahan di masa lalu  dengan kesalahan yang lebih besar lagi?  Kalau orang menipu kita, kita akan balas dengan menipu anaknya, biar impas. Ataukah kita tipe orang yang selalu menyalahkan orang lain, menyalahkan diri kita sendiri, menyalahkan sekeliling kita atau bahkan menyalahkan Tuhan?  Orang Israel adalah orang yang sadar bahwa diri mereka  salah, lalu  berhenti.  Mereka tidak membuat kesalahan yang lebih besar dengan menutupi kesalahan mereka, tetapi  bersedia menerima konsekuensi dari kesalahan mereka.  Karena itu mereka tidak mengangkat pedang dan membunuh orang Gibeon. Sebaliknya, mereka melibatkan Tuhan. Demikian pula seharusnya dengan kita.  Kita mengakui kesalahan kita dan menjadikannya pelajaran yang paling berharga untuk masa depan.  Ketika salah mengambil keputusan, kita boleh kecewa terhadap diri kita dan orang lain boleh menertawakan kita dan bersuka cita atas kemalangan kita,  tetapi  meskipun kita telah melakukan kesalahan tangan Tuhan akan  terus ada di dalam hidup kita.  Seperti juga pengalaman orang Israel yang merasakan  tangan Tuhan itu tetap bekerja di dalam hidup mereka walaupun mereka telah berdosa di hadapan Tuhan.  Lewat keputusan yang salah ini, ratusan tahun kemudian, orang Gibeon yang dibiarkan hidup berasimilasi dengan orang Israel.  Dengan demikian akhirnya mereka terhisap masuk menjadi bagian dari Israel. 

 

Lihat betapa baiknya dan betapa murah hatinya Tuhan.  Bagi kita yang sudah salah mengambil keputusan, hendaknya kita menyadari bahwa penyesalan kita tidak akan dapat mengubah masa lalu, ataupun  mengubah keputussan yang sudah kita ambil.  Air mata kita, bahkan bunuh diripun,  tidak akan pernah bisa membalikkan keadaan.  Tetapi ada Tuhan  yang ternyata masih memegang tangan kita dan memegang jalan sejarah kita , bahkan saat  kita keliru mengambil keputusan.   Jadi masih ada harapan bagi orang-orang yang merasa sudah salah mengambil keputusan. Juga ada janji pemulihan bagi mereka yang berani berkata  bahwa mereka sudah keliru besar. 

 

Ketika saya berjumpa dengan mereka yang pernah gagal bunuh diri, saya melihat berbagai tipe reaksi mereka. Ada yang merasa tambah gagal karena melihat kenyataan bahwa hidup gagal, mau matipun gagal.  Saya menemukan seorang pemuda dengan kasus seperti ini yang  hanya bisa menangis dan menangis terus.  Sedangkan seorang pemuda lain dengan kasus yang sama masih bisa  mempunyai harapan.  Pemuda ini mengatakan, "Saya sudah tidak bisa apa-apa lagi, Pak. Saya sudah mengambil keputusan yang salah sehingga hidup saya hancur. Saya malu,  Pak.  Saya tidak tahu harus bagaimana lagi jika muncul di gereja dan orang menyebut nama saya  dengan  tambahan 'si X  yang minum ...  (disebut nama merek obat nyamuk)'" Tetapi sekarang saya menyaksikan Tuhan bekerja di dalam hidupnya.  Dari kesalahan dan keputusan yang paling buruk  yang pernah ia lakukan, Tuhan terus bekerja di dalam hidupnya  sehingga kini pemuda ini menjadi pendamping bagi pemuda-pemuda lain yang sudah hancur hidupnya dan bagi mereka yang berkata bahwa hidup mereka sudah tidak ada gunanya lagi.  Tuhan ternyata bisa membuat keputusan yang paling baik, dari keputusan manusia yang paling buruk.  

 

Ada kasus yang lain lagi. Seorang pemuda masuk rumah sakit karena berusaha menggunting urat nadinya sendiri  Di rumah sakitpun ia masih berusaha menusukkan garpu ke  nadinya. Ia tidak mau menerima tamu, tetapi ketika akhirnya saya diijinkan masuk, saya mengetahui bahwa ia merasa bersalah pada dirinya sendiri karena tidak berhati-hati menaiki sepeda motor. Akibatnya, kecelakaan berakibat fatal pada tubuhnya dan tidak mungkin disembuhkan. Ketika barang-barang yang dapat ia pakai untuk melukai dirinya dikeluarkan semua dari kamarnya, ia lalu membentur-benturkan kepalanya. Saya berkata,"Kamu memang sudah salah,  tetapi jangan melakukan kesalahan yang lebih besar lagi. Berhenti di sana dan akui kesalahan itu, lalu lakukan hal yang lebih baik lagi."  Tetapi ia menolak, dan  sampai sekarang ia masih terus mencoba menghancurkan dirinya. 

 

Janganlah kita seperti contoh yang terakhir ini. Kita yang pernah salah ambil keputusan, mari kita akui di hadapan Tuhan dan berhenti melakukan kesalahan yang lebih besar lagi.  Biarlah itu mendidik kita untuk lebih dewasa mengambil keputusan. Biarkan tangan Tuhan itu mengerjakan yang paling baik dari keputusan yang paling buruk sekalipun.  Janji firman Tuhan mengatakan, "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Ia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." (Roma 8:28)   Bukankah itu berarti bahwa bukan hanya dalam keberhasilan saja Tuhan mau bekerja di dalam hidup kita, tetapi juga di dalam kesalahan dan kegagalan kitapun ia mau mengupayakan yang paling baik.  Jangan hanya menyesali diri, tetapi akui kesalahan dan bertobat. Lihatlah tangan-Nya sedang bekerja atas kehidupan kita.

 

 

Wednesday, November 22, 2006

Memori Seperti Pasir

Memori manusia seperti pasir di samudra dalam pengalaman manusia.  Yang tertinggal ketika disapu gelombang adalah yang secara potensial paling sensitif.
 
Kiichi Fujiwara seperti dikutip dalam Kompas, 20 November 2007

Tuesday, November 21, 2006

Serving God

We serve God by serving other. The world defines greatness in terms of power, possessions, prestige, adn position. If you can demand service from other, you've arrived. In our self-serving culture with its me-first mentality, acting like a servant is not popular concept.

Rick Warren "Purpose Driven Life"

Monday, November 20, 2006

Mematahkan Belenggu Intimidasi (1Sam 17:1-11; 40-50)

Pendahuluan

Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan intimidasi sebagai  tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang lain berbuat sesuatu); gertakan atau ancaman. Orang-orang yang berada dalam keadaan terintimidasi merasa kehilangan kebebasannya untuk melakukan sesuatu.  Ada orang yang terintimidasi dengan lingkungan kerjanya yang tidak jujur, sehingga akhirnya ia berlaku tidak jujur juga.  Ada orang yang terintimidasi oleh rasa takut "tidak laku" sehingga menikah dengan sembarang orang.  Ada yang terintimidasi dengan rasa takut gagal, sehingga tidak pernah melakukan apapun.  Intimidasi menghalangi kita untuk meraih hidup yang terbaik.

 

Proposisi

Umat Tuhan mampu mematahkan belenggu imtimidasi, sehingga dapat menjalani kehidupan yang terbaik

 

Kalimat Tanya

Bagaimana cara umat Tuhan mematahkan belenggu intimidasi?

 

Kalimat Peralihan

Ada dua langkah untuk mematahkan belenggu imtimidasi.

 

1.  Umat Tuhan mematahkan belenggu intimidasi dengan berfokus pada Tuhan, dan bukan pada kekuatan intimidasi itu. (ay. 11)

 

Kehadiran Goliat menjadi sebuah intimidasi yang luar biasa bagi pasukan Israel.  Deskripsi keadaan fisik Goliat yang memang tidak biasa itu memang menakutkan.  Apalagi ketika Goliat tampil dan menantang mereka.  Selama 40 hari, orang Israel ketakutan, termasuk Saul, ketika mereka memandang Goliat dan mendengarkan teriakan tangtangannya.  Intimidasi selalu mengarahkan pandangan kita pada kekuatannya.  Kita seolah-olah dibuat menjadi tidak berdaya, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.  Jika intimidasi mengarahkan pandangan kita pada kekuatannya, maka untuk mematahkannya kita harus mengarahkan pandangan pada kekuatan Tuhan, dan bukan pada diri kita sendiri.

 

2.  Umat Tuhan mematahkan belenggu intimidasi dengan mengambil langkah iman, dan bukan hanya berdiam diri saja (ay.45)

 

Sebagai wujudnyata dari mengarahkan diri pada kekuatan Tuhan adalah mengambil langkah iman yang nyata. Daud mengambil langkah iman ini.  Dengan keyakinan bahwa Tuhan menyertainya, Ia maju menghadapi Goliat.  Langkah iman berarti keberanian menghadapi resiko bersama Tuhan.  Langkah iman berbeda dengan kenekadan.  Mereka yang nekad  hanya berbekal keberanian diri sendiri; langkah iman berbekal penyerahan diri pada kuasa Tuhan.  Langkah iman ini akhirnya berbuah kemenangan : Daud membinasakan Goliat.

 

Kesimpulan

Apapun yang sedang mengintimidasi hidup kita, pilihannya ada di tangan kita.  Kita bisa menyerah pada belenggu intimidasi itu, tetapi kita juga bisa mengalahkannya dengan mengarahkan pikiran kepada kekuasaan Allah dan mengambil langkah iman. 

Friday, November 17, 2006

Keunikan Injil

Kesempurnaan Kristen tidak puas dengan hanya "menjadi baik", meskipun itu baik-baik saja. Kesempurnaan Kristen menghendaki agar kita menjadi "lebih dari baik" dalam arti bersikap baik juga kepada mereka yang tidak bersikap baik kepada kita. Itulah yang dimaksud dengan keunikan Injil.

Emmanuel Gerrit Singgih dalam Mengantisipasi Masa Depan

Wednesday, November 15, 2006

Situasi Terjepit (Kel 14:1-14)

Pendahuluan
Maju kena, mundur pun kena. Demikianlah keadaan orang yang sedang terjepit. Terjepit oleh pergumulan hidup, sakit yang tidak kunjung sembuh, atau masalah finansial. Serba salah dan serba susah. Tidak melakukan tindakan apapun, situasi bertambah buruk; tetapi melakukan suatu tindakan pun belum tentu membuat situasi lebih baik.

Proposisi
Situasi terjepit adalah salah satu bagian dari kehidupan manusia yang berada di dalam kedaulatan Tuhan.

Kalimat Tanya
Mengapa Tuhan mengijinkan umat-Nya berada dalam situasi terjepit?

Kalimat Peralihan
Ada dua maksud Tuhan di balik situasi terjepit :

1. Situasi terjepit diijinkan Tuhan untuk menguji hati umat-Nya (ay. 10-14)

Orang Israel yang berada dalam perjalanan untuk lepas dari penjajahan di Mesir mengalami situasi terjepit ini. Di hadapan mereka terbentang laut, sedangkan di belakang mereka nampak pasukan Firaun dengan penuh semangat mengejar untuk membunuh mereka. Di dalam situasi terjepit inilah nampak hati orang Israel yang sebenarnya. Orang Israel ketakutan, menyesali langkah kepergian mereka, dan bersungut-sungut kepada Musa. Di dalam situasi terjepit, nampaklah apa yang sebelumnya di dasar hati seseorang. Tuhan menggunakan situasi terjepit untuk menguji hati kita, supaya kita menyadari apa yang sebenarnya ada di dalam diri kita. Ketika kita diri kita yang sebenarnya, Tuhan ingin kita bertumbuh.

2. Situasi terjepit diijinkan Tuhan untuk menyatakan mukjizat-Nya (ay 13-14; 21-22)
Tuhan adalah pribadi yang penuh kasih atas umat-Nya. Melihat dan menyadari situasi terjepit yang dialami umat-Nya, Ia bertindak. ketika Tuhan bertindak, maka apa yang tidak mungkin menjadi bisa terjadi. Ketika Musa mengulurkan tongkatnya, maka terbelahlah Laut Teberau sehingga orang Israel bisa berjalan melintasi laut itu semalam-malaman. Tidak hanya itu, pasukan Firaun pun tewas tenggelam ketika mereka hendak menyusul orang Israel. Inilah sebuah mukjizat. Ketika situasi yang tidak mungkin menjadi sebuah kemungkinan di tangan Tuhan. Mukjizat ini diberikan sebagai tanda bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya, dan kuasa-Nya akan dinyatakan seturut kehendak-Nya.

Kesimpulan
Situasi terjepit adalah keadaan yang diijinkan Tuhan untuk membuat kita menyadari keadaan hati kita yang sebenarnya. Kita belajar makin mengenal diri kita dalam situasi yang terjepit. Pengenalan diri tersebut, adalah modal utama untuk bertumbuh. Tidak usah kecewa dan putus asa dalam situasi terjepit, sebab Tuhan akan menyatakan mukjizat seturut kehendak-Nya.


Tinja Termahal Sedunia

Tahukah Anda bahwa tinja atau kotoran bisa mempunyai harga yang sangat mahal? Tentu bukan tinja dari manusia, meski ia seorang celebritis kondang atau bahkan presiden sekalipun. Tinja atau kotoran termahal di dunia adalah "hasil produksi" dari binatang. Nama binatangnya adalah Paradoxurus Hermaphroditus yang dalam percakapan sehari-hari kita sebut sebagai Luwak, sejenis Musang. Luwak adalah pemangsa buah kopi yang sudah matang. Ketika ia menikmati buah kopi, maka biji-biji kopi pun ikut tertelan ke dalam perutnya.

Biji-biji kopi itu pun berada di dalam perut Luwak dan berinteraksi dengan segala macam ensim yang ada. Karena biji-biji kopi itu tidak dapat dicerna oleh Luwak, maka keluarlah biji-biji itu bersama dengan kotoran. Tinja Luwak dengan biji-biji kopi ini menjadi komoditas yang dicari banyak orang, karena harga biji-biji kopi yang tercampur dengan kotoran itu berkisar Rp. 650.000,- per 250 gram. Bandingkan harganya dengan kopi lain yang hanya dijual Rp. 6500,- per 250 gram. Kopi luwak 100 kali lebih mahal! Inilah kopi yang seringkali disebut-sebut termahal di dunia : Kopi Luwak. Kopi Luwak mempunyai rasa dan kualitas yang berbeda dengan kopi-kopi lain, dan oleh karenanya banyak diburu oleh para pecinta Kopi. Rasa dan kualitas kopi Luwak yang khas adalah hasil dari berada dalam proses di perut Luwak.
Menjadi berkualitas adalah hasil sebuah proses.


Proses itu kadangkala menyakitkan dan tidak jarang memalukan, sehingga seringkali dihindari. Tetapi, apabila kita mempunyai kerelaan dan ketabahan, kita akan keluar sebagai orang yang lebih berkualitas. Lebih berkualitas dan oleh karenanya tentu lebih berharga.

Tuesday, November 14, 2006

Jalan Allah

Jalan Allah jarang merupakan jalan yang tercepat. Jarang pula merupakan jalan yang termudah. Namun selalu jalan yang terbaik

John Ortberg dalam Love Beyond Reason (Kasih yang Melampaui Akal)

Monday, November 13, 2006

Perilaku Aneh Pendengar Khotbah

Ada banyak pemandangan menarik dari atas mimbar. Pengkhotbah yang berdiri di mimbar mempunyai posisi paling strategis untuk mengamati perilaku jemaat. Sepanjang beberapa tahun pelayanan sebagai pengkhotbah, saya menjumpai beberapa perilaku unik para pendengar khotbah. Para Pendengar khotbah dapat dibagi dalam beberapa tipe :

1. Pendengar Serius
Para pendengar serius ditandai dengan mata yang memelototi pengkhotbah, bergantian dengan memelototi buku catatannya. Dengan pena ditangan, mereka mencatat poin-poin khotbah. Para pendengar serius ini perlu diwaspadai karena mereka mengingat betul khotbah Anda, juga ilustrasi-ilustrasi Anda. Jangan coba-coba mengulang khotbah yang sama di hadapan mereka. Mereka akan menunjukkan bukti kemalasan persiapan Anda dengan segudang catatan khotbahnya, kalau Anda nekad mengulang khotbah yang sama. Kadangkala mereka juga membawa Alkitab yang ada penuntun studinya. Mereka akan langsung mengecek dan menentukan posisi teologis Anda dari khotbah yang mereka dengar. Seusai kebaktian, kadangkala mereka menyalami pengkhotbah dengan tersenyum sambil berkata," Oh ... jadi bapak penganut premillenium pretribulasi ya? Kalau Anda tidak paham dengan istilah barusan ini, berarti Anda bukan tipe pendengar sejenis ini. Posisi tempat duduk mereka di bagian tengah agak depan

2. Pendengar Ngantukan
Para pendengar ngantukan ini ditandai dengan kepala yang berulangkali tertunduk. Sekilas sepertinya mengaminkan khotbah, tetapi jelas ada bedanya. Ketika mereka berulangkali tertunduk tidak jarang ada sedikit air liur yang mengalir lewat sudut bibir mereka. Ih ... rada jijay juga deh. Jangan tanyakan kepada mereka apa yang sudah Anda khotbahkan, bisa jadi mereka juga tidak ingat kalau lagi di gereja. Tempat favorit pendengar tipe ini adalah bagian pojok belakang. Pendengar tipe ini perlu diwaspadai mengingat bahaya kepala terbentur kursi di depannya, karena terlalu bersemangat menganggukkan kepala. Tipe ini adalah jenis orang yang mengalami mukjizat damai sejahtera di gereja. Tidak jarang mereka mengaku sulit tidur di rumah, tetapi begitu mendengarkan khotbah langsung zzz ....zzz .....

3. Pendengar Cerdas
Para pendengar tipe ini pasti mempunyai intelegensia di atas rata-rata, bahkan terbilang sangat cerdas. Buktinya mereka sanggup mendengarkan khotbah sambil baca warta, sambil mainan hape, atau sambil ngobrol dengan sebelahnya. Kemampuan melakukan beberapa aktivitas sekaligus ini sambil mendengarkan khotbah ini menunjukkan tingkat kecerdasan mereka. Karena mereka adalah orang-orang cerdas, maka mereka kesulitan untuk menaruh respek kepada orang yang tidak secerdas diri mereka, seperti misalnya pada sang pengkhotbah. Karena itu, jangan bertanya kepada mereka apa yang baru saja dikhotbahkan. Tips untuk menghadapi tipe ini sangat sederhana saja : sebagai pengkhotbah sambil menatap tajam mereka, Anda berkata dengan lantang," Ketika Tuhan berbicara saat ini, Iblis sibuk bermain hape, baca warta dan ngobrol sendiri." Coba aja kalau Anda cukup punya urapan untuk melakukan ini, tanpa membuat pendengar Anda sakit hati.

4. Pendengar Humoris
Tipe ini ditandai dengan kemampuan tertawa dengan cepat dan keras. Kehadiran mereka dibutuhkan untuk menyegarkan suasana. Tapi masalahnya, kadangkala saking cepatnya mereka tertawa, mereka tidak tahu apa yang ditertawakan. Anda yang berkhotbah pun bingung apanya yang lucu. Seringkali mereka memasang wajah cemberut, khususnya ketika Anda mulai berkhotbah tentang doktrin dengan istilah yang sulit-sulit. Bagi pendengar tipe ini, khotbah Anda dinilai bagus apabila Anda bisa menyaingi Eko Patrio, Thukul Arwana, atau Jojon. Posisi tempat duduk mereka sangat ditentukan reputasi pengkhotbah. Maksudnya kalau ada pengkhotbah yang punya reputasi tambahan sebagai pelawak, maka mereka akan duduk di depan.

5. Pendengar Asongan
Tas atau kantung pendengar tipe ini dipenuhi dengan beberapa jenis permen yang siap diasongkan ke pendengar lain, selama khotbah berlangsung. Bunyi-bunyi yang ada di sekitar mereka adalah bunyi plastik bungkus permen dibuka, kaleng permen kecil jatuh. Mereka juga seringkali bermain mata untuk menawarkan permennya ke pendengar yang lain. Kalau orang-orang di sekeliling mereka terganggu dengan bunyi-bunyi ini, mereka akan berdehem-dehem memberi kesan kalau tenggorokan mereka sakit dan membutuhkan permen untuk menenangkannya. Kriteris apakah khotbah Anda bagus dan menarik, bisa Anda lihat dari respons mereka. Ketika mereka tidak lagi mengasongkan permen atau sibuk membuka bungkus plastik permen, tetapi memandang Anda dengan kekaguman seperti seorang anak dibawa ke toko permen yang besar, maka Anda khotbah Anda cukup menarik baginya. Tempat duduk mereka ditandai dengan berterbarannya bungkus permen yang ditinggalkan sembarangan setelah kebaktian.


Apakah Anda termasuk salah satu tipe di atas? Tidak? Adakah tipe-tipe unik lainnya? Pasti ada deh. Atau silakan Anda tambahkan sendiri di bagian comment di bawah tulisan ini. Lain kali disambung deh dengan perilaku aneh pengkhotbah di mimbar.

Saturday, November 11, 2006

Mengapa Orang Menyukai Pornografi?

Pengalaman kesepian adalah satu di antara pengalaman-pengalaman manusiawi yang sangat biasa. Hanya saja masyarakat modern dewasa ini begitu memberikan perhatian kepada pengalaman ini hingga kesadaran kita berlebih-lebihan.

Masyarakat di mana kita hidup, membuat kita sadar akan kesepian kita. Kita menjadi semakin sadar bahwa kita hidup dalam dunia, di mana bahkan hubungan yang paling intim telah menjadi bagian dari persaingan dan permusuhan.

Sebagai salah satu akibatnya ialah berkembanganya pornografi. Pornografi adalah keakraban yang diperdagangkan. Banyak orang, baik tua maupun muda melihat gambar atau membaca buku porno dengan perasaan was-was, jangan-jangan ada orang yang dikenal yang melihatnya. Dengan cemas menatap seorang wanita telanjang sambil membayangkan bahwa kesepiannya akan terhalau lewat pergaulan seperti itu.

Henri J.M.Nouwen dalam Reaching Out, The Three Movement of Spiritual Life (Menggapai Kematangan Hidup Rohani)

Friday, November 10, 2006

Kesuksesan Mewajibkan Pertumbuhan

Apakah Anda mengenal nama Dr.John S. Pemberton? Saya yakin sedikit sekali dari Anda yang mengenal nama ini. Tetapi, saya sangat yakin kalau Anda pernah menikmati hasil karyanya. Dr. Pemberton adalah seorang ahli dalam meramu obat-obatan. Tahukah Anda ramuan apa yang paling terkenal hasil olahannya? Obat sakit kepala? Obat pengurang rasa sakit? Tidak!

Coca Cola! Ya, Coca Cola nama sebuah softdrink yang terjual paling banyak di dunia. Itulah ramuan yang dihasilkan oleh Dr. Pemberton pada bulan Mei 1886. Nama Coca Cola sendiri diberikan oleh rekan Dr. Pemberton yang bernama Frank Robinson. Coca Cola pertama kali dijual pada Jacob's Pharmacy di Atlanta. Saati itu, Coca Cola belum dijual dalam kemasan botol, tetapi melalui soda fountain (sebuah alat seupa dispenser). Coca Cola dalam kemasan botol baru dijual pertama kali pada 12 Maret 1984.

Dalam tahun pertama penjualannya, Coca Cola hanya laku rata-rata 9 gelas per hari. Nilai penjualan pertahunnya hanya sebesar US$50, sedangkan pengeluaran biaya penjualannya sendiri sebesar US$70. Jadi, pada tahun pertama itu, Dr. Pemberton mengalami kerugian sebesar US$20. Kemudian, paten ramuan itu dijual kepada Asa Chandler, yang perusahaannya terus menjadi produsen Coca Cola sampai dengan saat ini. Kini setiap hari di seluruh dunia dikonsumsi sebanyak satu milyar kemasan produk perusahaan Coca Cola.

Kesuksesan sejati tidak pernah terjadi secara instan. Kesuksesan itu sendiri mewajibkan adanya pertumbuhan terus menerus. Bertumbuh berarti tidak cepat puas diri, tapi bersedia berjuang untuk menjadi lebih baik lagi. Sebuah sikap yang juga nampak dalam diri Rasul Paulus, seorang rasul "terbesar". Rasul Paulus pernah berkata," ... aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan : aku melupakan apa yang telah dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku." (Fil 3:13)

Bahan yang Memproduksi Kekaguman

Ternyata, penderitaan dan cacian orang--ditangan manusia-manusia sabar dan tabah--bisa menjadi bahan-bahan yang memproduksi kekaguman orang kemudian. Persoalannya kemudian, di tengah-tengah sebagian lebih wajah kehidupan yang serba instant, punyakah kita cukup banyak kesabaran dan ketabahan?

Gede Prama dalam Kebahagiaan yang Membebaskan

Thursday, November 09, 2006

Ketika Iman Berbeda dengan Kenyataan (Bil 13:25-33)

Saya rasa kita semua setuju bahwa iman kepercayaan kita kepada Yesus Kristus adalah bagian hidup yang signifikan dan sentral. Kita semua menyadari kehidupan kita ditopang oleh kekuatan yang bernama iman. Karena itulah, jika ada saudara seiman sedang dalam keadaan duka dan sedang dirundung permasalahan besar yang tidak kunjung selesai;  maka kita biasanya akan menyalami tangan orang tersebut sambil berkata, "Tetap beriman, ya... berpegang teguhlah kepada Yesus Kristus".  Kita membutuhkan kekuatan iman itu, ecara khusus ketika kehidupan berjalan tidak selancar yang kita harapkan.

Tetapi keadaannya bisa menjadi terbalik ketika kita sendiri yang sedang mengalami kesedihan, kedukaan atau pergumulan yang belum nampak jalan keluarnya.  Di saat-saat seperti itulah kita menemukan bahwa beriman - apalagi tetap bertumbuh dalam iman -  bukanlah hal yang mudah. Bahkan seringkali  kita justru menemukan bahwa iman itu sepertinya tidak memberikan jawaban.  Tidak menyediakan solusi bagi kita dan tidak memberikan kekuatan yang kita butuhkan. Di saat-saat seperti itu biasanya kita malah bertanya, "Di manakah Tuhan di balik semua yang saya alami ini?"

Alkitab mengatakan bahwa ketika kita beriman  kepada Yesus Kristus, dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat kita,  maka itu semua  adalah karena anugerah Allah.  Iman adalah pemberian atau haiah dari Allah yang kita terima begitu saja. Paulus pernah mengatakan bahwa, "Itu bukan hasil usahamu, jangan ada orang yang memegahkan dirinya".  Namun iman itu diberikan Allah kepada kita bukan dalam bentuk yang sudah jadi  dan sudah kuat; tetapi iman itu diberikan kepada kita dalam keadaan yang cukup untuk membuat kita percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Iman yang diberikan itu cukup untuk membuat kita dapat menjalani kehidupan ini.  Di dalam kehidupan inilah nantinya kita akan mengalami perkembangan dan  proses pembentukan iman oleh Tuhan.

Yesus Kristus  pernah menggambarkan bahwa iman itu bukanlah sebuah pohon besar yang sudah berakar kuat, tetapi iman itu seperti biji yang kecil.  Di dalam biji tersebut terdapat  kandungan-kandungan yang membuatnya bisa bertumbuh. Jadi, iman adalah seperti biji dan bukan sebuah pohon yang sudah jadi.  Dengan demikian Yesus mengharapkan  bahwa di dalam proses kehidupan ini,  iman yang seperti biji itu akan bertumbuh kembang dan berbuah serta  akan menjadi kokoh.  Iman yang kokoh akan  mendatangkan hormat dan kemuliaan bagi Tuhan. Pertumbuhan dan perkembangan iman itu tidak terjadi di atas kertas tetapi di atas lapangan yang bernama kehidupan sehari-hari. 

Di dalam kisah yang kita baca ini, Allah sudah mendidik orang Israel untuk mengenal dan  mengasihi-Nya. Allah sudah berfirman kepada mereka bahwa tanah Kanaan itu milik mereka.  Ada janji Allah yang dapat mereka pegang.  Janji  yang menunjukkan bahwa mereka itulah umat pilihan Allah.  Dalam perikop ini kita tahu bahwa mereka sedang mendekati saat-saat terakhir dari perjalanan mereka. Setelah puluhan tahun mereka berkeliling, inilah saatnya mereka berada di muka pintu  Tanah Perjanjian itu.  Di depan Tanah Perjanjian itu,  mereka memutuskan untuk mengirim orang-orang pilihan mereka, yaitu 12 orang pengintai. Orang-orang pilihan inilah yang akan masuk terlebih dahulu untuk mensurvei negeri ini. 

Ketika  12 orang itu pulang setelah mengadakan pengintaian selama 40 hari 40 malam, mereka mengatakan satu hal yang sama,  "Betul, tanah itu seperti yang difirmankan Tuhan :  subur dan makmur!" Namun,  10 dari 12 orang tersebut mengatakan, "Tetapi di tanah yang subur dan makmur itu, juga ada orang-orang raksasa. Juga ada bangsa-bangasa yang kuat."  Mereka juga menambah-nambahi dengan mengatakan bahwa orang-orang di negeri itu memakan habis penduduknya sendiri.  Para pengintai itu mengatakan bahwa mereka seperti belalang di depan bangsa-bangsa Kanaan.

Di sinilah, iman yang adalah kepercayaan kita akan janji Allah itu bertemu dengan realita kehidupan.  Allah berjanji Tanah Kanaan itu adalah milik orang Israel, tetapi realitanya ada bangsa-bangsa yang kuat hidup di tanah itu.  Ketika terjadi perbenturan antara iman dan realita kehidupan, biasanya kita mulai mengalami kegoncangan hidup. Biasanya kita mulai berpikir ulang tentang iman kita.  Apa yang kita yakini selama ini tentang Allah ternyata bisa mengalami benturan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Orang Israel juga mengalami hal ini, mereka memegang janji Allah, tetapi yang dihadapi adalah kenyataan bahwa  musuh mereka begitu kuat dan secara manusiawi sulit dikalahkan.

Kita meyakini sampai mendarah daging bahwa Allah itu maha kasih.  Ketika kehidupan lancar serta tidak ada masalah, maka  tidak ada benturan yang terjadi sehingga  tak ada masalah yang muncul. Tetapi jika kita mengalami masalah yang menyesakkan dan tidak menyenangkan, menghadapi kedukaan yang besar dan kejaian yang tidak kita harapkan muncul, di saat itulah kita mengalami benturan antara iman dan kenyataan hidup.  Tidak sedikit orang yang berkata, "Saya tahu Tuhan itu, maha kasih. Saya percaya itu.  Tapi mengapa saya mengalami masalah  seperti ini?"

Saya rasa kita semua percaya bahwa Tuhan itu maha kuasa dan penuh dengan kemuliaan. Segala sesuatu terjadi lewat  kehendak- Nya. Tetapi, ketika masalah yang kita alami tidak kunjung selesai, ketika pergumulan itu makin lama makin berat dan makin menyesakkan, apa yang kita katakan?  Kita berkata, "Saya tahu Ia itu maha kuasa, tetapi mengapa kok saya tidak dapat jalan keluar?  Mengapa kehidupan ini begitu beratnya terjadi pada saya?"  

Kita semua percaya Allah itu maha hadir. Tidak ada yang membatasi kehadiran-Nya.  Tetapi ketika kita dirundung kedukaan yang dalam, timbullah perasaan kesendirian  yang memedihkan hati yang membuat  kita bertanya, "Di manakah Tuhan sebenarnya?"

Goncangan yang terjadi akibat benturan antara iman dan realita itu senantiasa menggelisahkan. Orang yang mengalaminya menjadi limbung dan dengan cepat berusaha mencari pijakan di mana ia akan berdiri. Akankah ia berdiri di dalam janji firman Tuhan yang sudah ia terima dan  berkata, "Saya akan tetap terus karena saya percaya akan janji dan pemeliharaan Tuhan".  Ataukah seperti  kebanyakan orang  memilih untuk berpegang dan berpijak pada kenyataan sambil berkata, "Sudah ndak usah ngomong tentang Allah yang maha kasih, maha kuasa; nyatanya hidup saya seperti ini. Buat apa saya ke gereja?  Buat apa saya berbakti? Buat apa saya berdoa? Nyatanya, realitanya hidup saya seperti ini!"  Di dalam kegoncangan itu orang menjadi lelah, kalah, kecewa, marah dan menyerah. Tepat seperti yang terjadi dengan 10 orang pengintai itu;  mereka lelah, kalah dan menyerah.  Tetapi 2 orang yang lain  tetap berdiri dan berkata, "Maju terus!"

Memang, ketika goncangan itu terjadi  kita akan mengalami saat-saat di mana kita akan mengalami limbung dan kebingungan. Tetapi, mari kita lihat; kalau Tuhan yang maha kuasa, maha baik, maha hadir, mengijinkan kita mengalami goncangan seberat apapun, apakah Ia mengharapkan kita hancur oleh goncangan itu?  Apakah Ia mengharapkan iman kita hancur lebur di tengah goncangan itu?   Tentu tidak!  Dari perjalanan hidup tokoh-tokoh Alkitab menjadi jelas bahwa ketika goncangan dan situasi yang tidak menyenangkan itu terjadi, Allah sedang mencoba merentangkan pemahaman mereka tentang diri-Nya.  Allah sedang mengajarkan sesuatu tentang diri-Nya yang selama ini mungkin belum kita sadari. Melalui perentangan pengetahuan tentang Allah itulah iman kita diharapkan-Nya bertumbuh.

Di dalam cara pandang Alkitab, iman itu bertumbuh bukan tatkala kehidupan sedang lancar. Sebaliknya  iman itu bertumbuh di saat segala sesuatu terjadi tidak sesuai dengan harapan kita.   Saat iman  mengalami goncangan, ia makin bertumbuh. Melalui goncangan itu,   Allah sedang mencoba membangun iman kita.  Goncangan itu pastilah tidak menyenangkan dan akan senantiasa membuat kita gelisah dan kita tidak menikmatinya. Karena gelisah, maka kita tidak memperhatikan dan menolak  proses goncangan itu  dan memilih berpegang pada realita : "Ya sudah, saya begini saja".  Padahal, kata orang, "no pain, no gain";  tidak ada rasa sakit, tidak ada hasil. 

Secara sederhana  iman itu dapat digambarkan seperti otot kita. Kita semua mempunyai otot, hanya saja berbeda-beda kekuatannya sehingga berbeda pula beban yang bisa kita tanggung. Suatu kali, di sebuah pasar raya, saya bertemu dengan seorang teman lama semasa SMP. Kami berpapasan, dan ia langsung menyapa saya. Kemudian ia menatap saya, sayapun menatap ia. Saya ingat sewaktu di SMP,  ia sama kerempengnya dengan saya. Teman saya ini terus mengamati saya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki; terutama ia memperhatikan bagian perut saya sampai ke bawah.  Kemudian ia berkata, "Macam mana pula kau ini, Wahyu! Lama tidak ketemu, sekali ketemu, seperti gajah bengkak kau ini!"  Saya mencoba tersenyum mendapat "keramahan" seperti itu. Namun saya maklum. Terakhir kali kami bertemu, berat badan  saya masih sekitar 50-an kilo. Masih kurus sekali. Saya melihat teman saya yang dulu sama kerempengnya dengan saya sekarang menjadi lebih kekar dan lebih kencang . Sedangkan saya yang dulu kerempengnya seperti dirinya sekarang,  katanya jadi seperti gajah bengkak;  jadi gemuk sekali.  Teman saya menepuk-nepuk pipi dan  perut saya. Sebenarnya,  saya merasa sedikit dilecehkan, tetapi ya... karena teman lama, maka saya anggap tidak apa-apa.  Kemudian setelah berbincang-bincang, saya mengetahui bahwa teman saya ini sekarang bekerja sebagai instruktur di fittness centre.  Saya memang melihat badan teman saya ini terbentuk kekar dan luar biasa. Enak dilihat. Saking kekarnya, kelihatannya ia tidak bisa menoleh tanpa  menggerakkan tubuhnya. Teman ini mengatakan bahwa ia bersedia menjadi trainer pribadi saya sebanyak 3 x seminggu masing-masing 2,5 jam, selama 3 bulan.  Ia akan  melatih saya supaya badan saya  terbentuk baik dan menjamin pasti berhasil.  Saya bertanya apa saja yang harus saya lakukan selama dalam latihan tersebut dan ia menjelaskan bahwa saya akan melakukan senam aerobik,  angkat beban,  akan latihan ini dan itu.  Intinya,  saya  akan melakukan hal-hal yang melelahkan.

Saya tahu, tawaran itu baik untuk saya.  Tetapi, 3 x 2,5 jam per minggu "disiksa" dengan  segala macam latihan, saya tentu tidak rela.  Saya pun menolaknya dengan halus," Saya pikir-pikir dulu, deh."   Nah, oleh karena berpikir-pikir itulah, sekarang ini saya masih cukup gemuk seperti sekarang ini. Cita-cita untuk punya tubuh yang kekar dan otot yang kuat ada, tetapi saya tidak mau menjalani prosesnya. Kira-kira seperti itu jugalah kondisi iman kita.  Kita ingin iman yang kuat, tetapi kita tidak mau menjalani proses pembentukannya. Kita ingin mempunyai iman yang kuat agar mampu menahan beratnya beban kehidupan.  Tetapi, ketika Allah merencanakan di dalam program-Nya bahwa untuk itu kita harus melewati saat-saat penuh  goncangan dan pergumulan,   kita menolak.  Kita langsung mundur dan berkata, "Ya,  itu baik;  tetapi ndak usahlah!"

Goncangan kehidupan itu  sebenarnya tidak bisa kita tolak.  Seberapapun kaya dan pintarnya kita, suatu saat pasti akan terjadi benturan antara iman kita  dengan realita keseharian yang terjadi. Pada saat seperti itu  banyak orang akan memilih minggir dan kemudian lari kecewa meninggalkan Tuhan padahal bukan itu maksud Tuhan dengan latihan iman tersebut.. Sebaliknya Tuhan bermaksud agar kita bertumbuh melalui situasi seperti itu. Iman kita diregangkan oleh Tuhan, diperkuat dan dilatih oleh-Nya. 

Bagaimanakah kita bisa berdiri dan bertahan di tengah goncangan yang luar biasa?  Seperti 12 orang pengintai :  10 orang mengalami kegoncangan dan mundur, sedangkan yang 2 orang berkata, "Maju!"  Oleh karena perbedaan pendapat maka timbullah polemik, yang  bahkan  menyebabkan 2 orang ini hampir dilempari dengan batu.  Seandainya kejaiannya ada di gereja dan dilakukan voting, maka orang-orang Israel itu tidak akan pernah masuk ke Tanah Perjanjian. Tetapi untunglah cerita kita tadi tidak berbicara tentang voting yang seperti itu.  Dua  orang : Kaleb dan Yosua itu terus meyakinkan orang Israel untuk masuk ke Kanaan, meskipun nyawa mereka menjadi taruhannya. Ketika orang-orang  hendak  melempari Kaleb dan Yosua dengan batu, ketika  itu  pula Tuhan menunjukkan kemuliaan-Nya, sehingga semua orang mengakui bahwa memang mereka harus maju.

  Apa yang membuat Kaleb dan Yosua ini menjadi orang yang berani mengambil resiko itu?  Ada dua hal :  yang pertama  adalah kesabaran.  Mereka tahu bahwa mereka telah berkeliling sekian tahun untuk masuk ke Tanah Perjanjian. Merekapun  tahu serta ingat dengan baik bahwa Allah sudah memimpin mereka selama sekian tahun itu. Itu yang memberi makanan dan  memberi kekuatan pada kesabaran mereka. Kesabaran yang dibentuk oleh ingatan yang kuat bahwa tidak mungkin  Tuhan yang selama ini sudah memimpin dan menyatakan banyak mukjizat, hanya bertujuan untuk membuat mereka menyetorkan nyawa kepada bangsa lain.  Mereka  ingat sekali  akan perbuatan Allah di masa lalu,  dan ingatan itu membentuk kesabaran mereka. 

Biasanya pergumulan dan permasalahan senantiasa membuat mata kita hanya melihat pada saat ini atau mungkin pada masa depan yang penuh kekuatiran.  Tetapi dengan kesabaran dan ketabahan yang dibentuk oleh ingatan kita akan pertolongan Tuhan, kita diajak melihat "ke belakang" "Saya sudah hidup sekian tahun; sudah sekian banyak berkat Tuhan yang saya terima.  Perbuatan-perbuatan Tuhan yang ajaib sudah pernah saya alami.  Saat-saat yang luar biasa bersama Tuhan sudah pernah saya alami."  Dengan mengingat semuanya itu, maka kita akan sabar di dalam kesesakan dan dalam  pergumulan yang ada saat ini.  Kita menjadi sadar Tuhan tidak mungkin meninggalkan kita. 

Jadi ketika kita lemah dan tergoncang di dalam benturan itu, lihatlah ke "belakang".  Lihat garis hidup kita di mana Allah telah berkarya memberikan berkat dan penyertaan-Nya. Lihat Allah yang telah membuat kita ada seperti sekarang ini.  Akankah Ia yang sudah menopang hidup kita selama ini, akan menjadi Ia yang meninggalkan dan melepaskan kita ?  Tidak mungkin, dan tidak akan terjadi mungkin!  Ia pasti sedang membuka jalan.

Hal kedua yang membuat Kaleb dan Yosua bertahan, adalah karena mereka memiliki pengharapan.  Mereka menyandarkan diri  pada harapan bahwa sebentar lagi mereka masuk ke dalam Tanah Kanaan. Tuhan memenuhi janji-Nya kepada mereka dan mereka melihat janji Allah membuahkan hasil yang memuaskan, setara dengan upaya mereka bertahan di dalam goncangan.  Bukankah  memang harapan itu yang kita butuhkan di dalam hidup ini.  Keyakinan bahwa ada sesuatu yang kita nantikan di masa depan.  Ada Tuhan yang tidak buta dan tidak tuli; ada Tuhan yang maha melihat dan maha mendengar dan Ia akan melakukan sesuatu. Harapan  semacam ini akan memberikan kekuatan yang luar biasa bagi kita untuk tetap bertahan meskipun situasi mencekam dan menekan kita.

Ketika manusia kehilangan harapan, ia  sebenarnya sudah kehilangan semuanya.  Mengapa banyak orang mengakhiri hidupnya?  Mengapa orang memutuskan untuk lari meninggalkan Tuhan? Karena mereka kehilangan harapan. Mereka sudah tidak lagi berani berharap atau sudah tidak berani lagi menaruh harapannya kepada Tuhan.  Padahal Ia sungguh layak  dipercaya dan dapat disandari.  Pengharapan kita pada Tuhan  yang maha tahu dan maha melihat itu tidak akan pernah mengecewakan. 

Ketika goncangan-goncangan hidup terjadi seperti gelombang-gelombang yang menyerang perahum, jangan menyerah! Jangan lari. Jangan kecewa. Jangan menyalahkan sesama.  Terlebih lagi, jangan menyalahkan Tuhan.  Sebaliknya,  yakinlah bahwa ini bagian dari program Allah utnuk memperkuat iman kita. Allah menantikan kita untuk melalui saat itu, sehingga iman kita bertumbuh dan pengetahuan kita tentang Allah direntangkan. Pengalaman hidup kita bersama Allah akan diperkaya dan itu yang akan membentuk kehidupan kita dan yang akan membuat kita tangguh di dalam kehidupan ini. Untuk mencapai itu kita betul-betul  memerlukan kesabaran dan harapan.

Kita boleh kehilangan semuanya di dalam hidup ini. Kita boleh mengalami beban yang luar biasa beratnya. Kita boleh memiliki pergumulan yang tak kunjung selesai tanpa jalan keluar,  tetapi jangan pernah kehilangan kesabaran dan harapan.  Ketika iman berbenturandengan kenyataan, biarlah kesabaran dan pengharapan menopang hidup kita.